Senin, 15 Juni 2015

Pengelolaan Sumber Daya Air oleh Swasta


 Oleh : Wahyudi Prawiro Utomo

Topik ini muncul terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 85/PUU-XI/2013 mengenai pembatalan seluruh ketentuan dalam UU Nomor 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan menyatakan undang-undang tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon dalam perakara ini adalah beberapa badan hukum dan perorangan. Mereka menuntut agar beberapa pasal dalam undang-undang tersebut di batalkan karena dinilai membuka peluang yang sangat besar bagi pihak swasta untuk mengelola sumber daya air yang kemudian dapat didistribusikan kepada masyarakat.
Diperlukan suatu pemahaman mengenai pengelolaan sumber daya air oleh swasta. Yang pertama hakikat dari sumber daya air itu sendiri, dimana air merupakan kebutuhan mendasar bagi menusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu air penting sekali bagi pemenuhan hak hidupsetiap manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa air termasuk dalam pengertian agraria, seperti dalam Pasal 1 ayat (2)  UUPA:
“Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Repunlik Indonesiasebagai karunia Tuhan Yang Maha esa adalah bumi air, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional.”
Hal tersebut memperlihatkan bahwa air merupakan kekayaan nasional milik bangsa Indonesia. Kemudian apabila kita mengkaitkan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang mengandung makna bahwa seluruh kekayaan bangsa Indonesia harus dipergunkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Terkait dengan pembatalan MK mengenai UU No. 7 Tahun 2004, bahwa sebelumnya swasta diberikan ruang untuk mengelola pemanfatan air, mulai dari tahap produksi, distribusi, dan konsumsi. Dimana tahap produksi ini swasta akan mengambil air dari sumber mata air atau dari tanah untuk dikelola menjadi air minum dalam kemasan atau didistribusikan kerumah-rumah warga untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Serta dalam proses pelaksanan produksi dan distribusi air, pihak swasta juga menjadi konsumen untuk pemenuhan sumber daya manusia yang dapat bekerja dengan baik.
Swasta sebagai pelaku usaha merupakan badan hukum, yang modalnya bersumber dari penanam modal nasional dan/atau penanam modal asing. Maka perusahaan swasta yang mengelola pemanfatan air di Indonesia adalah badan hukum yang terdaftar sesuai ketentuan hukum Indonesia, yang penguasaan modalnya oleh penamam modal nasional atau penaman modal asing.
Objek usaha dari pelaku usaha merupakan komoditas yang dapat diperjualbelikan. Dalam kasus ini merupakan air sebagai komoditas utama perusahaan air. Prinsip dari pelaku usaha adalah mendapatkan keuntungan dari hasil objek usahanya. Hal inilah yang menjadi permasalahan, dimana perusahaan air akan mendistribusikan air kepada daerah yang kiranya dapat  membayar biaya-biaya untuk pelancaran distribusi air. Tentunya akan berdampak bagi daerah susah air, ia harus membayar sejumlah biaya agar dapat air mengalir kedaerahnya. Serta bagi daerah yang tidak mampu membayar biayanya bisa jadi tidak mendapatkan pendistribusia air. Telah terjadi banyak kasus yang menunjukan hal tersebut.
Jika kita kaji dengan perilaku pelaku  usaha, maka swasta yang dalam hal ini adalah badan hukum yang menghendaki keuntungan (profit oriented) tentunya akan mendistribusikan air untuk mendapat keuntungan dari hal tersebut. Terdapat suatu perbedaan dengan esensi dari air itu sendiri. Dimana air merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh mahluk untuk dapat dihidup. Disini hakikat air sebagai kebutuhan mendasar setiap orang dan merupakan milik siapa saja yang membutuhkan (res commune). Setiap orang harus dapat mendapatkan air secara berkeadilan baik yang miskin atau yang kaya, baik yang daerah dengan sumber air banyak atau yang sumber air sedikit.
Dengan semngat nasionalisasi, kehendak putusan mk agar perusahaan pemerintah yang mengelola pemanfatan air. Namun dalam kenyataannya hasil pengelolaan air oleh pihak swasta lebih besar dari pada pihak pemerintah (data Kompas).  Tentu menjadi paradoks dimana dengan pemerintah dengan hasil pengelolaan air yang lebih sedikit dibanding swasta. Dimana perusahaan pemerintah berorientasi public service dan swasta berorientasi profit. Dibutuhkan suatu dukungan yang kuat bagi pemerintah untuk memenuhi inftrasturktur demi tercapainya pendistribusia air secara berkeadilan. Tentunya dengan meilihat hal ini, pihak swasta juga dapat berperan besar karena memiliki sumber daya manusia dan alat produksi yang lebih baik dari pemerintah. Dibutuhkan suatu kebijakan yang ketat agar perusahaan swasta tetap berperan untuk mengelola air, karena untk saat ini pemerintah belum mampu memenuhi kebutuhan air seluruh masyarakat. Mengingat ketua MK menyatakan swasta tetap dapat berperan dalam pengelolaan air apabila ada sisa kewenangan dari pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah.
Titik Perdebatan
Terdapat beberapa hal yang bertentangan dalam topik ini, yaitu nilai-nilai luhur yang dianut bangsa Indonesia dengan realita yang terjadi dalam masyarakat. Terkait dengan putusan MK, bahwa UU Nomor 7 Tahun 2004 terlalu liberal, yang menyebabkan pendistribusian air menjadi tidak adil.
Namun dibutuhkan juga peran swasta karena publik membutuhkan air dalam jumlah yang besar. Dibawah pengelolaam pemerintah daerah melayani sekitar 10 juta sambungan rumah atau setara dengan 60 juta orang atau 25 persen dari total penduduk. Dari sisi volume, itu setara dengan 3,2 miliar liter air pada tahun 2013. Bandingkan dengan volume penjualan air minum dalam kemasan milik swasta yang mencapai 20,3 miliar liter (2013). Tahun 2014, volumenya naik menjadi 23,9 miliar liter air (kompas). Hal ini yang menjadi keraguan apakah pemda dapat memenuhi seluruh kebutuhan air bagi masyarakatnya.
Tujuan dari pemanfatan air ini adalah untuk dapat dimanfaatkan oleh masyarakat seluas-luasnya dengan jumlah yang cukup. Agar masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan ke akses air bersih untuk dikonsumsi, diperlukan pendistribusian air secara baik dan berkeadilan. Seringkali dalam pendistribusian terjadi masalah, seperti yang terjadi di beberapa daerah.
Swasta sebenarnya dalam hal ini dapat berperan dalam membantu pemda untuk melakukan pendistribusia air dengan baik. Salah satunya dengan peran swasta untuk mendistribusikan air yang telah diproduksi. Esensi yang harus ditekankan dari distribusi ini adalah untuk pemerataan, bukan untuk penyeluran kepelanggan yang mampu membayar. Tentunya ini terkait dengan perbedaan prinsip public service dan profit oriented. Untuk mengetahui lebih lanjut kita akan meninjau dari perilaku para subjek hukum yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air.
Perilaku swasta
Swasta dalam hal ini adalah badan hukum yang berdiri sesuai dengan hukum Indonesia. Dimana penguasaan modalnya dapt dikuasai oleh penanam modal local atau penanam modal asing. Tetapi untuk usaha air minum, kepemilikan sahamnya tidak boleh dimiliki penuh oleh asing (pasal 6 UUPMA).
 Pada sector pengelolaan air, para pengusaha mendapatkan hak guna usaha dalam memanfatkan air. Mereka melakukan pengambilan air dari sumber mata air (atau tanah). Penggunaan kekuatan sektor swasta dapat dibilang cemerlang, karena dapat mengambil air dengan jumlah yang besar dengan teknologi yang lebih baik dari pemda (cari data dari aqua, ades dsb). Kemampuan perusahan air mineral ini mampu memproduksi jumlah air minum dengan kapasitas yang besar. Lebih besar dari produksi pemda yang tidak hanya untuk air konsumsi minum, juga untuk semua kebutuhan yang membutuhkan air. Namun harga yang ditetapkan swasta untuk menjual air mineral tersebut tergantung atas kebijakan dari perusahan itu sendiri.
Penetapan harga air minum ini berdasarkan perhitungan untung rugi dari perusahan terkait. Contoh paling mudah yang menunjukan hal ini adalah harga air minum dalam kemasan yang  berbeda-beda. Tentu ini menunjukan kebijakan tiap perusahaan air minum yang berbeda-beda untuk tiap produk. Secara implicit dapat terlihat bahwa penetapan harga air minum dalam kemasan hasil produksi perusahaan swasta, memiliki kebebasan untuk mentapkan harga.
Memang dalam praktiknya terjadi liberalisasi. Penentuan harga air minum dalam kemasan ditetapkan oleh pasar. Harga air minum yang seperti demikian dapat memberikan keuntungan yang berlimpah bagi perusahaan, namun bagaimana apa bila harga air minum memberatkan warga negara?
Pelaku usaha menjadikan air sebagai komoditas usaha, dengan menjadikan air sebagai objek usaha untuk mendapat keuntungan. Dalam hal ini prinsip yang digunakan adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Maka apabila ada pihak yang kekurangan air dan tidak mampu membayar jasa pendistribusiannya, tidak air yang didistribusikan kepadanya.
Sedangkan air adalah kebutuhan semua orang, bahkan ada daerah yang airnya tanahnya kering karena diambil oleh pelaku usaha. Memang tidak ada salahnya untuk pelaku usaha memanfatkan air untuk kegiatan ekonomi, namun yang erlu ditekankan adalah prinsip keadilan dalam memanfatkan sumberdaya air ini. dan dalam praktik yang telah terjadi akhir-akhir ini, banyak sekali hal yang menunjukan ketidakadilan dalam distribusi air. Seperti instalasi pipa, pendistribusian air kerumah warga yang membayar, dan penatapan harga air minum yang diserahkan oleh pasar.
Dengan UU No. 7 Tahun 2004 diundangkan memang diberikan keleluasaan bagi swasta untuk mengelola air tersebut. Dengan di nyatakannya UU No. 7 Tahun 2004 tidak berlaku maka PP serta Peraturan perundang-undangan lainnya yang ada dibawahnya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Segala kegiatan ekonomi yang berdasar pada UU tersebut menjadi tidak meiliki kepastian hukum. Walaupun UU nomor 11 tahun 1974 dinyatakan berlaku kembali untuk mengisi kekosongan hukum dalam bidang perairan, namun belum ada peraturan teknisnya untuk menjadi dasar bagi berjalannya kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh swasta. Tidak adanya kepastian hukum bagi pelaku usaha untuk saat ini. Ketua Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arif Hidayat menyatakan bahwa swasta masih tetap dapat berperan untuk mengelola pemanfatan air, namun apabila itu merupakan sisa kewenangan dari pemda.
 Perilaku Pemerintah Daerah
Menurut data kompas, penyediaan air untuk konsumsi masyarakat  sekitar 10 juta sambungan rumah atau setara dengan 60 juta orang atau 25 persen dari total penduduk. Tentu belum meliputi keseluruhan dari 100 persen penduduk Indonesia. Pembangunan infrastruktur air harus lebih ditingkatkan agar pemenuhan air dapat terpenuhi. Karena dengan putusan MK ini menunjukan bahwa pemerintah dalam hal ini daerah, harus melakukan peningkatan-penginkatan infrastuktur.
Terjadinya perubahan secara besar-besaran dalam sector sumber daya air. Dengan adanya putusan ini maka perusahan-perusahan air swasta harus melakukan renegosiasi dalam pemanfatan sumber daya air. Pada tgl 30 Maret 2015, pengadilan Jakarta pusat menjatuhkan putusan yang isinya adalah pembatalan perjanjian kerjasama antara swasta dan pemerintah untuk mengelola sumber daya air. Gugatan diajukan oleh koalisi masyarakat dari beberapa LSM secara citizen law suit. Ini menunjukan kehendak masyarakat untuk menolak privatisasi air.  
  Menjadi tugas bagi pemerintah, ditingkat pusat harus  membuat UU baru pengganti UU No. 7 Tahun 2004 yang dibatalkan MK, yang intinya harus mengedepankan semangat nasionalisme dan  ideology kerakyatan yang berkeadilan. Artinya pemanfatan air unuk kegiatan ekonomi dari proses produksi, distribusi dan konsumsi harus menegdepankan prinsip bahwa air adalah kebutuhan dasar setiap orang. Jadi tidak lagi ke profit oriented. Jangan memberikan celah sedikit pun untuk liberalisasi air, dan bahkan jangan sampai air dijadikan komoditas untuk diperjual belikan.
Kemudian dalam implementasinya mengikut sertakan pemerintah daerah dengan mekanisme desentralisasi. Pemerintah pusat yang haikatnya memiliki seluruh urusan pemerintahan ikut bertanggung jawab dalam pemenuhan air bagi masyarakat. Mengingat urusan Pemerintahan merupakan kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani,memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

Tidak ada komentar: