Jumat, 29 Maret 2013

Sosok : Camila Vallejo


Oleh :
Panji Mulkillah Ahmad


          Tindik yang melekat di hidungnya berkilau di bawah sinar matahari, seraya suaranya menyerukan pendidikan berdengung memanasi massa di jalanan. Nama lengkapnya ialah Camila Vallejo Dowling, seorang mahasiswi jurusan Geografi Universitas Chile sekaligus Presiden dari FECH (Federasi Mahasiswa Universitas Chile). Perempuan cantik ini ialah pemimpin gerakan pendidikan di Chile.

Sudah sejak 2011, mahasiswa-mahasiswi Chile  berjuang atas pendidikan. Kebijakan yang dibuat oleh rezim yang memimpin mulai dari era Presiden Pinochet sampai Presiden Pinera membuat gejolak yang luar biasa dalam masyarakat, yaitu privatisasi pendidikan. Hampir separuh lembaga pendidikan di Chile adalah berbadan hukum privat/swasta, sedangkan sisanya ialah lembaga pendidikan semi-swasta dan hanya segelintir saja yang berbadan publik/negeri. Imbasnya ialah pengerukan laba besar-besaran dari pelajar dan mahasiswa, yang dianggap sebagai konsumen atas komoditi jasa layanan pendidikan. Hal ini dilakukan dengan berbagai macam cara seperti pemangkasan anggaran pendidikan, pengurangan subsidi, sampai berbagai kemitraan dengan perusahaan swasta yang bahkan sampai mempengaruhi kurikulum pendidikan. Dampaknya ialah sebagaimana dilansir oleh Daily Beast bahwa di Chile sebanyak 52% orang tidak mampu meneruskan sekolah. Camila mengkhawatirkan kondisi seperti ini sehingga ia bertekad untuk mengubah sistem pendidikan di Chile.

Camila berulang kali memimpin aksi massa. Namun aksi yang dilakukan tidak seperti aksi-aksi pada umumnya. Aksi dilakukan dengan cara-cara yang unik seperti flashmob, menggandeng orangtua pelajar dan mahasiswa, bahkan turut mengajak guru dan dosen turut serta untuk aksi. Camila percaya bahwa aksi kolektif sangatlah signifikan. “Kita tidak akan mampu mengubah pendidikan kita yang sangat neoliberal tanpa aksi kolektif”, pesannya sebagaimana dalam video yang diunggah via youtube.

Menteri Pendidikan Chile berulang kali mengadakan pertemuan dengan massa aksi. Namun diplomasi-diplomasi cenderung gagal karena pemerintah Chile cenderung menolak perubahan. Bahkan Presiden Pinera berujar dengan santainya, “anda mungkin mengharapkan kesehatan dan pendidikan dapat segera gratis, namun di akhir perjalanan anda sendiri akan menyadari bahwa segala sesuatu tidak ada yang gratis”.

Selain aksi massa, Camila juga melakukan jajak pendapat kepada setiap warga Chile diatas usia 14 tahun melalui jejaring online dan institusi-institusi publik. Jajak pendapat itu memberi 3 pertanyaan kepada warga Chile : (1) Apakah responden setuju dengan tuntutan pendidikan berkualitas, pendidikan gratis di semua jenjang, dan didanai oleh negara? (2) Apakah responden setuju dengan tuntutan manajemen pendidikan yang terdesentralisasi di pemerintah kota? (3) Apakah responden setuju untuk menolak privatisasi sistem pendidikan publik?. Hasilnya sebanyak 79 % warga Chile menyatakan setuju pada ketiga pertanyaan tersebut. Hasil jajak pendapat ini disebut juga plebisit, yang mana dijadikan dasar legitimasi untuk mengubah ketentuan dalam Konstitusi Chile karena Konstitusi Chile ternyata membolehkan jual-beli pendidikan.

Camila Vallejo hanyalah satu dari banyak orang yang berjuang untuk pendidikan. Kita mengingat di Indonesia juga banyak pejuang pendidikan mulai dari Kartini, Dewi Sartika, Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Mangunwijaya, Anis Baswedan, sampai Darmaningtyas. Namun dari sekian pejuang itu, sampai sekarang pendidikan masih belum dapat dirasakan secara merata ke setiap lapisan masyarakat. Mungkinkah sosok seperti Camila Vallejo juga harus ada di Indonesia?

Minggu, 24 Maret 2013

Masihkah Bidik Misi Dapat Diandalkan ?



Oleh : 
Sabrina Widya, Rahmawati Hanif dan Putri Mayasari 

(Anggota LKHS 2012-2013 dan 
Mahasiswa FH Unsoed 2012)


(sumber gambar : ryanbian.blogspot.com)

    




P
endidikan adalah suatu hal yang sangat penting dalam pembangunan sebuah negara. Dengan pendidikan yang baik dan layak maka bangsa ini dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Bahkan hak pendidikan telah dijamin sebagaimana tercantum dalam pasal 31 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Ironisnya sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan menjadi mahal, bagaikan barang mewah bagi kebanyakan masyarakat indonesia. Dan itu menjadi masalah yang dapat menghambat perkembangan sumber daya manusia. Padahal banyak pelajar yang memiliki prestasi dan motivasi yang besar tetapi tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan pendidikan. Oleh karena itu sudah seharusnya negara menjamin terselenggaranya pendidikan bagi seluruh warganya tanpa terkecuali bagi warga yang kurang mampu.

        Dengan melihat masalah tersebut pada akhirnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, Bagian Kelima, Pasal 27 ayat (1), menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya memberi bantuan biaya pendidikan atau beasiswa kepada peserta didik yang orang tua atau walinya kurang mampu membiayai pendidikannya. Pada Pasal 27 ayat (2), menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberi beasiswa kepada peserta didik yang berprestasi.
       
        Pemerintah mengeluarkan program BIDIK MISI. Program bidik misi adalah program pembiayaan pendidikan oleh negara bagi pelajar yang berprestasi tetapi tidak mampu secara ekonomi. biaya hidup BIDIK MISI sebesar Rp.6.000.000 ,-- per semester dengan perincian Rp.2.400.000,-- untuk biaya penyelenggaraan pendidikan dan Rp.600.000,-- untuk biaya hidup disetiap bulannya. Dengan adanya bidik misi diharapkan dapat mewujudkan terselenggaranya tri dharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan yang paling penting adalah pengabdian pada masyarakat, sehingga implikasinya adalah terciptanya masyarakat indonesia yang cerdas dan berkualitas.

        Akan tetapi, jika kita berkaca pada kenyataan yang ada praktek bidik misi ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini bisa dibuktikan denga banyaknya masalah-masalah yang menimpa para mahasiswa penerima bidik misi, yang seharusnya bidik misi ini dapat memenuhi 3T yaitu tepat sasaran,  tepat jumlah, dan tepat waktu. Jika kita mengkaji satu persatu unsur bidik misi tersebut maka kita kita akan menemukan penyimpangan yang dimaksud.
        Pada poin yang pertama yaitu tepat sasaran masih belum semaksimal yang diharapkan dengan melihat masih banyaknya mahasiswa yang berpotensi tetapi mereka belum mendapatkan haknya sebagai warga negara Indonesia yakni mendapatkan pendidikan yang layak. Juga masih banyak mahasiswa yang notabene nya dari keluaraga yang secara ekonomi cukup tetapi dia mendapatkan bidik misi. Menurut Muhammad Nuh selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2011, lulusan menengah atas usia 19-23 hanya 26 persen yang terserap masuk perguruan tinggi. Sisanya, 74 persen, tidak melanjutkan ke perguruan tinggi (tempo.co). Kenyataan ini membuktikan bahwa bidik misi belum tepat sasaran.

        Poin yang kedua tepat jumlah bahwasanya bidik misi ini harusnya sesuai dengan indeks kemahalan wilayah universitas yang ditempati oleh mahasiswa penerima bidik misi tersebut,sebagai contoh jika si Polan berkuliah di Banyumas maka biaya hidup yang mereka terima harusnya sesuai dengan indeks kemahalan wilayah tersebut. Indeks kemahalan wilayah, dapat dilihat dari beberapa faktor seperti Standar Kehidupan Hidup Layak (KHL). Di Banyumas sendiri KHLnya ialah 877.000 rupiah sebagaimana ditetapkan dalam Upah Minimum Regional (UMR). Namun jumlah uang yang diterima oleh semua mahasiswa bidik misi ini samarata yakni Rp.600.000, sehingga menimbulkan masalah baru bagi mahasiswa tersebut.
       
        Dan poin yang terakhir adalah tepat waktu, masalah ini adalah masalah yang paling mendasar dalam penyelenggaraan bidik misi. Harusnya uang yang mereka terima ini tepat waktu tapi sekali lagi pada kenyataan nya jauh dari yang diharapkan. Di Unsoed, terjadi keterlambatan hampir 1 bulan untuk pemberian bidik misi. Amat miris sekali mengingat penerima bidik misi notabene ialah mahasiswa kurang mampu, sehingga banyak yang kesulitan secara finansial dalam memenuhi kebutuhann belajar dan kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara mahasiswa pada umumnya sudah membeli banyak buku, jurnal, dan diktat untuk berbagai keperluan kuliah, para penerima bidik misi harus menghemat segala keperluan agar sekedar bisa hidup dan belajar seadanya, yang bahkan tak ragu jua untuk mengutang.


        Ketika terjadi beberapa masalah dalam penyaluran dana bidik misi alangkah baiknya universitas ikut bertanggung jawab, sesuai dengan peraturan penggunaan dana bantuan bidik misi poin ke empat yang berbunyi :
        “Kekurangan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan di PTN         ditanggung oleh perguruan tinggi yang bersangkutan, PTN dapat         mengupayakan dana dari sumber/pihak lain.”
        Dan poin lima yang berbunyi PTN memfasilitasi penyediaan dana, sarana dan prasarana belajar mengajar kepada penerima BIDIKMISI dengan sumber bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan BIDIKMISI atau sumber lain yang relevan.
       
        Sudah jelas dengan melihat peraturan tersebut diharapkan ada tanggung jawab dari universitas untuk ikut andil dalam mempermudah mahasiswa dalam melaksanakan pendidikannya terlepas dari masalah internal yang ada dalam universitas itu sendiri tidak seharusnya universitas angkat tangan dalam masalah bidik misi ini.

        Kesimpulannya, praktik bidik misi yang merupakan potret kecil dari program pemerintah dalam usahanya untuk mencerdaskan bangsa yang kenyataanya masih jauh dari harapan. Bidik misi yang seharusnya menjadi keringanan untuk mahasiswa yang kurang mampu tetapi baik dalam akademik nyatanya menjadi beban yang tak bisa diungkapkan oleh para mahasiswa penerima bidik misi tersebut. Lagi-lagi kita kembalikan ini kepada pemerintah dan pihak universitas yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang penuh atas program yang dibuat agar program bidik misi ini benar-benar dapat berguna seperti yang direncanakan sejak awal.


Jumat, 15 Maret 2013

Memahami Untuk Membasmi Tindak Pidana Korupsi

Oleh :
Taesirurijki
Staf Divisi Diskusi LKHS 2012-2013 

(sumber illustrasi : http://putracenter.files.wordpress.com/2010/04/korupsi.jpg)


Wabah korupsi di Indonesia ini sudah menjadi penyakit mematikan yang sulit untuk disembuhkan, pemberantasan harus menggunakan berbagai cara untuk bisa menyembuhkan penyakit yang sudah stadium akhir ini. Sebenarnya  korupsi dapat diselesaikan dengan beberapa cara jika prosesnya dilakukan secara benar dan berkelanjutan. Penyelesaiannya bisa saja melibatkan sumber daya manusia serta seluruh elemen bangsa di Indonesia baik dengan cara pendekatan secara langsung maupun tidak langsung untuk menyelesaikan dan membasmi wabah korupsi di Indonesia. Sebelum mengarah kepada penegakan tindak pidana korupsi, terlebih dahulu kita harus memahami apa itu korupsi, sebab terjadinya korupsi dan dampak dari tindak pidana korupsi tersebut. Menurut prespektif hukum, pidana korupsi  secara umumnya telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pada Pasal-Pasal tersebut, korupsi sudah dimasukan kedalam tiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi. Pasal-Pasal tersebut menjelaskan mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena tindakan korupsi, hakikatnya ketiga puluh bentuk atau jenis perbuatan pidana korupsi tersebut  telah dikelompokan menjadi tujuh jenis tindak pidana korupsi yang terdiri dari Kerugian keuangan negara, Suap-menyuap, Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan, perbuatan curang, Benturan kepentinagan dalam pengadaan dan Gratifikasi.  Ada beberapa bentuk atau jenis tindak korupsi lainnya yang telah dijelaskan pada UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut terdiri dari  Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21), Tidak memberi  keterangan  atau memberi keterangan yang tidak benar (Pasal 22 jo.Pasal 28), Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 jo.Pasal 29), Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 jo.Pasal 35), Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu (Pasal 22 jo.Pasal 36) dan saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 jo.Pasal 31).
Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindakan pidana yang merugikan keuangan negara berupa APBN dan APBD, dengan cara menyalahgunakan kewenangan guna mendapatkan keuntungan lebih yang tidak sesuai dengan prosedur dan Undang-Undang. Sedangkan definisi Tindak Pidana Korupsi menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah Secara melawan hukum mengambil, mencuri serta menggelapkan hak oranglain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan, adanya penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan kerugian negara. Secara etimologi korupsi berasal dari kata Coruptio artinya busuk dan rusak, selain itu kata korupsi juga mempunyai namalain dari beberapa perspektif bahasa di dunia seperti Gin Moung(Muangthai), Tanwu(China), Oshuko(Jepang), Coruptio(Latin) dan Korupsi(Indonesia). Sesuai pernyataan di atas, Korupsi tidak hanya mewabah di Indonesia tetapi juga mewabah ke beberapa negara di Asia pasifik, tetapi dalam penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi ini pasti berbeda-beda. Penegakkan hukum terhadap tindak pidana di Indonesia sendiri benar-benar banyak rintangan dan tantangannya, penyebab terjadinya korupsi karena adanya Niat dan Kesempatan. Niat yang ada dalam diri si pelaku korupsi dapat dilihat dari perilakunya yang disebabkan karena adanya nilai-nilai atau moral buruk yang menyebabkan korupsi, sedangkan Kesempatan yang dilakukan si pelaku disebabkan karena adanya kelemahan sistem kerja dalam suatu instansi. Beberapa penyebab lainnya dalam hal melakukan tindakan korupsi ini karena faktor kebutuhan, keserakahan, etikad tidak baik dan benturan kepentingan dalam pengadaan.
Referensi:
1. UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Buku saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi(KPK)