Jumat, 20 Desember 2013

Manusia Kebal Hukum


Oleh: Cipto Prayitno[1]
“Apakah manusia adalah makhluk yang bebas sebebas-bebasnya?”[2]
Namun, adanya pertayaan tersebut merupakan pertanyaan yang selalu muncul ketika seseorang dalam keadaan terkekang dalam sebuah keadaan tertentu (misal: kehidupan organisasi atau kehidupan kenegaraan) dan ada sebuah keinginan dalam dirinya untuk lepas dari kekangan tersebut, “saya adalah manusia bebas, tidak terikat pada apapun”. Dan juga pertanyaan tersebut kemungkinan merupakan sebuah klaim bahwa dirinya adalah manusia bebas yang tidak terikat pada apapun didunia ini. 
Dalam keadaan yang  jenuh tehadap ketidak-bebasan atau dalam kekangan sesuatu hal adalah menjadi wajar jika seseorang menobatkan dirinya adalah menusia bebas yang tidak terikat pada apapun. Namun, bagaimanakah jawaban atas pertanyaan tersebut serta analisanya?

Manusia Makhluk yang Bebas?
Dalam bukunya Du Contract Social, Jean Jacques Rousseau[3] menyatakan bahwa manusia terlahir sebagai makhluk yang bebas, yang seharusnya tidak terkekang disana-sini. Lalu apakah pernyataan J.J. Rousseau ini ada kaitannya dengan pertanyaan diatas mengenai klaim atas dirinya sebagai manusia yang bebas sebebas-bebasnya?
Pernyataan manusia adalah makhluk bebas oleh J.J. Rousseau ini adalah dalam ranah hubungan manusia satu dengan manusia lain yang tereduksi dalam hukum. Sehingga mengenai pendapatnya bahwa manusia adalah makhluk yang bebas adalah sependapat, karena dalam hal ini manusia punya kebebasan baik dalam hal melakukan sesuatu hal atau dalam memilih. Namun, adanya tidaklah sepakat ketika kebebasan yang dimiliki manusia dalam hubungannya dengan manusia lain adalah sebebas-bebasnya, yang mana manusia dapat berbuat semaunya dengan dasar kebebasannya tadi. Karena pada hakikatnya berdasar penyataan Cicero bahwa dimana ada masyarakat disitu ada hukum (Ubi societas ibi ius), yang artinya telah ada hukum yang mengikat ketika manusia melakukan hubungannya dengan manusai lainnya. Sehingga dalam melakukan sesuatu hal atau dalam hal melakukan pilihannya manusia terikat pada hukum yang telah ada sejak ada manusia lain (masyarakat), karena pada hakikatnya hukum dalam konteks adanya masyarakat muncul adalah untuk membatasi kebebasan dan kekuasaan seseorang didalam masyarakat tersebut.
Sehingga, dalam konteks bermasyarakat dan dalam hubungannya manusia tidaklah sebebas sebebas-bebasnya sesuai dengan kehendaknya karena terikat pada hukum yang telah disepakati dalam masyarakat tertentu dimana manusia tersebut berada.
Lalu dalam konteks hukum yang lebih luas, yaitu mencakup pengertian hukum pada umumnya (hukum dalam ilmu hukum sebagai kaidah bermasyarakat) dan hukum dalam pengertian prinsip-prinsip dasar dalam ilmu pengetahuan (misal: Hukum Newton, Hukum Gravitasi, dll), apakah manusia-pun tetap bebas seperti pertanyaan pada awal pembicaraan? “bahwa saya (manusia) adalah makhluk yang bebas sebebas-bebasnya”.
Ketika dalam bermasyarakat manusia tidak memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya karena terikat pada hukum masyarakat tersebut, lalu bagaimana ketika seorang manusia hidup tidak bermasyarakat? Atau hidup seorang diri didalam hutan atau ditengah pulau yang tidak ada apapun kecuali tanah, pantai, pasir dan lautan. Apakah ketika manusia hidup tidak bermasyarakat bisa disebut sebagai makhluk yang bebas sebebas-bebasnya?
Mungkin tidak, ketika berbicara dalam konteks hukum secara luas yang meliputi juga hukum dalam pengertian prinsip-prinsip dasar dalam ilmu pengetahuan (misal: Hukum Newton, Hukum Gravitasi, dll) yang kita sebut saja hukum alam, manusia-pun tidak memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya atau tetap terikat pada hukum tersebut. Dalam hal manusia terikat pada hukum alam ini berbeda dengan ketika manusia terikat pada hukum masyarakat dimana dia hidup. Perbedaanya adalah pada pilihan kesepakatannya, ketika dalam hukum masyarakat manusia dapat memilih bersepakat dan hidup bermasyarakat atau memilih tidak bersepakat atau hidup seorang diri. Sedangkan dalam keterikatan dengan hukum alam, manusia tidak mempunyai pilihan meskipun hidup seorang diri ditengah pulau yang yang tidak ada apapun kecuali tanah, pantai, pasir dan lautan. Karena keterikatan manusia pada hukum alam ini adalah mutlak ada saat manusia terlahir didunia. Manusia akan terikat pada hukum gravitasi bumi, sehingga manusia tidak melayang-layang diatas bumi dan bisa menginjakkan tanah dengan mudah dibumi. Manusia akan lapar ketika dalam beberapa saat tidak ada asupan energi yang dapat dicerna tubuhnya. Manusia akan makan (memberi tubuhnya asupan energi) ketika dia mulai lapar. Sehingga dalam konteks keterikatan dengan hukum alam-pun, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya seperti apa yang telah diinginkan.
Semisal ada seorang manusia anggap saja A, pada saat itu dia hidup ditengah pulau yang yang tidak ada apapun kecuali tanah, pantai, pasir dan lautan dengan manusia lain yaitu B. Ketika ada B (masyarakat), A mau tidak mau harus berbuat sesuai apa yang telah disepaati dengan B (sadar atau tidak sadar). Dimana semisal A dan B tidak boleh saling berebut makanan, maka A pun tidak boleh merebut makanan B. Ketika A merebut makanan B, maka A telah mengingkari kesepakatannya yang tereduksi dalam hukum antara A dan B. (dalam hal ini A memilih untuk tidak terikat hukum tersebut yang pada awalnya terikat)
Dan ketika B telah meninggal, yang mana A hidup seorang diri dipulau itu, artinya A telah terlepas dari hukum masyarakat A dan B. Namun A tidak sepenuhnya menjadi manusia bebas, karena A akan tetap lapar, A akan tetap mencari makan ketika lapar, A tetap terikat pada gravitasi bumi, A tetap terikat ruang dan waktu, A akan tetap mati dikemudian hari. Sehingga dalam hal keterikatan dengan hukum alam, A bukanlah manusia yang bebas sebebas-bebasnya dari keterikatan dengan hukum alam.

Manusia Kebal Hukum?
Dari penjelasan dan dari contoh diatas mengenai keterikatan manusia dengan hukum masyarakat dan hukum alam dapat disimpulkan bahwa manusia bukanlah manusia bebas sebebas-bebasnya yang tidak terikat pada hukum masyarakat maupun hukum alam. Lalu apakah manusia bisa melakukan pilihan untuk menjadi manusia bebas (tidak terikat pada hukum masyarakat dan hukum alam)?
Jawaban yang memungkinkan untuk jawaban diatas ketika kita bandingkan dari penjelasan bahwa manusia selalu terikat dengan hukum masyarakat dan hukum alam adalah “manusia harus menjadi makhluk yang kebal hukum”[4]. Pertanyaan yang selanjutnya adalah “apakah mungkin manusia menjadi makhluk yang kebal hukum (dari hukum masyarakat dan hukum alam). Mungkin dari hukum masyarakat bisa menjadi makhluk yang kebal hukum, namun apakah bisa menjadi makhluk yang kebal hukum dan tidak terikat pada hukum alam?



[1] Penulis adalah mahasiswa FH Unsoed angkatan 2011, Kadiv Penelitian di Lembaga Kajian Hukum dan Sosial.
[2] Pertanyaan itu muncul dalam diskusi santai antara penulis dengan Panji Mulkillah Ahmad (teman satu kontrakan).
[3] Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social, Cetakan Kedua, 2009, VisiMedia, Jakarta Selatan, Hal. 4.
[4] Jawaban yang ditawarkan oleh Panji Mulkillah Ahmad ketika berdiskusi dengan penulis, tentang  manusia ingin menjadi manusia yang bebas sebebas-bebasnya.

Senin, 02 Desember 2013

Melihat Money Laundry dari Prespektif Sejarah Kultur Bangsa Indonesia


Oleh : Wijang Banu Hapsari
(Bendahara LKHS Periode 2013/2014)

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang tidak akan pernah merasa puas, seolah-olah apapun yang sudah di dapatkan masih saja dirasa kurang. Yang miskin ingin menjadi kaya, yang sudah kaya ingin semakin kaya, dan begitulah seterusnya. Pencucian uang atau lebih dikenal dengan istilah populernya money laundry adalah salah satu fenomena yang dapat menunjukan adanya sifat manusia yang tidak akan pernah merasa puas tersebut. Istilah money laundry yang dijelaskan dalam kuliah umum tentang money laundry oleh wakil ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso, merupakan proses mengaburkan identitas atau asal-usul harta kekayaan secara ilegal sehingga harta kekayaan tampak berasal dari sumber  yang sah[1]. Padahal uang yang diperoleh ini kebanyakan merupakan uang hasil tindak kejahatan seperti korupsi, hasil suap, pemerasan, prostitusi, perdagangan minuman keras, perdagangan narkotika bahkan sampai perdagangan manusia dan lain sebagainya. Indonesia sendiri menempati posisi 10 besar sedunia terkait kejahatan money laundry yang terjadi, dan 67 % diantaranya merupakan pencucian uang yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi. Pencucian uang biasanya dilakukan  dengan membeli saham atau
properti, untuk membuat uang kotor itu nantinya menjadi seolah-olah bersumber dari suatu kegiatan usaha yang sah. Sungguh ironis, demi memperkaya diri dan meluapkan hasrat kepuasannya seseorang rela melakukan kejahatan yang dampaknya dapat merugikan negara. Jika kita sejenak melihat ke belakang, dalam hal ini sejarah kultur bangsa kita, apakah tindakan licik manusia untuk memperkaya dirinya melalui money laundry ini dapat ditelusuri sebab-sebabnya, sehingga dapat diperoleh suatu solusi untuk melawan dan atau bahkan memusnahkan kejahatan money laundry di Indonesia, di  samping usaha-usaha yang tengah gencar di lakukan pemerintah saat ini.
Kultur budaya di Indonesia sangat beraneka ragam, tetapi pada dasarnya sebelum bangsa penjajah masuk ke negara kita, di Indonesia terdapat banyak sekali kerajaan-kerajaan. Khususnya di jawa dengan kultur keratonannya yang sangat kental dengan nuansa feodalisme. Para pejabat-pejabat keraton saat itu sangat menjunjung tinggi kehormatan serta nama baiknya. hal ini otomatis akan menimbulkan adanya kesenjangan yang sangat signifikan antara priyayi (orang-orang keraton) dengan masyarakat bawah. Hal ini diperburuk dengan adanya penjajah Belanda yang juga sangat erat dengan kultur feodalnya masuk ke Indonesia. Menurut Boesono Soedarso dalam bukunya yang berjudul “Latar Belakang sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia”, keadaan social heritage[2] atau kultur kita pada waktu itu sangat ditentukan bagaimana politik pemerintah Belanda terhadap kaum pribumi. Pada masa  kolonialisme tersebut, ada pembagian strata yaitu strata atas dan strata bawah. Strata bagian atas adalah kulit putih, sedangkan strata bagian bawah adalah penduduk asli atau inlanders. Kontak sosial antara kedua golongan itu sangat terbatas, hanya pada hubungan formal seperti majikan-buruh dan penguasa-penduduk[3].  Belanda pada saat itu memanfaatkan kaum-kaum bangsawan atau keratonan yaitu Bupati untuk memperdayakan penduduk agar mau melakukan kerja paksa. Para penduduk dengan pemikirannya yang primitif mau saja untuk diperintah oleh rajanya atau pemimpinnya karena pemikiran penduduk pada saat itu bahwa memang mereka haruslah tunduk pada pemimpinnya. Budaya feodal semakin di junjung, semakin di agung-agungkan, yang berkuasa seenaknya saja melakukan kelicikan demi untuk mencari kepuasan dan keuntungan bagi kepentingan dirinya sendiri tanpa memikirkan kerugian orang lain. Penduduk dengan pemikirannya yang primitif pada saat itu, kita analogikan saja dengan masyarakat Indonesia sekarang yang masih jauh dari kemakmuran, akibat dari orang-orang yang kenyang akan kekuasaan. Dan hal itu pun berdampak pada maraknya kejahatan-kejahatan lain yang berujung pada money laundry. Jika kita lihat dari sejarah, kultur feodal yang di miliki bangsa Indonesia lebih menunjukan kepada kejahatan korupsi oleh para pejabat-pejabat yang memiliki kekuasaan. Dari situlah terjawab mengapa kejahatan money laundry di Indonesia lebih di dominasi oleh tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan korupsi yang berdampak pada adanya praktik money laundry ini. Salah satu upaya pemerintah sekarang adalah dengan membentuk lembaga independen yang khusus menangani masalah pencucian uang melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga ini dirasa sangat membantu untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan diharapkan dapat menurunkan tingkat kejahatan money laundry. Dengan adanya PPATK, setiap transaksi keuangan yang berlangsung khususnya jika transaksi diatas 500 juta dan terdapat adanya indikasi mencurigakan dalam transaksi tersebut, maka akan dilacak dan dianalisis agar langsung dapat di temukan dari sumber manakah transaksi tersebut berasal. Jika transaksi tersebut berasal dari praktek-praktek ilegal, maka secara langsung dapat pula terdeteksi tindak kejahatan tersebut.  Contoh konkrit kinerja PPATK ini dapat kita lihat dari kasus impor daging sapi yang membawa nama Luthfi Hasan Ishak dan Ahmad Fathonah, dari sinilah terbongkar kasus skandal suap yang dilakukan oleh mereka.
Pada dasarnya upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah memang sangat bagus, namun  jika kita tinjau dari sejarah kultur bangsa kita yang sudah di jelaskan diatas, sebagus apapun usaha pemerintah untuk memberantas kejahatan money laundry ini menurut saya belum dapat dipastikan secara mutlak bahwa hal itu dapat mengatasi masalah tersebut. Karena yang namanya moral Bangsa sangat berkaitan erat dengan kultur masyarakatnya yang mayoritas telah diwarisi kultur feodal bagi para pemimpinnya dan pemikiran yang primitif bagi para masyarakat kalangan bawahnya. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa, sebagai calon pemimpin bangsa, harus turut andil dalam mengatasi money laundry ini dengan berusaha meninggalkan kultur lama dan mulailah dengan membiasakan bersikap peduli sesama dan peduli terhadap lingkungan sekitar khususnya masyarakat kalangan bawah. Belajar bersyukur atas apa yang sudah kita dapatkan sehingga kita tidak akan selalu dihantui rasa tidak puas. Pada intinya, money laundry di Indonesia yang mayoritas terjadi akibat tindak pidana korupsi dapat kita lawan tidak hanya dengan sebatas mendukung dibentuknya lembaga independen seperti PPATK saja,  tetapi kita sendiri harus bergegas meningkatkan kualitas diri dengan tidak membudayakan kultur feodalisme. Serta yang terpenting adalah selalu berpegang teguh pada agama agar kita senantiasa tidak melupakan rasa syukur atas apa yang sudah kita capai dan dapatkan. Dan di masa yang akan datang kita para calon pemimpin, calon penerus bangsa tidak akan mengenal lagi dan menghalalkan kelicikan yang berdampak adanya money laundy.



[1] Disampaikan dalam Kuliah Umum tentang Money Laundry pada Sabtu, 21 september 2013 di Gedung Justitia 3 Fakultas Hukum UNSOED.
[2] Warisan budaya masyarakat
[3] Soedarso Boesono, Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia, Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia. 2009.  Hlm. 17