Jumat, 21 Desember 2012

Pendidikan Gratis Itu Wajar


Oleh :
Panji Mulkillah Ahmad

Isu Sekolah Menengah Universal seolah membawa harapan baru bagi masyarakat. Pendidikan wajib 12 tahun yang dicanangkan pemerintah membawa angin segar bagi masyarakat yang masih tersendat dalam memperjuangkan anaknya supaya berseragam putih abu-abu. Karena selama ini sekolah menengah keatas memang dikenal masih membutuhkan biaya yang tinggi,  mulai dari biaya operasional sampai non operasional. Belum lagi jika sekolah itu diberi label “Standar Nasional” dan “Standar Internasional”, maka hanya kalangan atas dan menengah ke atas saja yang mampu mengenyam bangku di sana. Maka wajar jika isu Sekolah Menengah Universal yang katanya akan membebaskan biaya sekolah ini ditanggapi secara antusias oleh masyarakat.
Yang tinggal masih menjadi persoalan selanjutnya, yang juga belum menjadi sorotan pemerintah ialah pada jenjang Pendidikan Tinggi. Pada jenjang ini, akses pendidikan makin menyempit karena hanya bisa ditembus oleh beberapa orang saja. Yaitu mereka-mereka yang sangat beruntung bisa lolos seleksi masuk perguruan tinggi, menyingkirkan calon-calon mahasiswa lain yang juga ikut proses seleksi. Menurut Muhammad Nuh selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2011, lulusan menengah atas usia 19-23 hanya 26 persen yang terserap masuk perguruan tinggi. Sisanya, 74 persen, tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Padahal seleksi itu sendiri sudah penuh perjuangan karena hari ini supaya bisa duduk di bangku kuliah ada berbagai jalur masuk dengan memerlukan biaya yang bervariasi. Amat beruntung lagi jika kebetulan atau tidak, si anak merupakan golongan keluarga kaya, sehingga bisa menggunakan kekayaannya supaya dapat kuliah di manapun ia suka. Yang juga beruntung (sekalipun sedikit) ialah yang miskin tapi pintar, ia dapat kuliah sekalipun harus dengan perjuangan yang berliku, karena mau tidak mau harus mencari dana beasiswa. Yang paling tidak beruntung ialah mereka-mereka yang oleh sistem dianggap miskin dan bodoh, mereka sampai kapanpun tidak akan mampu mengenyam bangku kuliahan. Maka, paradigma (cara pandang) masyarakat hari ini sangat dapat dimaklumi jika menganggap bahwa “hebat” dan “bangga” adalah ketika anak-anak mereka dapat mengenyam bangku kuliah. Karena hari ini, pendidikan masih dianggap komoditas yang mahal.
Bila kita kembali pada tahun 2000, ternyata pada saat itu ada sebuah pertemuan bernama World Education Forum di Dakkar, Senegal. Negara-negara yang totalnya berjumlah 189 termasuk dengan partisipasi dari beberapa  organisasi-organisasi yang jumlahnya mencapai 1100 hadir dan menyepakati beberapa poin penting[1] :
1. Memperluas pendidikan untuk anak usia dini
2. Menuntaskan wajib belajar untuk semua
3. Mengembangkan proses pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa
4. Meningkatnya 50% orang dewasa yang melek huruf (2015), khususnya perempuan
5. Menghapuskan kesenjangan gender
6. Meningkatkan mutu pendidikan
Beberapa poin tersebut, ringkasnya merupakan misi UNESCO bersama negara-negara di dunia (termasuk Indonesia) dengan slogannya yang terkenal : Education for All. Yaitu sebuah pendidikan yang dapat diakses oleh siapapun, pendidikan untuk semua kalangan.
Bila kita mengingat kembali pada tahun 1966, lahir pula Internatinal Covenant of Economics, Social, and Culture Rights(ICCPR). Dalam artikel 13 ayat 2 huruf (a), (b), dan (c) dikatakan :
The States Parties to the present Covenant recognize that, with a view to achieving the full realization of this right:
(a) Primary education shall be compulsory and available free to all;
 (b) Secondary education in its different forms, including technical and vocational secondary education,shall be mad e generally available and accessible to all by every appropriate means, and in particularby the progressive introduction of free education;
(c) Higher education shall be made equally accessible to all, on the basis of capacity, by every appropriate means, and in particular by the progressive introduction of free education;
Jika diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia :
Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh:
a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara gratis  bagi semua orang;
b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;
c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;

Namun Indonesia baru meratifikasi Kovenan ini pada tahun 2005, yakni melalui UU No 11 tahun 2005. Berarti Indonesia “mangkir” selama 39 tahun dibanding negara-negara lainnya dalam menjamin warganya untuk mengenyam akses pendidikan. Yang dapat diambil intisari dari ketentuan tersebut, bahwasanya pendidikan merupakan hak asasi manusia yang bersifat universal dan adalah kewajiban negara untuk menjamin hak tersebut diperoleh warganya. Untuk memperoleh hak tersebut, maka disepakatilah bahwa pendidikan dala jenjang apapun harus gratis.

Di Indonesia, hal ini sesuai dengan Konstitusi kita yakni Undang Undang Dasar 1945. Pada pasal 31 ayat (1) dikatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Bahkan pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk menjamin hak tersebut, sebagaimana tertuang dalam ayat (3) bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ditambah lagi jika kita melihat Pembukaan(Preamble) UUD 1945 sebagai cita-cita negara, dikatakan bahwa “..Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...”. Indonesia ternyata memiliki janji[2] kepada warganya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lantas mengapa paradigma masyarakat masih memandang bahwa pendidikan adalah barang yang mahal? Mengapa masyarakat masih merasa bahwa yang sanggup mengenyam pendidikan hanyalah orang-orang tertentu saja. Di Kuba dan di Belanda misalnya, pendidikan tidak memiliki sekat-sekat antara yang “dasar” dengan “menegah” dan yang “tinggi”. Ataupun yang “nasional”, “swasta”, dan “internasional”. Juga yang “beasiswa kurang mampu” ataupun “yang biaya tinggi”. Tidak ada pemisahan hak bagi si kaya ataupun si miskin, si anak pekerja ataupun anak pengusaha, anak bodoh ataupun anak pintar. Singkatnya, tidak ada diskriminasi secara sosial maupun ekonomi dalam mengakses pendidikan. Andai cara pandang kita tidak menganggap bahwa pendidikan adalah barang yang mahal, maka kita tidak mungkin menganggap bahwa pendidikan gratis adalah sebuah keajaiban. Sebagai subyek yang telah memiliki kesadaran akan haknya, maka setelah sadar kita akan menuntut hak kita semua untuk mendapatkan akses pendidikan secara terbuka.

Mungkin saja, kita semua hari ini masih memiliki cara pandang yang menganggap bahwa keadaan seseorang merupakan akibat dari orang itu sendiri. Cara pandang ini dinamakan juga dengan paradigma liberal[3]. Semisal ada seorang anak yang miskin dan bodoh. Orang yang berparadigma liberal akan menganggap bahwa anak itu miskin karena ia tidak bekerja dan ia bodoh karena tidak sekolah. Tapi benarkah demikian?

Apakah seorang anak sudah dapat menentukan nasib dirinya akan menjadi miskin dan bodoh? Tentu saja tidak. Jika kita mampu memandang secara obyektif, anak tersebut menjadi miskin dan bodoh bukan karena dirinya sendiri yang mengkehendaki, tapi karena sistem. Sistem dalam hal ini adalah tatanan sosial, politik, dan hukum yang mempengaruhi anak tersebut. Mungkin saja karena negara tidak mengurusi anak itu, sehingga ia miskin dan bodoh. Cara berpikir yang demikian merupakan paradigma kritis. Yaitu paradigma yang menyatakan keadaan seseorang tidak hanya disebabkan atas kehendak orang itu sendiri, tapi juga karena sistem kelas masyarakat yang mempengaruhinya. Nah, kamu sendiri menggunakan paradigma yang mana?

Sudah saatnya kita mengubah paradigma kita. Sudah saatnya sebagai insan yang memiliki hak asasi mendapatkan haknya, terutama hak pendidikan. Bukan hanya memperjuangkan hak diri sendiri, tapi juga menolong orang lain sebagai bentuk kepedulian sesama manusia.

tulisan ini diposkan juga di : panjimulkillah.blogspot.com



[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Education_For_All, diakses pada 21 Desember 2012
[2] Anis Baswedan dalam Diskusi Publik di FISIP Unsoed lebih menyukai kata “janji” daripada “cita-cita” karena baginya, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tanggungjawab negara sebagai konsekuensi dicantumkannya ketentuan tersebut dalam Pembukaan UUD 1945.
[3] Henry Giroux dan Aronowitz membagi 3 macam paradigma pendidikan, yaitu paradigma konservatif, liberal, dan kritis. Tertuang dalam Mansour Fakih, “Ideologi Dalam Pendidikan” Pengantar dalam William F. O’Neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002) hlm xiii



DAFTAR PUSTAKA

Literatur :
O’Neil, William, 2002, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Internet :
Wikipedia : http:// en.wikiepedia. org/wiki/Education_For_All (diakses pada 21 Desember 2012)

Peraturan Perundang Undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
International Covenant of Economics, Social, and Culture Rights
Undang Undang No 11 Tahun 2005

Kamis, 06 Desember 2012

Diskusi Pagi. Pembatasan Kewenangan Terhadap Perusahaan Outsourching Dalam Peraturan Perundang-Undangan

Serikat Pekerja/Buruh menyambut baik upaya pemerintah dalam membatasi jenis pekerjaan yang dapat dialihkan ke perusahaan penyedia jasa pekerja. Jenis pekerjaan yang dapat di Outsourcing seperti cleaning service, security, catering, jasa transportasi dan penunjang pertambangan. Dengan berlakunya (Permenakertrans) No 19 tahun 2012 ini juga mencantumkan hak-hak apa saja dari pekerja Outsourcing yang harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa seperti Hak cuti, jaminan social, tunjangan hari jaya dan hak mendapatkan ganti rugi. Para pekerja/buruh selama ini menganggap Outsourcing seperti perbudakan.
Apakah dengan adanya pembatasan jenis pekerja yang dapat di Outsourcing ini bisa meningkatkan kesejahteraan para pekerja/buruh?(UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri No. 19 Tahun 2012, KUH Perdata)
oleh Taesiru Rijki (Staff Divisi Diskusi 2012/2013).


Kamis, 29 November 2012

MAHASISWA FH UNSOED SEMAKIN DIPERHITUNGKAN DIKANCAH LOMBA DEBAT NASIONAL


Tim Fakultas Hukum Unsoed baru saja meraih prestasi di kancah nasional dalam Lomba Debat Hukum Nasional “Sciencesational 2012” yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Fakultas Hukum Unsoed memperoleh Peringkat III dan 1st Best Speaker pada kesempatan kali ini. Perlombaan ini berlangsung sejak 16 sampai 19 November 2012 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.
      Enam mahasiswa dikirimkan dalam perlombaan tersebut. Tiga diantaranya bertindak sebagai speaker, yakni Markham Faried (2011), Panji Mulkillah Ahmad (2010), dan Firman Nugraha (2009). Dan tiga lainnya bertindak sebagai tim riset, yakni Chintia Purwanita (2011), Dwi Utami (2010), dan Surya Prabaswara (2010). Tim ini didampingi oleh Tedi Sudrajat, S.H.,M.H. selaku dosen pembina. Tim yang notebene merupakan anggota UKM Lembaga Kajian Hukum dan Sosial (LKHS) FH Unsoed ini menghabiskan waktu kurang lebih selama dua bulan untuk mempersiapkan materi. “Sekalipun tidak meraih juara satu dan tidak membawa pulang trofi, semoga ini awal yang baik bagi FH Unsoed untuk lebih berkiprah lagi di kancah nasional”, ujar Panji selaku salah satu speaker tim FH Unsoed yang mencoba memotivasi mahasiswa yang lain. (Naufal Fikri Mujaddid,Hans)

Sumber: http://fh.unsoed.ac.id/en/berita/MAHAISWA-FH-UNSOED-SEMAKIN-DIPERHITUNGKAN-DIKANCAH-LOMBA-DEBAT-NASIONAL

Senin, 26 November 2012

Diskusi Santai : Membongkar Masalah UKT Dalam Perspektif Hukum Perjanjian



Bagaimana kesan Studi Empiris Perjanjian Menurut KUHPerdata pada minggu lalu? Makin paham mbok antara norma (das sollen) dan kenyataan (das sein) hukum perjanjian dalam masyarakat? Nah, pasca memahami prinsip-prinsipnya dan juga penerapannya, kini pemahaman yang kita dapat, mari coba kita jadikan pisau analisis terhadap permasalahan yang kini sedang terjadi di kampus kita, yaitu UKT (Uang Kuliah T
unggal).
Ayo berpartisipasi dalam DISKUSI SANTAI dengan topik : 
MEMBONGKAR MASALAH U K T DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN 

Pembicara : 
Panji Mulkillah Ahmad
(Kadiv Pengkaderan LKHS & Anggota Riset Save Soedirman)

Waktu : 
Selasa , 27 November 2012
Pukul 14 : 10

Lokasi : 
Lantai II Gedung Yustisia 4

Jangan ngaku mahasiswa hukum kalau tidak paham dan tidak peduli terhadap realita peristiwa hukum.

Rabu, 17 Oktober 2012

Tan Malaka (Training Anggota dan Malam Keakraban) LKHS 2012


Tan Malaka (Training Anggota dan Malam Keakraban) LKHS




“Semangat Berorganisasi Tingkatkan Kualitas Diri Menjadi Kritis dan Solutif Bersama LKHS”, begitulah bunyi dari judul kegiatan Tan Malaka (Training Anggota dan Malam Keakraban) yang baru saja diselenggarakan Lembaga Kajian Hukum dan Sosial (LKHS ). Sebanyak 54 mahasiswa menjadi peserta Tan Malaka LKHS. Kegiatan dimulai hari Sabtu tanggal 6 Oktober 2012 dari pukul 8:00 di Yustisia 1, sampai dengan hari minggu 7 Oktober 2012 pukul 12:00 di Villa New Aprilla Baturraden.
Tan Malaka sendiri merupakan salah satu jalur Rekruitmen di LKHS bagi mahasiswa FH Unsoed yang memiliki minat pada bidang hukum dan sosial dan hendak bergabung ke LKHS. Dalam kegiatan ini, ditanamkanlah pemahaman-pemahaman tentang keorganisasian, tentang LKHS, tentang isu hukum dan sosial, dan yang terpenting semangat berorganisasi dan kekeluargaan. Selain pematerian, kegiatan diisi juga dengan permainan kolektif, tracking, berbagi kisah, dan yang lainnya.
Kegiatan Tan Malaka sendiri memakan proses selama 1 bulan, yang diketuapanitai oleh Wemby Adhiatma Nugroho, mahasiswa angkatan 2011, sekaligus Staf Divisi Pengkaderan LKHS. Jika dibanding tahun lalu, animo mahasiswa untuk bergabung ke LKHS meningkat pesat sekitar 3 kali lipat. Dengan perkembangan dan suksesnya Tan Malaka ini, Ketua Umum LKHS, Luthfi Kalbuadi dan Ketua Panitia Tan Malaka, Wemby Adhiatma Nugroho tak kuasa menahan apresiasinya seraya berseru, “LKHS uber alles !”. (Panji Mulkillah Ahmad)


Selasa, 09 Oktober 2012

Mengembalikan Hakekat Manusia Sebagai Subyek Dalam Organisasi


Mengembalikan Hakekat Manusia Sebagai Subyek Dalam Organisasi[1]
Oleh :
Panji Mulkillah Ahmad[2]




Sesungguhnya jikalau ada seseorang melakukan suatu pekerjaan karena kecintaannya, rasa senang hatinya dan bukan karena sebuah paksaan, maka ia akan melakukan pekerjaan itu sama bahagianya dengan ia bermain” – Luthfi Kalbuadi

Avant Propos
Dari sebuah layar ponsel, tertampang kata-kata bertuliskan “Selamat pagi, besok seluruh pengurus rapat di Sekre jam 2 siang”. Usai membaca SMS tersebut, berkata dalam hati si pemilik ponsel, “Duh malesnya musti rapat, mana hari ini deadline-nya musti diserahin, pusiiiing”. Dalam hati pula ia bertutur, “Ikut organisasi kok gini-gini amat ya, capek, bete”. Pada akhirnya dapat kita tebak setidaknya ada dua kemungkinan kelanjutan daripada kisah ini. Yang pertama, si dia tidak datang rapat. Yang kedua, si dia datang rapat dengan terpaksa. Pernah merasa seperti ini? Atau pernah merasa ada seorang temanmu yang seperti ini? Hal seperti ini adalah hal yang wajar dalam dinamika organisasi. Namun kewajaran itu bukanlah suatu hal yang bisa begitu saja dimaklumkan, karena bagaimanapun juga ini adalah sebuah masalah. Yang mana masalah itu dianggap biasa sehingga menimbulkan persepsi bernama kewajaran. Padahal bila kita melihat lagi apa itu organisasi, pada intinya ialah sebuah alat bagi manusia, dan bukan malah manusia yang menjadi alat organisasi.

Pasak Pikiran Aksara : Manusia Dalam Organisasi
Tuntutan manusia untuk hidup bersama merupakan sebuah tuntutan kodrati. Yang bahkan oleh Aristoteles menuturkan bahwa manusia ialah zoon politicon, manusia adalah mahluk sosial yang mana selalu membutuhkan orang lain. Pada taraf kehidupan yang makin maju, manusia dalam hidup bersama membentuk suatu kelompok.  Oleh Hebert G. Hicks[3] menerangkan beberapa tujuan orang masuk sebagai anggota kelompok :
1.      Untuk memecahkan masalah, semisal ekonomi, militer, dan masalah-masalah lain
2.      Orang mungkin juga masuk kelompok karena kebutuhannya diterima dan mencegah kesepian dan kerenggangan. Keagamaan, famili, dan kelompok-kelompok lain sering membantu kebutuhan ini.
3.      Demikian kelompok juga dapat memberikan bantuan pada waktu orang menjumpai kesusahan
4.      Kelompok dapat memberikan tujuan dan nilai hidup yang lebih bernilai, norma, perilaku, dan kesetiaan kelompok
5.      Kelompok sosial, kerja dan bermacam-macam kelompok lainnya memberikan prestige, status, dan pengakuan
6.      Kelompok, dengan kehidupan mereka memberi orang kesempatan untuk memuaskan kebutuhannya untuk mengungkapkan perasaannya dan melakukan hubungan dengan berbagai cara
7.      Perasaan keamanan seseorang sering dimanfaatkan dari kelompok jika mereka mengurangi kecemasan orang dengan meberikan dukungan, pertahanan dan perasaan diikutsertakan.
8.      Kadang-kadang kelompok membantu memberikan terapi tatkala memecahkan masalah-masalah pribadi.
Salah satu macam kelompok yang dibahas saat ini ialah organisasi. Oleh Ernest Dale[4], organisasi didefinisikan sebagai suatu proses perencanaan yang berkaitan dengan hal menyusun, mengembangkan dan memelihara suatu struktur atau pola hubungan-hubungan kerja dari orang-orang dalam suatu badan usaha. Sedangkan menurut Dalton E. McFarland[5], organisasi adalah pola komunikasi yang kompleks dan hubungan-hubungan lain di dalam suatu kelompok manusia. Sederhananya, oleh Sutarto[6], organisasi didefinisikan sebagai sistem yang saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi ada 3 unsur fundamen dalam organisasi. Pertama, sekelompok manusia. Kedua, bekerjasama sebagai sistem. Ketiga, mencapai tujuan tertentu.
Bila ditarik sebuah garis lurus sebuah hubungan antara manusia sebagai organisasi, maka berdasarkan definisi diatas, manusia ialah berlaku sebagai subyek, sedangkan organisasi sebagai obyek. Sederhananya, manusia ialah pelaku, sedangkan organisasi ialah sebagai alat. Semisal ada seorang ingin melakukan pengembangan diri dalam bidang sepakbola, maka ia masuklah kedalam organisasi di bidang kesepakbolaan, yakni klub sepakbola. Dengan harapan, klub tersebut dapat menjadi sarana bagi dia melakukan pengembangan diri. Semisal lagi ada seorang ingin membuat lingkungan sekitar kelurahannya menjadi hijau lestari, maka ia mendirikan suatu kelompok berbentuk organisasi di bidang pelestarian lingkungan, katakanlah namanya Go Green Concervation. Dengan harapan, melalui organisasi tersebut dapat membuat lingkungan sekitar kelurahan menjadi hijau lestari, sesuai dengan keingingan si pendiri organisasi. Singkatnya, ada kesamaan kebutuhan/kepentingan antara suatu organisasi dengan seseorang. Pada asasnya seseorang hanya akan bersedia masuk ke dalam organisasi apabila kebutuhan organisasi dirasakan sama dengan kebutuhan orang itu.[7]


Adanya Disorientasi
Lantas bagaimana mungkin ada perasaan keterpaksaan dari seseorang ketika berproses dalam organisasi? Padahal pada asasnya organisasi sangat membantu bagi seseorang yang hendak mewujudkan kepentingannya. Analisis saya, keadaan seseorang yang demikian disebabkan karena adanya disorientasi organisasi. Yaitu adanya ketidaksamaan antara kepentingan individu dengan kepentingan organisasi.
Pada suatu kasus, ada saja seseorang yang “salah kamar”. Yaitu minat seseorang itu ternyata tidak sama dengan tujuan organisasi. Tujuan organisasi tersebut memang tidak dapat mengakomodir minat seseorang itu. Semisal ada orang yang memiliki minat pada bidang seni musik. Lalu ia memasuki organisasi di bidang pecinta alam. Harapannya untuk dapat mengembangkan diri dalam seni musik kemungkinan akan sirna di organisasi tersebut, karena memang organisasi tersebut tidak bergerak di bidang seni musik. Jika seseorang tersebut diteruskan berproses disana, maka yang ada ialah kekecewaan yang akhirnya akan menjalani organisasi dengan rasa terpaksa.
Disorientasi ini juga disebabkan oleh suatu hal. Menurut Firmanzah[8], ada dua karakteristik pemilih[9], yakni rasionalitas dan tradisionalitas. Rasionalitas menurutnya ialah tipe pemilih yang mengedepankan hal-hal yang dapat diukur, dipertanggungjawabkan, dibuktikan secara empiris dan logis. Semakin kalkutatif dan memaksimalisasi kepentingannya, semakin rasional pula individu tersebut. Sedangkan tradisionalitas ialah tipe pemilih yang mengedepankan hal-hal seperti figurisme, kultus, ikatan emosional, mitos, simbol, dan takhayul. Tradisionalitas sangat berkebalikan dengan rasionalitas. Tapi bukan berarti dua ciri ini merupakan pilihan yang mutlak. Artinya tidak ada yang seratur persen rasionalis dan begitu pula dengan tradisionalis, yang ada hanya kecenderungan. Kaitannya dengan permasalahan ini, menurut penulis perasaan keterpaksaan dari seseorang ketika berproses dalam organisasi disebabkan terlalu besarnya kecenderungan tradisionalitas seseorang.
Tradisionalitas, bagaimanapun memiliki kelemahan. Semisal pada figurisasi. Acapkali seseorang berproses di suatu organisasi karena figur tertentu yang membuat dirinya bertahan di organisasi tersebut. Namun bagaimana jadinya bila figur itu kelak tidak ada atau tidak lagi bisa memfigurkan diri? Karena dalam organisasi, figur tidaklah abadi, pasti kelak eranya bisa habis. Dampaknya ialah seseorang tersebut merasa kehilangan seorang figur, sehingga ia kehilangan “pegangan” dalam organisasi. Contoh lain juga pada ikatan emosional. Ketika seseorang merasa nyaman dalam organisasi, maka ia akan perjuangkan betul organisasi. Namun keadaan berbalik ketika ia merasa kecewa pada suatu organisasi, maka bukan tidak mungkin ia meninggalkan organisasinya. Rasa sakit pada sisi emosional ini merupakan luka psikis, yang mana tidak mudah dan tidak cepat pula untuk bisa menyembuhkannya.
Dalam hal ini penulis bukan berarti menolak segala bentuk tradisionalitas. Akan tetapi jika kita memandang suatu organisasi, tidak dapat dipungkiri kecenderungan terbesar ada di rasionalitas. Ferdinand Tonnies[10] mengklasifikasikan masyarakat menjadi dua, yakni Gemeinschaft dan Gesselschaft. Istilah lain dari Gemeinschaft ialah paguyuban, yang memiliki pengertian suatu bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Contohnya ikatan tetangga, keluarga, marga, dan lain sebagainya. Sedangkan Gesselschaft istilah lainnya ialah patembayan, yang memiliki pengertian suatu bentuk ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu pendek, bersifat sebagai bentuk dalam fikitan belaka (imaginary) serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Contohnya hubungan perdagangan, perusahaan, organisasi, dan lain sebagainya. Sisi rasionalitas organisasi, orientasi kepentingan, ikatan lahir, dan strukturalistik dalam organisasi ternyata membuat organisasi masuk pada kategori Gesselschaft. Dapat disimpulkan organisasi adalah masyarakat yang memiliki kecenderungan rasionalitas. Lain halnya dengan Gemeinschaft yang memiliki kecenderungan tradisionalitas.
Selain pada kecenderungan tradisionalitas seseorang, menurut penulis disorientasi ini juga disebabkan oleh tidak sadarnya seseorang terhadap tujuan organisasi. Simpelnya, bayangkan jika ada sebuah bis pariwisata yang berisi supir yang membawa seratus penumpang. Namun baik supir maupun penumpang tersebut tidak tahu hendak kemana tujuan wisata bis pariwisata tersebut. Apakah ke gunung, pantai, kota, ataupun desa. Yang terjadi ialah sebuah kebingungan, dan kebingungan membawa kesesatan.
Dampak dari disorientasi ini akan berimbas kepada organisasi dan individu yang bersangkutan. Bagi organisasi, hal ini akan menyebabkan tujuan organisasi tersebut dimungkinkan tidak tercapai. Bagi individunya, hal ini akan menyebabkan dimungkinkan tidak tercapainya kepentingan individu tersebut.


Perlunya Reposisi dan Edukasi
Reposisi berarti memposisikan kembali. Sedangkan edukasi berarti menyadarkan seseorang melalui pemberian pemahaman. Kedua hal ini menurut penulis ialah gagasan berupa solusi untuk menyembuhkan “penyakit” organisasi sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Solusi ini hanya bersifat teoritis sehingga mengenai mekanisme prakteknya dapat dikembangkan sendiri yang mana disesuaikan dengan organisasi yang bersangkutan. Karena penulis percaya bahwa tiap-tiap organisasi memiliki cara yang berbeda-beda untuk mengatasi permasalahannya.
Pada masalah “salah kamar” kita tidak dapat memaksakan seseorang untuk terus berproses dalam organisasi bila memang tidak ada kesamaan minat. Namun perlu menjadi catatan bahwa minat bukanlah satu-satunya alasan seseorang berproses di organisasi. Ada yang namanya potensi. Potensi ini bisa menjadi alasan untuk menyatakan bahwa seseorang tersebut harus dipertahankan dalam organisasi. Yang perlu dilakukan adalah meyakinkan orang itu dengan dasar potensinya, bahwa organisasi yang ia masuki ialah organisasi yang tepat untuk dia dapat terus berproses.
Sedangkan pada masalah kecenderungan tradisionalitas seseorang pada organisasi, dalam hal ini seseorang tersebut harus mulai berpola pikir lebih rasional. Gita Tri Ramdhani, salah seorang teman saya berkata bahwa organisasi itu dijalankan pakai otak, bukan pakai hati. Ada benarnya ucapan tersebut. Namun pemikiran yang rasional an sich pada perkembangan organisasi kekinian mendapat kritik besar. Yakni menurut  Firmanzah[11] rasionalitas memilik kelemahan dalam hubungan manusia yang bersifat relasional yang mana pada tingkat akut dapat menimbulkan alienasi/keterasingan kepada dirinya sendiri. Coba kembali kita ingat, bahwa antara tradisionalitas dan rasionalitas bukanlah suatu pilihan mutlak, yang ada hanya kecenderungan. Maka yang perlu dituju ialah kecenderungan rasionalitas seseorang haruslah lebih dominan ketimbang sisi tradisionalitasnya pada organisasi. Seminimal mungkin seimbang. Jangan sampai lebih besar tradisionalitasnya ketimbang rasionalitasnya. Karena tidak dapat dipungkiri, tradisionalitas memiliki keunggulan dalam hal kolektifitas. Sederhananya, menyadur perkataan teman saya yang bernama Eby Julies Onovia bahwa tujuan organisasi adalah fokus utama, sedangkan kekompakan adalah metode untuk mencapai fokus utama tersebut.
Mengenai masalah ketidaksadaran seseorang pada tujuan organisasi, hal ini perlu dilakukan suatu pemahaman kepada orang tersebut. Karena ketidaksadaran seseorang berkaitan erat dengan ketidakpahamannya. Hal ini senada dengan pendapat Paulo Freire bahwa dalam rangka memanusiakan manusia, penyadaran (conscientizacao) merupakan inti pendidikan[12].  Jadi, ketidaksadaran seseorang pada tujuan organisasi disebabkan karena ketidakpahaman, dan ketidakpahaman ini disebabkan karena tidak adanya proses transfer pemahaman (pendidikan) kepada seseorang yang tidak sadar pada tujuan organisasi itu tadi.  Pendidikan yang dilakukan untuk dapat menyadarkan seseorang tersebut harus dilakukan dengan metode dialog[13]. Dialog, dalam hal ini secara esensial didefinisikan Freire sebagai kata yang disusun oleh refleksi dan aksi[14]. Refleksi berarti menekankan pada kata, sedangkan aksi menekankan pada karya, yang mana kesatuan keduanya merupakan hal bersifat praksis[15].
Berikut ialah unsur-unsur dialog[16] :
1.      Dialog tidak dapat berlangsung, bagaimanapun, tanpa adanya rasa cinta, sehingga cinta sekaligus menjadi dasar dari dialog.
2.      Di pihak lain, dialog tidak dapat terjadi tanpa kerendahan hati.
3.      Dialog selanjutnya menuntut adanya keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia, keyakinan pada kemampuan untuk membuat dan membuat kembali, untuk mencipta dan mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya.
4.      Selain itu dialog juga tak dapat terjadi tanpa adanya harapan.
5.      Yang pada akhirnya dialog sejati tidak akan terwujud kecuali dengan melibatkan pemikiran kritis – pemikiran yang melibatkan suatu hubungan tak terpisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan dikotomi/pemisahan antara keduanya – pemikiran yang memandang realitas sebagai sebagai proses dan perubahan, bukannya entitas yang statis – pemikiran yang tidak memisahkan dirinya dari tindakan, tetapi senantiasa bergerumul dengan masalah-masalah keduniawian tanpa gentar menghadapi resiko.
Melalui pendidikan dialogis, diharapkan orang yang tidak sadar tadi menjadi sadar akan tujuan organisasinya. Lalu ia paham betul akan tujuan organisasinya. Lalu ia juga menjadi tahu dan juga dapat merancang bagaimana cara mewujudkan tujuan organisasinya itu, dan kemudian melaksanakannya. Yang pada intinya, manusia dikembalikan hakekatnya sebagai subyek dalam organisasi.

Penutup
Pada akhirnya, untuk dapat mengembalikan hakekat manusia sebagai subyek dalam organisasi, yang disebabkan oleh disorientasi tujuan seseorang pada organisasi dapat dilakukan dengan reposisi dan edukasi. Hari ini manusia secara tidak sadar menjadi alat bagi organisasi, bahasa jahatnya ialah manusia tersebut dalam keadaan tertindas. Maka mengembalikan hakekat manusia sebagai subyek dalam organisasi ialah sebuah keharusan bagi tiap-tiap insan yang bergerak dalam organisasi.


Sumber Pustaka
Firmanzah, Mengelola Partai Politik : Komunikasi Dan PositioningIdeologi Politik Di Era Demokrasi, Jakarta,   Buku Obor, 2011
Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta, Arruz Media, 2012
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1985
Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali press, 1990
Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, 1993, Yogyakarta, Gadjahmada University Press









[1] Essai ini dibuat dalam rangka iseng-iseng tidak berhadiah
[2] Mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed angkatan 2010. Saat ini aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Kajian Hukum dan Sosial sebagai Ketua Divisi Pengkaderan. Panji merupakan anak yang rajin beribadah, cerdas IQ, EQ, dan SQ-nya, ganteng, tidak mesum, baik hati,  pembela kaum tertindas, kalem, jujur, dermawan, rajin menabung, dan tidak sombong. Menyukai filsafat, politik, hukum tata negara, teologi, dan perempuan.
[3] Hebert G. Hicks, The Management of Organization : A System and Human Resources Approach, Tokyo, McGraw-Hill Kogakusha, 2nd, hlm 156, sebagaimana disadur dari buku Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, 1993, hlm 2
[4] Ernest Dale, Planning and Developing the Company organization Structure, 1952, hlm 17, sebagaimana disadur dari buku Ibid, hlm 25
[5] Dalton E. McFarland, Management : Principles and Practice, New York, McMillan Co, 1958, hlm 161m sebagaimana disadur dari buku Ibid, hlm 29
[6] Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, 1993, Yogyakarta, Gadjahmada University Press, hlm 40
[7] Ibid, hlm 6
[8] Firmanzah, Mengelola Partai Politik : Komunikasi Dan PositioningIdeologi Politik Di Era Demokrasi, Jakarta, Buku Obor, 2011, hlm 230,231,238,241,dan 246
[9] Dalam hal ini penulis menganalogikan dengan partai politik karena menurut penulis, karakteristik orientasi seseorang memasuki suatu organisasi tak ubahnya orientasi seseorang memilih suatu partai politik dalam pemilu. Yakni apakah suatu organisasi/partai itu akan menguntungkan dia, atau organisasi/partai itu dapat membuat dia nyaman
[10] Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali press, 1990, hlm 144
[11] Firmanzah, Op Cit, hlm 232
[12] Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta, Arruz Media, 2012, hlm 131
[13] Untuk dapat memahami secara mudah pendidikan dialogis, hal ini dapat dipahami sebagai kebalikan dari metode monologis, yakni “menggurui”, bahwa guru ialah sebagai satu-satunya pusat kebenaran. Pendidikan dialogis lebih menekankan kesetaraan antara pendidik dengan peserta didik.
[14] Ibid, hlm 137
[15] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1985, hlm 71
[16] Ibid, hlm 74-79

Minggu, 02 September 2012

Dari 2010 Sampai 2012

Dari 2010 sampai 2012 banyak kisah yang telah dilalui oleh kami. Sepertinya jika hanya terurai dengan kata-kata, akan tidak cukup sampai mata penulis bengkak untuk menceriterakan yang telah terjadi selama 2010-2012. Semoga gambar yang penulis paparkan, bisa menceriterakan segalanya :)


 Training Anggota 2010 - Pemaparan materi organisasi

Training Anggota 2010 - Sebuah malam keakraban


Training Anggota 2010 - Di pucuk sebuah acara

LIRIK (Lihat dan Rasakan Lebih Dekat) - Di Tempat Pembuangan Akhir Gunung Tugel

Sebuah diskusi santai
Sosialisasi Anti Korupsi di SMAN 1 Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat

Bersama siswa-siswi dalam Sosialisasi Anti Korupsi di SMAN 1 Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat
Semoga kelak mereka menjadi pribadi yang bersih, anti terhadap Korupsi dan perilaku Koruptif :)

Lagi-lagi diskusi santai

Ketika kaum hawa berpose

Lomba Debat LKHS 2011 - Ketika thesis bertemu anti-thesis



Audiensi Bersama DPRD Kota Cirebon terkait isu pemekaran daerah

Bersama DPRD Kota Cirebon


Bersama Gedung DPRD Kota Cirebon


Training Anggota 2011

Bendera LKHS yang sedang memeluk pohon

Yustisia Fair 2012 : Diskusi Publik, dengan tema Dilematika Penegak Hukum Pidana Dalam Mewujudkan Tujuan Hukum. Dengan berbagai narasumber, dari Kapolres Banyumas, Jaksa, Hakim, Advokat, dan Dosen

Bagaimana antusias peserta dalam Diskusi Publik

Partisipasi aktif peserta, diwujudkan melalui pernyataan dan pertanyaannya

Dan akhirnya, sebuah kekompakkan keluarga

Kompetisi Essay, diikuti mahasiswa dari berbagai fakultas se-Unsoed

Yustisia Fair, sebuah pekan kegiatan berisi 3 agenda : Diskusi Publik, Kompetisi Essay, dan Seminar Nasional

Seminar Nasional dengan tema Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia di Era Globalisasi. Dengan pembicara Raudin Anwar (Sekjen HPI Menlu), Adisatyra Suryosulisto (DPR-RI), dan Fajrul Falaakh (Pakar HTN)

Penanya

Dan akhirnya masuk surat kabar di Suara Merdeka

Diskusi tentang dasar-dasar penelitian bersama Bapak Warsito SH, LLM. Dosen Magister Fakultas Hukum UNSRI Palembang di Sekretariat LKHS.



Seiring berputarnya bumi, bergantinya hari, akan bertambah lagi kisah-kisah di LKHS. Semoga tahun ini, dan tahun-tahun ke depan, LKHS tetap konsisten dalam menuai prestasi, menyelenggarakan kegiatan yang ilmiah, kritis, solutif, inovatif, menyenangkan, dan spektakuler :)