Sabtu, 12 September 2015

DIOBRAS I

Hallo Blogger Indonesia, khususnya Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman!
Tepat satu minggu yang lalu LKHS telah mengadakan DIOBRAS (Diskusi dan Obrolan Santai) LKHS yang pertama, dengan tema Bedah Film "The Law Abiding Citizen" yang diselenggarakan oleh Divisi Diskusi dan Pembicaranya adalah Rifqi Prasetyo. Untuk mengetahui review film The Law Abiding Citizen, kawan-kawan semua bisa lihat disini. :)

-->

DIOBRAS I
BEDAH FILM “LAW ABIDING CITIZEN”
Divisi Diskusi

Salam ilmiah! Film yang berlatar belakang di negara Amerika Serikat ini merupakan sebuah kritik terhadap sistem hukum negara super power itu dengan mengangkat “bargaining system” dan “justice collabolator”. Rifqi sebagai pembicara dalam bedah film “Law Abiding Citizen” ini menanyakan, “bagaimana jadinya ketika dua sistem itu dilakukan di Indonesia?”. Hal itu mendapat banyak sekali sambutan, dan salah seorang peserta diskusi yaitu Bangkit yang notabene adalah DPL LKHS bahwa hal tentang justice collabolator menjadi ramai diperbincangkan setelah setahun keluarnya undang-undang perlindungan saksi dan korban. Hal itu belum banyak diterapkan di Indonesia karena perlindungan terhadap saksi itu masih cenderung lemah, begitu pula mengenai kontra prestasi yang diberikan
            Adapula salah satu peserta diskusi mengamati dari segi film, ada sebuah kejanggalan menurutnya, “di penjara terutama ruang isolasi seharusnya ada CCTV atau kamera untuk mengawasi kegiatan apa saja yang dilakukan oleh nara pidana, kenapa itu tidak?” tanya Titah yang merupakan mahasiswa baru 2015. Jawaban dari hal itu langsung diberikan oleh Rifqi bahwasannya CCTV itu hanya ada di lorong penjara, sedangkan di dalam ruang penjara tidak ada CCTV. Mungkin hal itu juga perlu dibenahi bahwa dalam ruang penjara juga sebenarnya butuh CCTV agar tidak adanya penyimpangan lain yang dilakukan oleh nara pidana.
            Kembali ke bargaining sisstem yang artinya adalah proses tawar menawar dalam hukum, yang mana dalam film ini dilakukan oleh Darby dan Rise. Dari hal tersebut ada yang ingin menanggapi, yaitu oleh Ajeng “itu pelaku ada Darby sebagai pelaku utama (dader) dan ada Ames sebagai pembantu (medepleger), kenapa si Ames tidak melakukan tawar menawar dengan Rise juga?”. Hal itu langsung ditanggapi oleh Rifqi dengan asumsi dia bahwa itu didukung oleh faktor psikis dari si Ames. Ames yang merasa hanya melakukan pencurian, berbeda dengan Darby yang secara sadar telah melakukan pembunuhan, pencurian dsb dia lebih memilik untuk menjadi Justice Collabolator dengan demikian maka dia dapat dikurangi hukumannya.
            Kembali untuk mengomentari film ini oleh saudara Titah, dalam segi bahasa emang terlalu tinggi dan susah untuk dimengerti, karena memang bahasa hukum sedikit berbeda dengan bahasa Inggris dan translatornya tidak pasti orang hukum dan hal itulah yang menyebabkan banyaknya kata yang tidak sesuai dengan keadannya. Dalam film ini juga rasanya terlalu cepat klimaks, tidak ada pengantarnya terlebih dahulu.
            Adapun komentar dari Zidni dan Al tentang film ini yang diantaranya, Clyde melakukan hal demikian karena tidak ingin ketidak adilan yang diterimanya akan diterima juga oleh orang lain. Dan muncul pertanyaan mengenai sistem peradilan tawar menawar itu, apakah ada indikasi bahwa dalam sistem tersebut juga harus ada orang yang dirugikan? Dan hal itu diamini oleh beberapa peserta diskusi yang lain, karena sebenarnya dalam tawar menawarpun pasti akan ada pihak yang lebih diuntungkan.
            Peserta lain bernama Edo pun tidak ingin ketinggalan komentar, dia menanyakan sebenarnya itu ada dampak positifnya atau tidak? Dan apakah sejauh ini hal itu telah efektif? Dalam film ini sebenarnya dampak positif tidak terlalu diperlihatkan, namun apabila kita lihat lebih dakam lagi dampak positif itu ada seperti dapat terungkapnya kasus apabila minimnya alat bukti yang dapat dijadikan dasar tuntutan kepada tersangka, namun jangan sampai lupa juga ada dampak negatif dari hal tersebut antara lain timbulnya rasa ketidak adilan bagi korban.
            Berbicara mengenai efektif, penegakan hukum juga jangan melupakan 3 hal yang diantaranya dilihat dari sisi Yuridis, Filosofis, dan Sosiologisnya. Dan Riqi mencontohkan ketika jalan macet namun di sebelah kanan sangat lengang namun itu merupakan jalan forbiden, dengan hanya melihat sisi kemanfaatan polisi mengalihkan pengendara ke sisi kanan yang lengang itu namun dari sisi hukum itu adalah hal yang salah. Maka kesimpulannya, ketiga hal itu haruslah bersifat komulatif, tidak hanya menonjol pada satu sisi saja.
            Tresna mengomentari bahwa penegak hukum yang baik itu adalah penegak hukum yang memang tahu hukumnya. Dan hal yang serupa juga diamini oleh Almira yang berpendapat bahwa, untuk mendapatkan sistem hukum yang sebaik-baiknya maka harus melihat dari semua sudut pandang, dan tidak boleh menutup telinga terhadap siapapun juga, termasuk korban yang ditemukan pingsan padahal dia melihat, mendengar dan mengalami sendiri ketika Darby mengoyak keluarganya.
            Sampailah di akhir diskusi dengan kesimpulan bahwa ketika ingin mengubah sebuah sistem, maka kamu harus masuk ke sistem tersebut dan menjadi virus, setelah itu kamu mempengaruhi setiap segmen yang terlibat di dalamnya, maka niscaya sistem itu akan berubah seperti kehendakmu. Pesan dari pembicara, diskusi merupakan hal yang sangat baik. Hal ini tidak akan didapatkan sewaktu perkuliahan yang waktunya memang sangat minim. Penutup dari moderator “KEADILAN HARUS DITEGAKKAN WALAUPUN LANGIT RUNTUH”. SALAM ILMIAH!!!

Law Abiding Citizen (Review)

-->


Film “Law Abiding Citizen” berkisah tentang pembantaian terhadap keluarga Clyde Shelton. Istri dan anaknya dibunuh secara sadis. Dua pelaku pembunuhan itu -Clarence Darby dan Rupert Ames- akhirnya tertangkap dan dibawa ke meja hijau.
Darby adalah pelaku utama (deder) yang menikam pisau ke tubuh Clyde dan istrinya lalu membunuh anaknya sedangkan Ames hanya berperan sebagai medepleger (turut serta). Kasus ini ditangani oleh jaksa penuntut umum yang sedang naik daun, Nick Rice.
Rice kesulitan untuk mendapat bukti yang kuat untuk menjerat kedua pelaku tersebut dalam menangani kasus ini. Rice pun terpaksa melakukan bargaining dengan salah seorang terdakwa yaitu Darby karena jika tidak kedua tersangka mungkin akan bebas karena minimnya barang bukti (Hanya ada kesaksian dari Clyde namun saat ditemukan polisi dia dalam keadaan pingsan sehingga kesaksinnya diragukan, hal ini pun terkait dengan asas ‘satu saksi bukan saksi’ dalam hukum pidana). Berkas perkara Darby dan Ames memang dipisah dalam persidangan. Darby didaulat menjadi saksi mahkota (Justice Collaborator) dalam berkas perkara Ames. Alhasil, Ames dijatuhi vonis hukuman mati. Sedangkan Darby hanya divonis lima tahun penjara.
Dalam sebuah penanganan perkara, penggunaan saksi mahkota memang kerap dilakukan. Bila ada dua terdakwa atau lebih yang melakukan pembunuhan, berkas perkaranya dipisah dalam persidangan. Tujuannya agar masing-masing terdakwa 'diadu' untuk memberikan pengakuan dan kesaksian yang memberatkan satu sama lain. Inilah konsep saksi mahkota.
Praktik ini diikuti dengan plea bargain, yakni jaksa memberi tuntutan hukuman yang ringan bagi terdakwa yang berperan sebagai saksi mahkota. Praktik plea bargain memang sangat dikenal dalam criminal justice system di Amerika Serikat. 
Clyde tentu saja kecewa berat dengan hasil sidang pengadilan. Pasalnya, ia melihat dengan jelas bagaimana Darby menikam istri dan anaknya hingga tewas. Namun, hukuman yang diterima Darby hanya lima tahun penjara. Ia juga sangat kecewa dengan tindakan Rice karena sudah berulangkali diingatkan agar tidak melakukan bargaining dengan terdakwa.
Namun, Rice justru memberi alasan yang membuat miris dunia peradilan. “Beginilah sistem hukum dan peradilan kita bekerja,” ujar Rice. Ia beralasan, bila bargaining tidak dilakukan maka dua terdakwa justru akan divonis bebas. Meski Clyde yakin Darby melakulan pembunuhan, tetapi bukti-bukti yang ada tidak cukup kuat untuk membuktikan itu. Clyde harus menerima kenyataan bahwa hukum adalah pembuktian di ruang sidang.
Film ini semakin seru saat mengambil latar kejadian 10 tahun setelah penjatuhan vonis tersebut. Clyde mulai merancang sebuah peradilan jalanan sebagai ajang balas dendam. Darby dibunuh secara sadis. Tubuhnya dimutilasi hingga menjadi 25 bagian. Namun, ia melakukannya tanpa meninggalkan bukti apapun.
Waktu 10 tahun memang digunakan Clyde yang seorang insinyur untuk belajar hukum. Buku anotasi putusan-putusan Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat pun ia santap. Ia tahu betul hak-hak yang dimilikinya bila kelak menjadi tersangka atau pun terdakwa. Dan yang lebih penting lagi, ia paham bahwa terdakwa baru bisa divonis bersalah bila terdapat bukti-bukti yang cukup kuat. Clyde pun sangat tenang saat ditetapkan sebagai terdakwa. Rice kembali menjadi jaksa penuntut umum untuk kasus ini.
Clyde memang ditahan selama proses pemeriksaan. Namun, itu tak mengurungkan niatnya untuk terus melakukan pembunuhan. Sejumlah orang yang dianggapnya terlibat dalam penjatuhan vonis ringan terhadap pembunuh istri dan anaknya satu persatu mati terbunuh. Clyde memang cukup cerdas melakukan semua itu dari dalam tahanan. Karenanya, salah satu tagline film ini adalah “How do you stop a killer who is already behind bars?”
Rice yang menjadi pemegang kunci tanggung jawab terhadap serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Clyde terus berupaya agar dapat menghentikan aksi pembunuhan itu. Batas kabur antara kejahatan dan kebaikan memang seringkali diangkat menjadi tema utama sebuah film. Karena walau bagaimanapun, good vs evil merupakan suatu hal yang sangat manusiawi. Semua orang memiliki kedua sisi tersebut dalam setiap tingkah lakunya. Kecintaan Clyde terhadap keluarga yang yang tewas karena dibunuh kemudian menumbuhkan rasa keinginan yang kuat untuk memperbaiki sistem peradilan  yang ada. Batas good vs evil ini kemudian menjadi kabur ketika perbuatan itu dianggap benar oleh Clyde
Apa pun endingnya, film ini memang sangat layak ditonton oleh masyarakat hukum sebagai sebuah kritikan terhadap sistem dan praktek peradilan. Terlebih lagi terhadap mereka yang  berprofesi sebagai jaksa penuntut umum yang kerap menggunakan saksi mahkota dan praktik plea bargain dalam mengungkapkan sebuah kasus.
Uniknya, di akhir film ini, Rice yang digambarkan sebagai jaksa yang cerdas mengaku kapok melakukan plea bargain dalam kasus pembunuhan. “Jangan pernah melakukan bargain dengan pembunuh!” katanya.

Rabu, 02 September 2015

KIYE LKHS 2015




29 Agustus 2015 LKHS telah berhasil melaksanakan salah satu proker dari divisi Pengkaderan, yakni KIYE LKHS yang bertujuan untuk memperkenalkan UKM LKHS kepada mahasiswa baru Fakultas Hukum Unsoed dan sebagai sarana untuk memperoleh informasi tentang mahasiswa baru dalam rangka mengajak mahasiswa baru untuk bergabung dengan  LKHS. Kegiatan tersebut dilaksanakan saat OSMB Fakultas Hukum Unsoed 2015 berlangsung dalam bentuk demo oral dan demo fisik.