Rabu, 17 Juni 2015

Hakim Sarpin dan Perluasan Objek Praperadilan

-->
Oleh :  Raden Achmad Zulfikar Fauzi

Pada bulan Februari 2015 Hakim Sarpin Rizaldi membacakan putusan atas permohonan praperadilan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan Dalam putusannya, Sarpin Rizaldi menyatakan mengabulkan sebagian permohonan praperadilan Budi Gunawan. Dalam pertimbangannya, Sarpin menafsirkan penetapan tersangka sebagai salah satu upaya paksa yang masuk dalam lingkup praperadilan. Hakim Sarpin dalam pertimbangan putusannya karena undang-undang tidak mengatur secara jelas apa yang dimaksud upaya paksa, maka hakim berhak menafsirkan apa saja yang dikategorikan sebagai upaya paksa. Ia menilai penetapan tersangka merupakan salah satu upaya paksa karena tindakan itu dilakukan dalam ranah pro justisia.

Putusan tersebut pun menjadi sorotan bagi banyak pihak terutama dalam bidang akademisi hukum dan sedikit banyak menimbulkan tanda tanya besar bagi hukum acara di negeri ini. Karena dalam putusan hakim tersebut secara objektif sebagai terobosan dan/atau penemuan hukum terkait putusan praperadilan Budi Gunawan di Pengadilan Negeri  Jakarta Selatan. Ketika itu terdapat pro kontra didalam ranah akademisi hukum  mengenai putusan tersebut dikarenakan Berdasarkan Pasal 1 angka 10 jo.Pasal 77 KUHAP, tugas praperadilan di Indonesia terbatas. Praperadilan hanya dapat dilakukan terhadap upaya-upaya paksa yang memang telah diatur secara limitatif di dalam KUHAP, yaitu terhadap penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Sedangkan dalam hal penetapan tersangka hanya secara limitatif yang disebutkan dalam KUHAP. 

Seiring berjalannya waktu  berselang 2 bulan muncullah putusan MK terkait Praperadilan. Putusan pada Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut menegaskan ketentuan praperadilan yang tertuang dalam Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Menurut Mahkamah, KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena tidak adanya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti. “Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan Pertimbangan Hukum.

Hakikat keberadaan pranata praperadilan, lanjut Mahkamah, adalah bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Namun dalam perjalanannya, lembaga praperadilan tidak mampu menjawab permasalahan yang ada dalam proses pra-ajudikasi. “Fungsi pengawasan pranata praperadilan hanya bersifat post facto dan pengujiannya hanya bersifat formal yang mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi pengadilan,” imbuhnya.

Pengajuan praperadilan dalam hal penetapan tersangka dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP. Padahal, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. “Mahkamah berpendapat, dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum,” tegas Anwar.

Terhadap putusan tersebut, tiga orang hakim, yakni Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Aswanto, dan Muhammad Alim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Palguna, Mahkamah seharusnya menolak permohonan Pemohon terkait dengan tidak masuknya penetapan tersangka dalam lingkup praperadilan lantaran hal tersebut tidak bertentangan dengan Konstitusi. Berpegang pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Palguna menilai tidak memasukkan penetapan tersangka ke dalam ruang lingkup praperadilan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipersalahkan menurut hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk menuntut adanya tanggung jawab negara (state responsibility). 

Adapun Hakim Konstitusi Muhammad Alim menilai, jika dalam kasus konkret penyidik ternyata menyalahgunakan kewenangannya, misalnya secara subjektif menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa mengumpulkan bukti, hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah. Pasalnya, hal semacam itu merupakan penerapan hukum. Penilaian atas penerapan hukum adalah kewenangan institusi lain, bukan kewenangan Mahkamah. Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto dalam putusan tersebut tidak dimasukannya penetapan tersangka dalam ruang lingkup praperadilan merupakan wewenang pembentuk undang-undang untuk merevisinya. Tidak dimasukannya ketentuan tersebut tidak serta merta menjadikan Pasal 77 huruf a bertentangan dengan Konstitusi.  

Sifat Putusan MK

Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir. Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum.

Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan yang menghukum tergugat membayar sejumlah uang ganti rugi.
Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitutief. Putusan MK berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru.  perkara pengujian undang-undang, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan tersebut meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru. Pasal 58 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang MK menegaskan bahwa  Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Demikian pula dalam putusan MK diatas meniadaan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Menurut Maruarar Siahaan, putusan MK yang mungkin memiliki sifat condemnatoir adalah dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, yaitu memberi hukuman kepada pihak termohon untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pasal 64 ayat (3) UU MK menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan untuk perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, MK menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.

Putusan MK diatas Dapat penulis simpulkan perluasan objek praperadilan memberikan sedikit banyak pencerahan terhadap penulis terkait perluasan objek praperadilan. Akan tetapi MK dalam hal ini hanya bertindak sebagai negative legislator  MK berfungsi sebagai legislator sebagaimana Parlemen (DPR). Bedanya, Parlemen sebagai positive legislator (pembuat norma), sedangkan MK sebagai negative legislator (penghapus norma) sehingga perlu adanya revisi terkait adanya KUHAP sehingga tidak adanya kesimpang-siuran terkait perluasan objek praperadilan maka dari itu DPR perlu merevisi KUHAP.


Tidak ada komentar: