Senin, 15 Juni 2015

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perkara Constitusional Complaint


 Oleh : Wahyudi Prawiro Utomo

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan suatu Lembaga Negara dalam lingkup kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana yang tertera pada Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Keberadaan MK sebagai salah satu buah reformasi yang menginginkan lebih tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia agar tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut diwujudkan dengan kewenangan MK untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, yang sering kali disebut dengan judicial review. .
Perlunya penerapan judicial review untuk mewujudkan supremasi hukum sebagai suatu sistem yang hierarkis. Hal itu dilatarbelakangi oleh kenyataan masa lalu, ketika banyak terdapat penyimpangan konstitusi oleh undang-undang. Bahkan, tak sedikit penyelenggara pemerintahan yang dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden namun kesesuaiannya terhadap peraturan yang lebih tinggi dipertanyakan. Hal itu juga merupakan konsekuensi dari dianutnya prinsip Negara hokum dan supremasi konstitusi dalam Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat (3) yang juga merupakan hasil Perubahan Ketiga UUD 1945.
Secara normatif, wewenang MK dalam melaksanakan judicial review terbatas pada pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Semangat MK dalam melaksanakan judicial review adalah untuk menjaga agar undang-undang yang berlaku pada masyarakat tidak mencederai hak konstitusional warga Negara Indonesia yang telah diberikan oleh UUD 1945. Selain dari undang-undang yang sekiranya dapat mencedarai hak konstitusional warga Negara, MK tidak berwenang untuk menguji. Berarti produk hukum kecuali undang-undang tidak bisa dilakukan judicial review oleh MK.
Produk hukum seperti undang-undang merupakan salah satu dari bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat Negara. Bentuknya dapat berupa TAP MPR/MPRS yang masih berlaku, undang-undang, peraturan perundang-undangan dibawah undag-undang, dan surat keputusan pejabat tata usaha negara. Apabila bentuk kebijakan yang telah disebutkan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 maka bukan menjadi kewenangan MK untuk mengujinya.
Tidak hanya produk hukum yang dikeluarkan oleh kekuasaan eksekutif dan kekuasan legislative saja yang memiliki potensi menciderai hak konstitusional warga negara Indonesia. Bahkan putusan hakim sebagai kekuasaan yudikatif juga memiliki potensi serupa. Oleh karena itu segala tindakan pemegang kekuasaan memiliki potensi menimbulkan dampak bagi terciderainya hak konstitusional warga Negara Indonesia.
Dilihat dari permasalahan tersebut, MK sebagai satu-satunya lembaga Negara hanya diberikan wewenang untuk menjaga agar undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945 agar tidak menciderai hak konstitusional warga negara. Sedangkan apabila produk hukum selain undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 tidak dapat diuji apakah memang bertentang dengan UUD 1945 atau tidak.
Hal ini terjadi karena konsep perlindungan hak konstitusional warga negara sebatas dengan judicial review oleh MK dan Mahakamh Agung (MA). Sedangkan di MA sendiri hanya menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Hal ini menunjukan bahwa MA tidak melakukan pengujian dengan alat uji UUD 1945. Satu-satunya lembaga egara yang diberikan wewenang untuk menguji produk hukum dengan alat uji konstitusi hanyalah MK. Di Indonesia tidak diterapkan sistem constitutional complaint, yaitu suatu sistem untuk  menguji apakah ada pertentangan dari suatu produk hukum dari eksekutif, legislative dan/atau yudikatif dengan konstitusi. Dapat diartikan bahwa constitusional complain merupakan judicial review dalam arti yang luas, karena wewenang pengujiannya mencakup seluruh produk hukum di suatu negara.
Pembahasan
Wewenang MK sebagai penguji undang-undang terhadap UUD 1945 tidak dapat lepas dari aspek sejarah yang terkait dengan sikap politik pembuat undang-undang.  Mengingat hukum merupakan produk poltik sehingga oleh karenanya bisa saja undang-undang berisi hal-hal yang bertentangan atau konstitusi. Kemudian juga terdapat kekeliruan pada saat era orde baru, yaitu masuknya Keputusan Presiden dalam tata urutan perundang-undangan. Namun hal itu telah diluruskan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 Ayat (1) undang-undang tersebut menjelaskan tata hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
1.     UUD 1945;
2.     TAP MPR;
3.     Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.     Peraturan Pemerintah;
5.     Peraturan Presiden;
6.     Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.     Perturan Daerah Kabupaten/Kota.

Salah satu wewenang MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Sedangkan MA berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Kedua ketentuan ini menimbulkan sebuah konsekuensi terkait kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan tersebut.
MK secara normatif hanya dapat menguji undang-undang terhadap UUD. MA secara normatif hanya berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Oleh kaerna itu TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan yang bukan berada dibawah undang-undang, tidak bisa dilakukan judicial review oleh MA. Serta MK juga tidak berwenang untuk melakukan judicial review apabila dilihat dengan kaca mata normatif.
Hal ini yang menjadi salah satu kelemahan status quo dari norma hukum yang berlaku mengenai judicial review untuk menguji produk hukum terhadap  konstitusi. Namun bukan hanya permasalahan perihal pengujian TAP MPR, tetapi juga pengujian peraturan perundang-undangan oleh MA.
MA sebagai lemabaga peradilan setingkat dengan MK, hanya menguji peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi dan perturan daerah kabupaten/kota terhadap undang undang. Hal ini menunjukan bahwa keberlakuan peraturan-peraturan tersebut dapat dicabut apabila bertentangan dengan undang-undang, sedangkan apabila orang yang mengajukan permohanan tersebut terciderai hak konstitusinya, maka MA tidak dapat melakukan pengujian.
            Tentunya tidak akan menutup kemungkinan bahwa peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang tersebut secara keberlakuan tidak bertentangan dengan undang-undang namun langsung menciderai hak konstitusional warga negara. Maka akan lebih baik jika ada suatu lembaga yang dapat menguji hal tersebut. Padahal apabila MK membatalkan seluruh isi dari suatu undang-undang maka peraturan-peraturan pelaksana dibawahnya secara mutatis mutandis tidak berlaku lagi.
Semangat dari judicial review adalah agar hak konstitusional warga Negara dapat terjaga dengan baik. Hak konstitusional (constitutional rights) adalah hak-hak yang dijamin didalam dan oleh UUD 1945. Konstitusi menentukan apa yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan negara, yaitu melindungi hak-hak rakyat, baik sebagai warga negara maupun sebagai manusia. Tanpa adanya hak-hak tersebut, rakyat akan kehilangan kedaulatan sehingga kedudukan warga negara tidak meiliki arti sama sekali. Oleh karena itu, ketentuan jaminan perlindungan hak asasi sebagai manusia dan hak konstitusional sebagai warga negara adalah salah satu materi muatan konstitusi.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang terbatas pada pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 terasa belum cukup, sebab masih banyak keputusan penguasa (public authorities) termasuk peraturan pelaksana undang-undang, kebijakan maupun putusan pengadilan yang semestinya merupakan obyek pengujian di Mahkamah Konstitusi juga. Hal tersebut dapat berupa keluhan konstitusional (constitutional complaint) di mana setiap orang dapat mengajukan komplain terhadap dugaan atas kerugian hak konstitusional mereka akibat adanya putusan, kebijakan maupun peraturan per-undang-undangan yang bertentangan dengan Konstitusi.
Sebagai perbandingan, terdapat negara-negara lain yang telah menerapkan keluhan konstitusional (constitutional complain), salah satunya adalah Jerman. Dimana Jerman telah mengadopsi constitutional complain  dalam Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgerichtsgesetz). Penerapan constitutional complain dalam konstitusi jerman meliputi setiap keputusan penguasa (seperti hukum tertulis, tindakan administratif, dan putusan pengadilan) yang menciderai hak-hak dasar warga negara. Serta ada pemisahan antara konsep constitutional review dengan konsep constitutional complaint.
MK sebagai satu-satunya lembaga negara yang dapat menguji produk hukum dengan alat uji UUD 1945, tentu menjadi sorotan agar bisa menjadi penguji segala produk hukum terhadap UUD1945, dengan kata lain berwenang menerima permohonan constitutional complaint. Tentunya ini suatu langkah yang progresif bagi sistem hukum di Indonesia. Karena terjadi perubahan mendasar bagi kewengangan MK yang pada awalnya judicial review, menjadi lebih luas dengan kewenangan constitutional complaint.
Perkembangan hukum seperti itu adalah sebuah keniscayaan. Sejalan dengan ciri-ciri hukum progresif yang berasumsi bahwa hukum bukan merupakan institusi mutlak dan final, tetapi selalu dalam proses menjadi (law as a procees law in the making) yang bertujuan mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dengan semangat pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas, dan teori yang selama ini mendominasi dan dirasakan menghambat hukum dalam menyelesaikan persoalan.
Tentunya apabila dikemudian hari MK memiliki wewenang tersebut, maka karakter hukum Indonesia lebih bersifat populistik/ responsif. Produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya akan lebih memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat dengan adanya mekanisme constitutional complaint. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu masyarakat.
Dengan adanya wewenang constitutional complaint seluas-luasnya oleh MK maka produk hukum eksekutif, legislatif dan yudikatif yang sebelumnya tidak dapat diuji dengan alat uji UUD 1945 seperti TAP MPR dan  peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang akan dapat diajukan judicial review terhadap UUD 1945. Hal ini berarti juga terjadi perubahan terhadap wewenang MA untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Kewenang tersebut dapat dihapuskan, kemudian seluruh wewenang judicial review berada dibawah kewenangan MK.
Kemudian produk hukum eksekutif yaitu tindakan formil yang bersifat individu berupa keputusan tata usaha negara dan tindakan materiil berupa tindakan bukan keputusan tata usaha negara juga dapat diajukan constitutional complaint kepada MK. Namun dengan syarat sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan karena putusan pengadilan tata usaha negara telah mengikat (inkraht). Selain itu prinsip freies ermessen atau diskresi menjadi penting sebagai panduan bagi pemerintah untuk mengambil suatu tindakan juga dapat berpotensi menimbulkan pelanggaran hak konstitusional warga negara. Serta bentuk kebijakan-kebijakan lainnya dari kekuasaan eksekutif yang sekiranya akan berlaku dan belum diatur menganai pengujiannya terhadap UUD 1945 dapat dilakukan constitutional complaint oleh MK.
Konsekuensi yuridis apabila dianutnya constitutional complaint seluas-luasnya oleh MK maka putusan hakim pengadilan juga dapat diajukan constitutional complaint. Mulai dari pengadilan tingkat satu, tingkat banding hingga tingkat kasasi serta upaya hukum luar biasa peninjauan kembali dapat diajukan permohanan constitutional complaint ke MK. Pada tahap ini dapat diprediksikan akan timbul problematika baru.
Dilihat dari kedudukan lembaganya, MK dan MA merupakan pemegang kekuasaan kehakiman berdasarkan UUD 1945. Apabila MK memiliki kewenangan constitutional complaint, maka segala putusan dari MA dapat di uji apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Secara eksplisit ini menunjukan MK memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam sistem peradilan di Indonesia. Karena berhak menguji setiap putusan hakim dalam lingkungan MA dan badan-badan peradilan dibawahnya. Sebuah konsekuensi yang logis apabila hanya suatu lembaga yang lebih tinggi dari lembaga tersebut yang dapat menguji produk hukum dari lembaga yang hendak dijui. Hal ini akan menimbulkan suatu kepastian hukum yang berlarut-larut tidak akan tercapai.
Mengingat putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang memutus bahwa upaya hukum luar biasa peninjauan kembali bisa lebih dari sekali telah banyak menimbulkan perdebatan. Walaupun secara prinsip memang upaya hukum luar biasa peninjauan kemabali hanya sekali adalah bertentangan dengan UUD 1945, namun dikaca mata hukum acara pidana hal tersebut menghambat kepastian hukum.
Selain itu, hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan setiap orang dari ganguan-ganguan diluarnya. Terkait dengan hal ini, dalam penegakan hukum perdata bertujuan untuk melindungi agar hak si debitur terpenuhi oleh kreditur serta agar kewajiban kreditur dapat berjalan dengan baik. Namun dengan adanya constitutional complaint maka kepastian untuk melindungi kepentingan debitur dan kreditur akan terganggu. Walaupun hal tersebut tidak akan menghentikan eksekusi, namun status dari putusan yang mendasari eksekusi tersebut dapat saja di batalkan karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Pola seperti ini juga akan terjadi dalam sengketa keputusan tata usaha negara atau tindakan eksekutif lainnya yang diputus melalui peradilan tata usaha negara.
Kesimpulan
Hukum memang selalu berkembang mengikuti perkembangan masyarakatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dibutuhkan suatu terobosan hukum untuk menyelesaikan problem-problem yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Meningat bahwa Indonesia memegang asas legalitas, sehingga memang dibutuhkan suatu pengaturan yang jelas. Namun bukan berarti hukum yang berlaku hanya yang tertulis saja, karena eksistensi hukum tidak tertulis juga masih diakui.
Terkait dengan hal tersebut constitutional complaint sebagai jalan keluar agar hak konstitusional warga negara terjaga dengan baik harus diatur secara tertulis. Hal ini menurut hemat penulis karena MK sebagai lembaga negara utama mendapatkan sumber wewenangnya dari UUD 1945. Dengan kata lain sumber kewenangannya harus bersifat atributif atau diberikan wewenangnya oleh pembuat/pengamandemen UUD 1945, mengingat bahwa tugas constitutional complaint merupakan tugas mulia yang berat demi menjaga keutuhan penenrapan konstitusi. Serta menjamin kepastian hukum agar MK dapat menjalankan constitutional complaint tanpa timbulnya perdebatan dalam masyarakat mengenai kewenangan MK.
Namun constitutional complaint  yang menjadi tugas MK menurut hemat penulis tidak termasuk produk hukum dari kekuasaan legislaif. Sebagaimana telah penulis uraikan bahwa dengan adanya pengujian terhadap putusan hakim MA dan peradilan dibawahnya akan menimbulkan problematika yang berujung pada ketidakpastian hukum. Oleh karena pengaturan mengenai constitutional complaint oleh MK harus dibuat secara jelas dalam Amandemen UUD 1945. Dimana kewenanganya hanya meliputi seluruh produk hukum legislatif dan eksekutif berupa seluruh peraturan perundang-undangan dan segala tindakan dari pejabat tata usaha negara yang tidak bersifat konkrit, individual dan final. Sedangkan produk hukum dari MA dan badan-badan peradilan dibawahnya tidak dapat di ajukan constitutional complaint.
Alasannya bahwa keputusan hakim yang telah mengikat merupakan hukum bagi para pihak dan supremasi hukum harus ditegakan. Kedua, dilihat dari kedudukan MK dan MA merupakan badan peradilan yang memegang kekusaan kehakiman dan tiap lembaga memiliki tugas dan fungsi masing-masing tidak ada lembaga kehakiman yang lebih tinggi dari lembaga kehikaman lainnya, serta hal ini akan labih memberikan kepastian hukum dan kemanfatan yang lebih baik. Ketiga, bahwa dalam memutus perkara hakim MA dan badan-badan peradilan dibawahnya terikat sumpah jabatan agar memenuhi kewajiban sebagai hakim berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Tentu hal ini menunjukan bahwa setiap hakim dalam memtus suatu perkara, secara tidak langsung juga ikut menegakkan nilai-nilai dalam konstitusi dan ikut berperan menegakan hukum dan keadilan di Indonesia.

Tidak ada komentar: