Jumat, 20 Desember 2013

Manusia Kebal Hukum


Oleh: Cipto Prayitno[1]
“Apakah manusia adalah makhluk yang bebas sebebas-bebasnya?”[2]
Namun, adanya pertayaan tersebut merupakan pertanyaan yang selalu muncul ketika seseorang dalam keadaan terkekang dalam sebuah keadaan tertentu (misal: kehidupan organisasi atau kehidupan kenegaraan) dan ada sebuah keinginan dalam dirinya untuk lepas dari kekangan tersebut, “saya adalah manusia bebas, tidak terikat pada apapun”. Dan juga pertanyaan tersebut kemungkinan merupakan sebuah klaim bahwa dirinya adalah manusia bebas yang tidak terikat pada apapun didunia ini. 
Dalam keadaan yang  jenuh tehadap ketidak-bebasan atau dalam kekangan sesuatu hal adalah menjadi wajar jika seseorang menobatkan dirinya adalah menusia bebas yang tidak terikat pada apapun. Namun, bagaimanakah jawaban atas pertanyaan tersebut serta analisanya?

Manusia Makhluk yang Bebas?
Dalam bukunya Du Contract Social, Jean Jacques Rousseau[3] menyatakan bahwa manusia terlahir sebagai makhluk yang bebas, yang seharusnya tidak terkekang disana-sini. Lalu apakah pernyataan J.J. Rousseau ini ada kaitannya dengan pertanyaan diatas mengenai klaim atas dirinya sebagai manusia yang bebas sebebas-bebasnya?
Pernyataan manusia adalah makhluk bebas oleh J.J. Rousseau ini adalah dalam ranah hubungan manusia satu dengan manusia lain yang tereduksi dalam hukum. Sehingga mengenai pendapatnya bahwa manusia adalah makhluk yang bebas adalah sependapat, karena dalam hal ini manusia punya kebebasan baik dalam hal melakukan sesuatu hal atau dalam memilih. Namun, adanya tidaklah sepakat ketika kebebasan yang dimiliki manusia dalam hubungannya dengan manusia lain adalah sebebas-bebasnya, yang mana manusia dapat berbuat semaunya dengan dasar kebebasannya tadi. Karena pada hakikatnya berdasar penyataan Cicero bahwa dimana ada masyarakat disitu ada hukum (Ubi societas ibi ius), yang artinya telah ada hukum yang mengikat ketika manusia melakukan hubungannya dengan manusai lainnya. Sehingga dalam melakukan sesuatu hal atau dalam hal melakukan pilihannya manusia terikat pada hukum yang telah ada sejak ada manusia lain (masyarakat), karena pada hakikatnya hukum dalam konteks adanya masyarakat muncul adalah untuk membatasi kebebasan dan kekuasaan seseorang didalam masyarakat tersebut.
Sehingga, dalam konteks bermasyarakat dan dalam hubungannya manusia tidaklah sebebas sebebas-bebasnya sesuai dengan kehendaknya karena terikat pada hukum yang telah disepakati dalam masyarakat tertentu dimana manusia tersebut berada.
Lalu dalam konteks hukum yang lebih luas, yaitu mencakup pengertian hukum pada umumnya (hukum dalam ilmu hukum sebagai kaidah bermasyarakat) dan hukum dalam pengertian prinsip-prinsip dasar dalam ilmu pengetahuan (misal: Hukum Newton, Hukum Gravitasi, dll), apakah manusia-pun tetap bebas seperti pertanyaan pada awal pembicaraan? “bahwa saya (manusia) adalah makhluk yang bebas sebebas-bebasnya”.
Ketika dalam bermasyarakat manusia tidak memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya karena terikat pada hukum masyarakat tersebut, lalu bagaimana ketika seorang manusia hidup tidak bermasyarakat? Atau hidup seorang diri didalam hutan atau ditengah pulau yang tidak ada apapun kecuali tanah, pantai, pasir dan lautan. Apakah ketika manusia hidup tidak bermasyarakat bisa disebut sebagai makhluk yang bebas sebebas-bebasnya?
Mungkin tidak, ketika berbicara dalam konteks hukum secara luas yang meliputi juga hukum dalam pengertian prinsip-prinsip dasar dalam ilmu pengetahuan (misal: Hukum Newton, Hukum Gravitasi, dll) yang kita sebut saja hukum alam, manusia-pun tidak memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya atau tetap terikat pada hukum tersebut. Dalam hal manusia terikat pada hukum alam ini berbeda dengan ketika manusia terikat pada hukum masyarakat dimana dia hidup. Perbedaanya adalah pada pilihan kesepakatannya, ketika dalam hukum masyarakat manusia dapat memilih bersepakat dan hidup bermasyarakat atau memilih tidak bersepakat atau hidup seorang diri. Sedangkan dalam keterikatan dengan hukum alam, manusia tidak mempunyai pilihan meskipun hidup seorang diri ditengah pulau yang yang tidak ada apapun kecuali tanah, pantai, pasir dan lautan. Karena keterikatan manusia pada hukum alam ini adalah mutlak ada saat manusia terlahir didunia. Manusia akan terikat pada hukum gravitasi bumi, sehingga manusia tidak melayang-layang diatas bumi dan bisa menginjakkan tanah dengan mudah dibumi. Manusia akan lapar ketika dalam beberapa saat tidak ada asupan energi yang dapat dicerna tubuhnya. Manusia akan makan (memberi tubuhnya asupan energi) ketika dia mulai lapar. Sehingga dalam konteks keterikatan dengan hukum alam-pun, manusia tidak bebas sebebas-bebasnya seperti apa yang telah diinginkan.
Semisal ada seorang manusia anggap saja A, pada saat itu dia hidup ditengah pulau yang yang tidak ada apapun kecuali tanah, pantai, pasir dan lautan dengan manusia lain yaitu B. Ketika ada B (masyarakat), A mau tidak mau harus berbuat sesuai apa yang telah disepaati dengan B (sadar atau tidak sadar). Dimana semisal A dan B tidak boleh saling berebut makanan, maka A pun tidak boleh merebut makanan B. Ketika A merebut makanan B, maka A telah mengingkari kesepakatannya yang tereduksi dalam hukum antara A dan B. (dalam hal ini A memilih untuk tidak terikat hukum tersebut yang pada awalnya terikat)
Dan ketika B telah meninggal, yang mana A hidup seorang diri dipulau itu, artinya A telah terlepas dari hukum masyarakat A dan B. Namun A tidak sepenuhnya menjadi manusia bebas, karena A akan tetap lapar, A akan tetap mencari makan ketika lapar, A tetap terikat pada gravitasi bumi, A tetap terikat ruang dan waktu, A akan tetap mati dikemudian hari. Sehingga dalam hal keterikatan dengan hukum alam, A bukanlah manusia yang bebas sebebas-bebasnya dari keterikatan dengan hukum alam.

Manusia Kebal Hukum?
Dari penjelasan dan dari contoh diatas mengenai keterikatan manusia dengan hukum masyarakat dan hukum alam dapat disimpulkan bahwa manusia bukanlah manusia bebas sebebas-bebasnya yang tidak terikat pada hukum masyarakat maupun hukum alam. Lalu apakah manusia bisa melakukan pilihan untuk menjadi manusia bebas (tidak terikat pada hukum masyarakat dan hukum alam)?
Jawaban yang memungkinkan untuk jawaban diatas ketika kita bandingkan dari penjelasan bahwa manusia selalu terikat dengan hukum masyarakat dan hukum alam adalah “manusia harus menjadi makhluk yang kebal hukum”[4]. Pertanyaan yang selanjutnya adalah “apakah mungkin manusia menjadi makhluk yang kebal hukum (dari hukum masyarakat dan hukum alam). Mungkin dari hukum masyarakat bisa menjadi makhluk yang kebal hukum, namun apakah bisa menjadi makhluk yang kebal hukum dan tidak terikat pada hukum alam?



[1] Penulis adalah mahasiswa FH Unsoed angkatan 2011, Kadiv Penelitian di Lembaga Kajian Hukum dan Sosial.
[2] Pertanyaan itu muncul dalam diskusi santai antara penulis dengan Panji Mulkillah Ahmad (teman satu kontrakan).
[3] Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social, Cetakan Kedua, 2009, VisiMedia, Jakarta Selatan, Hal. 4.
[4] Jawaban yang ditawarkan oleh Panji Mulkillah Ahmad ketika berdiskusi dengan penulis, tentang  manusia ingin menjadi manusia yang bebas sebebas-bebasnya.

Senin, 02 Desember 2013

Melihat Money Laundry dari Prespektif Sejarah Kultur Bangsa Indonesia


Oleh : Wijang Banu Hapsari
(Bendahara LKHS Periode 2013/2014)

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang tidak akan pernah merasa puas, seolah-olah apapun yang sudah di dapatkan masih saja dirasa kurang. Yang miskin ingin menjadi kaya, yang sudah kaya ingin semakin kaya, dan begitulah seterusnya. Pencucian uang atau lebih dikenal dengan istilah populernya money laundry adalah salah satu fenomena yang dapat menunjukan adanya sifat manusia yang tidak akan pernah merasa puas tersebut. Istilah money laundry yang dijelaskan dalam kuliah umum tentang money laundry oleh wakil ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso, merupakan proses mengaburkan identitas atau asal-usul harta kekayaan secara ilegal sehingga harta kekayaan tampak berasal dari sumber  yang sah[1]. Padahal uang yang diperoleh ini kebanyakan merupakan uang hasil tindak kejahatan seperti korupsi, hasil suap, pemerasan, prostitusi, perdagangan minuman keras, perdagangan narkotika bahkan sampai perdagangan manusia dan lain sebagainya. Indonesia sendiri menempati posisi 10 besar sedunia terkait kejahatan money laundry yang terjadi, dan 67 % diantaranya merupakan pencucian uang yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi. Pencucian uang biasanya dilakukan  dengan membeli saham atau
properti, untuk membuat uang kotor itu nantinya menjadi seolah-olah bersumber dari suatu kegiatan usaha yang sah. Sungguh ironis, demi memperkaya diri dan meluapkan hasrat kepuasannya seseorang rela melakukan kejahatan yang dampaknya dapat merugikan negara. Jika kita sejenak melihat ke belakang, dalam hal ini sejarah kultur bangsa kita, apakah tindakan licik manusia untuk memperkaya dirinya melalui money laundry ini dapat ditelusuri sebab-sebabnya, sehingga dapat diperoleh suatu solusi untuk melawan dan atau bahkan memusnahkan kejahatan money laundry di Indonesia, di  samping usaha-usaha yang tengah gencar di lakukan pemerintah saat ini.
Kultur budaya di Indonesia sangat beraneka ragam, tetapi pada dasarnya sebelum bangsa penjajah masuk ke negara kita, di Indonesia terdapat banyak sekali kerajaan-kerajaan. Khususnya di jawa dengan kultur keratonannya yang sangat kental dengan nuansa feodalisme. Para pejabat-pejabat keraton saat itu sangat menjunjung tinggi kehormatan serta nama baiknya. hal ini otomatis akan menimbulkan adanya kesenjangan yang sangat signifikan antara priyayi (orang-orang keraton) dengan masyarakat bawah. Hal ini diperburuk dengan adanya penjajah Belanda yang juga sangat erat dengan kultur feodalnya masuk ke Indonesia. Menurut Boesono Soedarso dalam bukunya yang berjudul “Latar Belakang sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia”, keadaan social heritage[2] atau kultur kita pada waktu itu sangat ditentukan bagaimana politik pemerintah Belanda terhadap kaum pribumi. Pada masa  kolonialisme tersebut, ada pembagian strata yaitu strata atas dan strata bawah. Strata bagian atas adalah kulit putih, sedangkan strata bagian bawah adalah penduduk asli atau inlanders. Kontak sosial antara kedua golongan itu sangat terbatas, hanya pada hubungan formal seperti majikan-buruh dan penguasa-penduduk[3].  Belanda pada saat itu memanfaatkan kaum-kaum bangsawan atau keratonan yaitu Bupati untuk memperdayakan penduduk agar mau melakukan kerja paksa. Para penduduk dengan pemikirannya yang primitif mau saja untuk diperintah oleh rajanya atau pemimpinnya karena pemikiran penduduk pada saat itu bahwa memang mereka haruslah tunduk pada pemimpinnya. Budaya feodal semakin di junjung, semakin di agung-agungkan, yang berkuasa seenaknya saja melakukan kelicikan demi untuk mencari kepuasan dan keuntungan bagi kepentingan dirinya sendiri tanpa memikirkan kerugian orang lain. Penduduk dengan pemikirannya yang primitif pada saat itu, kita analogikan saja dengan masyarakat Indonesia sekarang yang masih jauh dari kemakmuran, akibat dari orang-orang yang kenyang akan kekuasaan. Dan hal itu pun berdampak pada maraknya kejahatan-kejahatan lain yang berujung pada money laundry. Jika kita lihat dari sejarah, kultur feodal yang di miliki bangsa Indonesia lebih menunjukan kepada kejahatan korupsi oleh para pejabat-pejabat yang memiliki kekuasaan. Dari situlah terjawab mengapa kejahatan money laundry di Indonesia lebih di dominasi oleh tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan korupsi yang berdampak pada adanya praktik money laundry ini. Salah satu upaya pemerintah sekarang adalah dengan membentuk lembaga independen yang khusus menangani masalah pencucian uang melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga ini dirasa sangat membantu untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan diharapkan dapat menurunkan tingkat kejahatan money laundry. Dengan adanya PPATK, setiap transaksi keuangan yang berlangsung khususnya jika transaksi diatas 500 juta dan terdapat adanya indikasi mencurigakan dalam transaksi tersebut, maka akan dilacak dan dianalisis agar langsung dapat di temukan dari sumber manakah transaksi tersebut berasal. Jika transaksi tersebut berasal dari praktek-praktek ilegal, maka secara langsung dapat pula terdeteksi tindak kejahatan tersebut.  Contoh konkrit kinerja PPATK ini dapat kita lihat dari kasus impor daging sapi yang membawa nama Luthfi Hasan Ishak dan Ahmad Fathonah, dari sinilah terbongkar kasus skandal suap yang dilakukan oleh mereka.
Pada dasarnya upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah memang sangat bagus, namun  jika kita tinjau dari sejarah kultur bangsa kita yang sudah di jelaskan diatas, sebagus apapun usaha pemerintah untuk memberantas kejahatan money laundry ini menurut saya belum dapat dipastikan secara mutlak bahwa hal itu dapat mengatasi masalah tersebut. Karena yang namanya moral Bangsa sangat berkaitan erat dengan kultur masyarakatnya yang mayoritas telah diwarisi kultur feodal bagi para pemimpinnya dan pemikiran yang primitif bagi para masyarakat kalangan bawahnya. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa, sebagai calon pemimpin bangsa, harus turut andil dalam mengatasi money laundry ini dengan berusaha meninggalkan kultur lama dan mulailah dengan membiasakan bersikap peduli sesama dan peduli terhadap lingkungan sekitar khususnya masyarakat kalangan bawah. Belajar bersyukur atas apa yang sudah kita dapatkan sehingga kita tidak akan selalu dihantui rasa tidak puas. Pada intinya, money laundry di Indonesia yang mayoritas terjadi akibat tindak pidana korupsi dapat kita lawan tidak hanya dengan sebatas mendukung dibentuknya lembaga independen seperti PPATK saja,  tetapi kita sendiri harus bergegas meningkatkan kualitas diri dengan tidak membudayakan kultur feodalisme. Serta yang terpenting adalah selalu berpegang teguh pada agama agar kita senantiasa tidak melupakan rasa syukur atas apa yang sudah kita capai dan dapatkan. Dan di masa yang akan datang kita para calon pemimpin, calon penerus bangsa tidak akan mengenal lagi dan menghalalkan kelicikan yang berdampak adanya money laundy.



[1] Disampaikan dalam Kuliah Umum tentang Money Laundry pada Sabtu, 21 september 2013 di Gedung Justitia 3 Fakultas Hukum UNSOED.
[2] Warisan budaya masyarakat
[3] Soedarso Boesono, Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia, Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia. 2009.  Hlm. 17

Sabtu, 23 November 2013


Perlunya Pendidikan Politik
 Oleh : Putri Mayasari 

( Sekertaris II Lembaga Kajian Hukum dan Sosial FH unsoed )

Pendidikan Politik Awal Untuk Menciptakan Kehidupan Pemerintahan Yang Baik

      Beberapa bulan ini Lembaga Yudikatif kita yaitu Mahkamah Konstitusi yang merupakan tempat pengaduan perkara hukum di tingkat terakhir dan tertinggi ini sedang dihadapkan pada permasalah korupsi. Korupsi yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi kita yaitu Akil Mochtar, yang mana dia belum lama ini pernah menjadi pembicara dalam seminar nasional yang diadakan BEM FH Unsoed.

      Yang akan saya soroti disini adalah peristiwa terakhir sebelum saya menulis ini yaitu bahwa gedung MK diobrak-abrik oleh peserta sidang. Ya bisa dibilang ini memang perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tak beretika. Hal tersebut juga dirasa sudah menciderai badan yang terhormat ini yaitu MK. Apabila saya memposisikan diri saya sebagai seorang yang duduk dalam lembaga ini maka saya akan merasa sangat tersinggung saat peserta sidang tidak menghormati persidangan yang ada, bahkan sampai membuat kekacauan dan kerusakan. Bisa dibilang istilahnya wibawa saya ini seakan-akan sudah diinjak-injak juga. Kemudian yang menjadi pertanyaan saya, apa salah lembaga saya ini,padahal yang melalukan kejahatan adalah oknum bukan lembaga dan seluruh isinya.

      Lalu kemudian apabila saya menjadi masyarakat, maka saya akan menjawab pertanyaan tersebut, ya kan yang melakukan kesalahan itu Ketua nya “lho”, yang merupakan representatif dari lembaga itu, ketuanya saja begitu, ya sudah lah rusak semua seisinya. Apa yang akan kita percayakan lagi padanya. Lalu apabila saya memposisikan diri saya sebagai pengamat politik, maka saya akan berkomentar bahwa “memang lembaganya itu tidak bisa dipersalahkan dan tindakan kekerasan di lembaga MK itu juga tidak lantas begitu saja dibenarkan”. Sebenarnya tindakan kekerasan muncul, kemungkinan besar timbul akibat lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut dan dengan keputusan lembaga tersebut. Adalah wajar, apabila sejak kejadian ditangkapnya ketua MK itu menimbulkan rasa curiga masyarakat terhadap segala instrumen yang ada di MK ini termasuk hakim -hakim yang lain. Ditakutkan hakim-hakim yang lain pun ikut terlibat.

      Apabila kita lihat, bahwa peristiwa perusakan gedung MK ini dipicu akibat putusan hakim konstitusi dalam sidang putusan Pemilukada ulang Provinsi Maluku. Dan pihak yang melakukan perusakan itu adalah pihak yang dikalahkan dalam berperkara. Dan jika kita telusuri lagi bahwa perkara yang banyak ditangani MK adalah masalah Pemilihan Umum, terbukti dengan beberapa putusan akhir-akhir ini yaitu putusan nomor: 92/PHPU.D-XI/2013 dengan pokok perkara “Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Maluku Tahun 2013”; Nomor 115/PHPU.D-XI/2013 dengan pokok perkara “Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Tangerang Tahun 2013”, dan masih banyak keputusan perselisihan hasil pemilu yang lainnya.

      Pemilihan Kepala Daerah yang mana PILKADA ini merupakan cara yang sejauh ini paling cocok untuk merepresentasikan kedemokratisan bangsa Indonesia dalam memilih wakilnya, bagi masyaratak dan daerahnya yang melakukan Pemilihan Kepala Daerah dengan cara Demokratis. Namun kenapa, justru PILKADA ini banyak diperkarakan bahkan sampai ke MK. Nah, disinilah pokok permasalahan yang sebenarnya, kalau saya boleh berpendapat bahwa kebanyakan orang Indonesia dapat dikatakan “tidak SIAP dan LEGAWA untuk menerima kekalahan”, terbukti bahwa yang melaporkan perkara pemilu ini adalah pihak-pihak yang merasa dikalahkan” dalam Pemilu ataupun pihak yang merasa kurang puas dengan hasil pemilu.

      Nah disinilah pendidikan politik itu sangat diperlukan. Pendidikan yang memberikan pengetahuan tentang bagaimana cara berpolitik yang baik dan bermartabat. Pendidikan yang sebenarnya bukan saja perlu untuk orang-orang partai saja, akan tetapi juga diperlukan bagi semua kalangan termasuk peserta pemilu itu sendiri. Seperti apakah berpolitik yang baik dan bermatabat itu? Inilah yang menjadi PR kita bersama sebagai akademisi untuk lebih merumuskannya, sehingga diharapakan nantinya perjalanan proses perpolitikan di Indonesia ini dapat berjalan dengan baik, bersih dan bermartabat, tanpa adanya black campaign dan money politik yang akhirnya memancing pihak lain untuk ikut melakukan hal yang tercela tersebut. Pendidikan yang juga memberikan pemahaman bagaimana untuk menjadi pendukung atau suporter yang budiman, yang benar-benar mendukung bukan karena iming-iming uang, tetapi karena merasa sejalan dengan visi-misi dan rancangan program-progam yang akan dilaksanakan pemerintahan kelak yang mana dapat merangkul semua kepentingan rakyatnya. Dan siap menerima kekalahan apabila mayoritas rakyat belum siap memilihnya, dengan tanpa melakukan kekerasan dan demo yang berlebihan.

      Apabila pendidikan politik ini benar-benar diterapkan maka yang harus dilakukan adalah mempercayakan semuanya kepada Tuhan dan lembaga yang berwenang untuk mengawasi proses politik ini.

Dan yang jelas, dan Tuhan kita pun telah menggariskan segalanya dengan seimbang, dimana dalam sebuah kehidupan ini ada yang namanya kekalahan dan kemenangan, tergantung bagaimana masing-masing kita menginterpretasikannya. Begitu pun dalam proses perpolitikan ini khususnya dalam ajang Pemilihan Umum, sudah barang tentu ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang, (ya kurang lebihnya seperi itu, karena saya belum bisa menggunakan kata-kata yang lebih tepat), apabila tidak ada pihak yang kalah maka saya rasa yang dikatakan demokrasi ini kemungkinan belum dapat terwujud, karena jika seperti itu kemungkinan juga yang ada hanyalah calon tunggal, -hal yang pernah terjadi jaman Orde Baru-, namun akan sulit terualang kembali pada masa sekarang, dimana masyarakat sekarang sudah memiliki lebih beraneka ragam kepentingan.

Apabila pendidikan dilaksanakan dengan baik, maka tak menutup kemungkinan pasti akan  tercipta sebuah proses politik yang baik,bersih dan bermatabat pula. Dan out-put nya pun pemerintahan kita juga akan dijalankan oleh orang-orang yang terpercaya dan benar-benar pilihan rakyat yang nantinya pun akan mendedikasikan dirinya untuk seluruh rakyatnya, dan dapat menciptakan ketentuan hukum untuk melindungi kepentingan rakyat.


Dan akhir kata dengan mengutip perkataan Pak Komari saat kuliah hukum dan sispol yaitu
“Hukum tanpa politik itu akan lumpuh” dan;
“Politik tanpa Hukum itu juga akan menimbulkan kekerasan”


Kamis, 21 November 2013



WTO Mengancam Kedaulatan Negara[1]
Oleh Divisi Diskusi[2]

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO, World Trade Organization) adalah organisasi yang mengatur mengenai perdagangan di dunia.WTO didirikan  untuk menggantikan GATT, karena  GATT ini bukan merupakan organisasi hanya kesepakatan-kesepakatan negara-negara saja. Sehingga pada saat itu dengan kebutuhan akan perdagangan internasional yang sebanarnya banyak diinginkan oleh negera-negara kapitalis ini sempat membentuk ITO (international Trade Organization) namun tidak terwujud yang akhirnya berdiri lah WTO ini, yang kemudian diratifikasi oleh indonesia setahun setelah didirikannya melalui UU Nomor 7 Tahun 1994.
WTO ini berdiri atas dorongan dari negara – negara kapitalis karena dengan adanya organisasi perdagangan dunia menjadikan produk – produk mereka dapat masuk ke negara-negera yang ada di dunia dengan akses yang mudah. Hal ini yang menjadikan negera yang berkembang sulit untuk bersaing karena negara berkembang tidak mempunyai kemampuan baik secara produk maupun teknologi yang mampuni.
Dalam WTO juga memiliki prinsip – prinsip yang salah satunya adalah prinsip nondiskriminasi maksudnya tidak ada perbedaan perlakuan terhadap produk dalam negeri dengan produk luar negeri.
Banyak perkara atau konflik yang dialami WTO, banyak yang tidak setuju dengan adanya WTO dan lain sebagainya, karena dianggapnya WTO hanyalah melemahkan kedaulatan negara dan daya saing antara produk dalam negeri dengan produk luar negeri. Menurut Prof. Dr. Ade Maman Suherman, WTO tidak sekedar organisasi internasional biasa, karena ia merupakan kendaraan politik, ekonomi, dan ideologi yang dikembangkan dalam kegiatan perdagangan internasional. Dari kegiatan perdagangan dapat dijadikan sebagai alat untuk menyebarkan ideologi tertentu.
Sekarang kita lihat pada produk yang dihasilkan oleh negara berkembang dengan keterbatasan teknologinya seperti Indonesia hanya berupa hasil pertanian dan pertambangan, yang dimana hasil tersebut di ekspor tapi jangan salah bahwa sebenarnya produk tersebut bahan bakunya saja masih impor.  Inilah yang menjadikan WTO sebagai ancaman bagi kedaulatan negara.
Pada media Online Tempo.co yang dipublikasikan jumat, 15 Februari 2013, pukul 20:11 WIB indonesia Didesak Keluar dari WTO,  keikusertaan dalam WTO membuat Indonesia banyak membuat perjanjian perdagangan dengan negara lain. Perjanjian ini menjadi kesempatan bagi negara lain untuk mengintervensi kedaulatan Indonesia. WTO telah menempatkan Indonesia pada posisi lemah hingga tidak berdaulat berhadapan dengan bangsa-bangsa di dunia.
Menurut Prof. Dr. Ade Maman Suherman pada diskusi yang diselenggarakan LKHS pada tanggal 15 november 2013, di Kedai Telapak, keluar dari WTO bukan merupakan solusi yang baik, karena ketika kita sudah ketergantungan maka bisa saja kita masuk kembali ke WTO, seperti hal nya PBB kita pernah keluar dari organisasi tersebut lalu masuk kembali.
Solusi lainnya tidak hanya keluar dari WTO tapi WTO itu harus di bubarkan. Namun tidak hanya bisa membubarkan karena pembubaran tersebut tidak menjamin indonesia akan bebas dari terancamnya kedaulatan negara tapi indonesia harus mampu membangun kedaulatannya.



[1] Merupakan hasil dari DIOBRAS (diskusi obrolan santai) yang diselenggarakan pada tanggal 15 november 2013 pukul 19.30 WIB di Kedai Telapak Purwokerto Utara
[2]Divisi Diskusi Lembaga Kajian Hukum dan Sosial

Kamis, 10 Oktober 2013


INI ADALAH FOTO-FOTO DIMANA TRAINING ANGGOTA DAN MALAM KEAKRABAN LKHS DILAKSANAKAN, MUNGKIN BISA MEMBUKA INGATAN KITA KEMBALI BETAPA INDAHNNYA ACARA DEMI ACAR YANG KITA JALANI PADA SAAT ITU

ini kejadian disaat teman-teman anggota menarikan joget cesar keep smile, joget itu menjadi joget popular karena diperagakan oleh teman kita yaitu hamka angkatan 2013, 

Ssuatu banget ketika kita melihat sesosok orang ini karena seososok orang ini adalah maskot dari dunia lain di salah satu chenel tv swasta, beliau adalah Kepala Divisi Diskusi yang mempunyai panggilan Naufal, dan panggilan panjangnnya Naufallllllllllllll
 maaf jangan menafsirkan bahwa orang orang ini sedeang di ospek dengan kekerasan walaupun kekerasan diperlukan ketika memukul paku, tapi fenomena ini bisa di abadikan berkat teman-teman dekdok yang mudah mudahan kreatif. saya yakin apabila gambar di perbesar akan melihat kelucuan muka-muka teman teman anggota ini.
 subhanallah sekali, kawan kita ini karena dia telah kelelahan menyiapkan makanan bagi masyarakat yang membutuhkan makan sehingga beliau menghabiskan kira-kira 20 galon ukuran 5-5cm, beliau adalah Kepala Divisi Penelitian yang sangat sermat sekali ketia beliau meneliti apapun, beliau mempunyai sebuah nama yang namanya tidak lain dan tidak bukan yaitu tjipto prajipto (cipto prayitno)
 saya tidak tahu harus bilang apa ketika saya harus menulis apa yang sedang terjadi di foto ini, mungkin ini adalah cara terbaik sofia untuk memberikan hiburan yang mudah-mudahan menghibur kawan-kawan anggota, tapi beri dia tepuk tangan yang sangat meriah, yeeeeee \m/ 
 ini adalah dimana masyarakat tidak membutuhkan janji. kejadian ini mungkin bisa membuka matahati kita sehingga kita semua bisa berbagi dengan sesama. tapi dalam foto ini kita semua bisa melihat kawan-kawan anggota. acara makan pagi ini disambut meriah oleh kawankawan cacing yang ada di dalam tubuh kawan-kawan anggota maupun pengurus :D
 penulis tidak tahu harus mengetik apa, sampai sampai huruf di keyboard menghilang semua ketika harus membuat tulisan tentang foto di atas ini, foto ini dimana kawan-kawan panitia akan mempersiapkan tracking yang hasilnya disambut gembira oleh kawan-kawan anggota heaaahhhh \m/. di sebelah kiri foto ada anisa r, achyar, fauzi, panji, imam, eby, cipto, dody, bangkit, mahyudin, rizky, dan yang paling depan dia adalah orang yang sangat sangat sangat tidak tau sangat apaan, dia meempunyai julukan abdu 
 mungkin seharusnya saya tidak mengomentari foto di atas, karena mungkin ada efek samping dari komentar atau tulisan saya, beliau ini adalah Kepala Divisi Pengkaderanang, mungkin namanya sering kita dengar tidak aneh di telinga ,dalam sebuah perjuangan ada kata yang sangat menggugah kita yaitu bangkit, ya itu dia namanya Adhi Bangkit Saputra, mungkin yang berkenan memberikan tepuk kaki yang meriah bagi Kepala Divisi Pengkaderan kita ini PorK pRok prOk prOK horeeeeee
 kalo yang ini mungkin harus ada komentar walaupun mungkin lagi nanti komentar saya dinilai E oleh beliau, tapi saya harus memberikan komentar pada foto ini, foto ini menggambarkan bahwa ketum kita sedang mengankan kedua jarinya dan siap berjoget dan bernyanyi, ini disaat sedang tracking dan berada di post BPH.
 kami hamka dan ..... dukung kami dalam pemilihan bem periode 1999/2000, ini adalah hamka dan kawannya yang sedang berjabaat tangan, bisa kawan-kawan lihat bahwa tangannya sedang berjabat tangan
 di sebelah kiri ada egie (ketua pelaksana), winny ( staf divisi kestari ), sofia (staf divisi humsdan), finny (koordinator divisi konsumsi) mereka sedang duduk dan berfose di depan kamera ber merk nikon ....., ini dimana post penelitian bersemayam
 mungkin bisa kita beri mereka apresiasi yang sangat karena terlihat jelas kelompok ini kompak, terlihat tidak ada space di antara mereka sangat rapat sekali hehe
 kalo yang ini beliau adalah foto, fotonya tan malaka, bukan training anggota dan malam keakraban, tetapi benar-benar  fotonya tan malaka
 nah kalo yang ini adalah logo sebuah lembaga yang sangat keren beudddd, kerenya pake banget bukan aja tapi bangettt, bisa kawan-kawan lihat sendiri
ini adalah sebuah tulisan yang tulisannya adalah Tan Malaka Training Anggota dan Malam Keakraban LKHS, ini adalah judul dalam makrab kami kali ini, makrab kali ini dengan judul jeng jeng jenggggggg, AYOOOO BERORGANISASI...... BENERANNNNNN!!!!!




nb: apabila ada salah kata atau tidak enak dihati bisa hubungi penanggung jawab blog abdu (087827333305)

Minggu, 06 Oktober 2013

KITA DAN BUDAYA POP : KAWAN ATAU LAWAN?


(Diambil dari : http://www.google.com)

Oleh : Luthfi Kalbuadi[1]

            Berbicara mengenai keberlanjutan hidup, manusia sangat ditentukan oleh apa yang ia butuhkan : sandang, pangan, papan. Selanjutnya bisa kita sebut dengan kebutuhan primer yang pada dasarnya adalah kebutuhan yang diutamakan, tidak bisa tidak. Dalam hal ini, ketiga komponen yang telah disebutkan merupakan bagian penting yang tidak akan pernah lepas sebagai tolok ukur standar hidup yang berkecukupan. Setelah kebutuhan primer tadi, ada kebutuhan sekunder dan tersier sebagai kebutuhan manusia yang pemenuhannya bersifat komplementer atau pelengkap (kebutuhan sekunder dan tersier biasanya, dipenuhi setelah kebutuhan primer. Dalam rangka mengefektifkan dan mengefisienkan apa yang manusia butuhkan, hendaknya ketiga kebutuhan tadi dapat dijadikan prioritas supaya apa yang diharapkan yakni kehidupan yang berkecukupan tercapai. Namun yang menarik, ada salah satu prinsip ilmu ekonomi yang berkata bahwa manusia tidak akan pernah puas dalam memenuhi kebutuhannya hingga dalam titik tertentu ia akan menemui titik kejenuhan. Begitupun dengan masyarakat Indonesia yang telah dimabukkan oleh pola hidup yang konsumtif. Didasarkan pada keinginan, bukan kebutuhan. Sebagai contoh, orang membeli telepon genggam karena fitur yang ada pada benda tersebut lebih menggiurkan dengan mengesampingkan fungsi telepon genggam secara substansial. Tak hanya itu, kadang kadang pula saat telepon genggam sudah dimiliki, orang akan cenderung membeli telepon genggam lain dengan alasan yang tidak jelas. Urung rusak ,wis tuku maning. Begitulah kira kira ungkapan dalam bahasa Banyumasan ketika penulis mengetahui salah seorang saudara yang membeli smartphone sementara ia masih memiliki handphone keluaran terbaru yang masih gress (baca: baru). Logikanya adalah, bila handphone yang kita pakai masih dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka tentunya dapat kita pakai hingga tidak dapat dipakai lagi baru kemudian kita bisa menggantinya dengan yang baru.

Masih banyak contoh lain yang dapat kita temui dalam kehidupan sehari hari. Terus berulang hingga tiada ujungnya sampai menjadi sesuatu yang dianggap lumrah karena globalisasi hingga akhirnya, membudaya. Budaya, menurut KBBI Offline, memiliki makna pikiran, akal budi-adat istiadat-sesuatu mengenai kebudayaan yang berkembang (beradab, maju), - sesuatu yang menjadi kebiasaan. Menurut Ridho Al- Hamdi , budaya ialah suatu kebiasaan berupa praktik-praktik dalam keseharian dan sudah menjadi kebiasaan[2]. Bisa dikatakan, budaya itu ialah kesemua hal yang dilakukan terus menerus sehingga lambat laun memperoleh anggapan dan diberi cap lumrah oleh masyarakat. Sedangkan terminologi pop sendiri merujuk pada kata populer atau disukai banyak orang[3] . Jadi, kesimpulan yang kita dapat dari kedua istilah diatas tadi yakni suatu hal yang dilakukan secara kontinyu sebagai hal yang bersifat menyenangkan. Budaya pop tidak secara otomatis masuk dalam negeri ini. Ada proses yang menyertainya. Terutama, dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang gandrung oleh hal hal yang berbau serba baru. Kondisi demikian sangat dipahami betul oleh pencari keuntungan komersiil yang menyediakan apa yang sedang diinginkan masyarakat. Pelaku ekonomi dengan cerdasnya memanfaatkan budaya masyarakat Indonesia yang latah. Latah disini bukan dalam arti yang sebenarnya, namun latah dalam hal perilaku konsumsi. Barangkali hal ini sesuai seperti yang telah diutarakan Drs. Sutamto yang mengklasifikasikan sifat dan keinginan konsumen menjadi tiga, yakni
·         Konsumen berdaya beli kuat
·         Konsumen berdaya beli sedang
·         Konsumen berdaya beli rendah
Masyarakat kita agaknya termasuk tipikal konsumen berdaya beli kuat. Frekuensi pembeliannya atas suatu barang cenderung tinggi dengan model yang mengarah kemewahan dan kualitas (berorientasi pada merk) plus sering membeli barang dalam jumlah besar[4] . Pas dengan karakteristik latah tadi, konsumtif.

Sebagai contoh, jika kita menilik kebelakang sedikit, pada era 80-90-an, kita terbius dengan budaya ke Amrik amrik-an. Restoran cepat saji ala negara penjajah itu mblarah mblarah (tersebar banyak-red) di seluruh Indonesia hingga banyak orang berlomba lomba untuk makan disitu. Bahkan, secara tidak langsung tindakan seperti ini dipercaya dapat menaikkan status sosial si konsumen. Memasuki era 2000-an, kita , terutama kaum remaja mulai dimasuki roh bernama boyband. Westlife, A1, Backstreet Boys, dan lainnya. Hal yang sama masih ada sampai sekarang hingga orang orang Korea dengan boyband dan girlbandnya sukses membuat generasi muda Indonesia (anak anak juga) bertekuk mata, kuping dan mulut.  Tidak hanya barang yang sifatnya komplementer, tapi juga gaya hidup yang demikian, telah merasuk dalam sendi sendi keagamaan. Agama telah menjadi (atau dijadikan) komoditi. Saat ini hingga tulisan ini dibuat, demam kerudung gaul telah menjadi virus yang merusak remaja putri kita. Merusak mungkin bukan bahasa yang halus, namun apa daya itu sesuai dengan akibat yang disebabkan  gaya berbusana yang dikatakan gaul tapi tetap syar’i tersebut. Toko toko kerudung sampai video video di internet banyak menawarkan kerudung aneka macam dan cara modifikasi kerudung. Padahal, fashion dan kerudung tidak dapat dijadikan satu kesatuan. Fashion is fashion, hijab is hijab. And hijab is not fashion[5]. Ini malah membuat fungsi kerudung bukan pada aslinya yakni menutup aurat. Yang perlu di garisbawahi adalah aurat wanita itu dari wajah dan telapak tangan. Orang yang memutuskan memakai kerudung tentunya harus berfikir secara matang karena ini bukan sesuatu yang main main.

Bukan sesuatu yang dilarang, mengidolakan, menyukai,bahkan  memuja hal hal diatas tadi. Namun, semua itu ada batasnya. Segala sesuatu yang berlebihan tentu tidak dapat dibenarkan. Seperti yang dikatakan seorang psikolog[6] ketika menyikapi fanatisme terhadap fenomena boyband Korea  bahwa ketika proses pengidolaan itu sudah dijadikan bagian hidup seseorang, maka dapat berimbas buruk bagi keadaan batiniah seseorang itu. Waktu ibadah, belajar dan perintah orangtua kerap diabaikan. Dengan bahasa sehari hari kita kerap menamai kondisi yang demikian dengan sebutan alay/lebay/autis. Pada akhirnya, kebiasaan kebiasaan seperti ini mesti dikurangi, karena menurut penulis ini tidak bisa dihilangkan karena sukar menebas budaya yang telah menjangkiti masyarakat kita. Namun, tidak ada kompromi, bila kita telah mempunyai kewajiban hukum dan moral seperti halnya pengurus suatu UKM atau menjadi karyawan di sebuah instansi manapun, kebiasaan kebiasaan buruk tersebut harus ditinggalkan karena berpeluang menghambat kinerja kita sehingga bila sedikit saja kita terlambat, maka dapat berdampak secara sistemik secara kelembagaan. Sebuah hal yang tidak kita inginkan tentunya. Dengan demikian, kita sudah bisa menilai dan memilih posisi kita atau sejauh manakah kita berdiri dengan budaya pop, sebagai kawan ataukah sebagai lawan?



Bahan Bacaan
Ridho ‘’Bukan’’ Rhoma. Berhala Itu Bernama Budaya Pop. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Leutika. 2009
Drs. Sutamto. Teknik Menjual Barang. Cetakan Kedua. Jakarta. Balai Aksara.1977
Web





[1] Mahasiswa FH Unsoed Angkatan 2010 sekaligus Volunteer di LKHS, Penulis pernah menjabat sebagai Ketua Umum Lembaga Kajian Hukum dan Sosial Fakultas Hukum Unsoed Periode 2011-2012. Koordinator Dewan Pertimbangan Lembaga Kajian Hukum dan Sosial 2012-2013, 
[2] Ridho ‘’Bukan’’ Rhoma. Berhala Itu Bernama Budaya Pop, Cetakan Pertama. Yogyakarta. Leutika. 2009. Hal.2
[3] Ibid, Hal.2
[4] Drs. Sutamto. Teknik Menjual Barang, Cetakan Kedua. Jakarta. Balai Aksara. 1977. Hal. 26
[6] Psikolog itu bernama Rose Mini a.k.a Mbak Romi ,dalam sebuah acara bertajuk “Warna” di Trans7, (lupa bulan dan tanggal)  tahun 2012