Minggu, 25 Maret 2018

UU Contempt of Court “Sang Penjaga Kewibawaan Lembaga Peradilan(?)”


Oleh : No Name

Tepat satu bulan yang lalu terdapat suatu pernyataan dari salah satu pengacara kondang dalam negeri yakni Hotman Paris Hutapea yang sempat viral di media sosial dimana beliau mendesak pemerintah untuk segera membentuk dan mengesahkan Undang- undang contempt of court dengan alasan bahwa kepastian hukum sangat sulit terwujud di Indonesia dan sangat mahal harganya. Hotman Paris mengatakan sudah terlalu banyak putusan inkracht yang tidak dialksanakan oleh pihak yang dikalahkan dan tidak bisa di eksekusi, atas dasar peristiwa tersebut hotman paris berdalil bahwa dengan adanya Undang- undang contempt of court maka orang-orang yang telah dikalahkan tersebut dapat dikenakan pidana dengan undang-undang contempt of court.

Istilah contempt of court dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penghinaan terhadap pengadilan ,contempt of court sendiri banyak berkembang di negara-negara yang menganut sistem common law. Berdasarkan buku Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002 dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4 yang berbunyi:

“Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court”.
Selain itu dalam buku Naskah Akademis tersebut juga disebutkan perbuatan yang termasuk dalam pengertian penghinaan terhadap pengadilan antara lain :

a.    Berperilaku tercela dan tidak pantas di Pengadilan (Misbehaving in Court)
b.    Tidak mentaati perintah-perintah pengadilan (Disobeying Court Orders)
c.    Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (Scandalising the Court)
d.    Menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan (Obstructing Justice)
e. Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap pengadilan dilakukan dengan cara pemberitahuan/publikasi (Sub-Judice Rule)


Di Indonesia terdapat beberapa pendapat terkait pengaturan contempt of court dalam internal lembaga peradilan, sebab ada hakim yang berpendapat bahwa dalam menjalankan tugasnya para hakim ini perlu mendapat perlindungan yang layak sehingga dapat menghasilkan kualitas yang baik sedangkan yang lain berpendapat contempt of court ini sudah diataur di dalam peraturan perundang-undangan meskipun tidak disebut dengan sebutan contempt of court.
Wacana untuk membentuk Undang-undang contempt of court sebenarnya sudah sejak lama ada dengan banyaknya kasus penghinaan terhadap pengadilan bahkan ada yang sampai mengancam keselamatan jiwa Hakim, hal tersebut tentu saja menimbulkan persepsi bahwa lembaga peradilan telah kehilangan wibawanya. Gagasan untuk mengajukan UU Contempt of Court muncul pertama kali pada saat Rapat Kerja Nasional MA di Yogyakarta pada 2001 merekomendaskan antara lain perlunya penyusunan RUU tentang Penghinaan terhadap Pengadilan “demi terciptanya kepastian hukum serta melindungi lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman”. Hal tersebut selaras dengan pendapat Hotman Paris yang sudah disebutkan di atas sebab Tanpa kejelasan aturan, setiap orang bisa seenaknya melakukan pelecehan dan penghinaan terhadap peradilan termasuk tidak dilaksanakannya putusan pengadilan merupakan salah satu bentuknya.
Meskipun begitu upaya untuk membentuk Undang-undang contempt of court mendapat pertentangan dari berbagai pihak terbukti sudah hampir 17 tahun wacana membentuk undang-undang tersebut belum terwujud, di sisi lain juga diperlukan kemauan politik dari pemerintah dan DPR untuk mewujudkan wacana tersebut. Pada Rancangan KUHP yang baru pasal mengenai adanya contempt of court pun mendapat banyak pertentangan terutama dari pihak-pihak yang bergelut di bidang media karena timbul pemikiran rentannya para penggiat media dikenakan pidana atas pasal penghinaan terhadap pengadilan. Timbul persepsi bahwa RUU contempt of court dibuat untuk membatasi kebebasan berpendapat. Hal tersebut sangatlah logis ketika melihat banyaknya kritikan terhadap integritas peradilan dan pejabat yang ada di dalamnya sehingga ada kalangan yang berpendapat bahwa alasan dari keinginan untuk membentuk undang-undang contempt of court ini merupakan reaksi atas kritikan yang dilancarkan kepada pejabat peradilan khususnya hakim.
Terkait masuknya contempt of court dalam ranah perdata perlu dilakukan kajian terhadap sanksi penjara yang dapat dikenakan terhadap tereksekusi yang tidak mekasanakan putusan agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan. Sebab, dalam hukum acara perdata sendiri terdapat upaya paksa berupa penyanderaan(Gijzeling) dimana seseorang yang dijatuhi putusan berupa putusan condemnatoir dapat dipaksa untuk melaksanakan putusan tersebut dengan cara di penjara selama beberapa bulan sampai ia melaksanakan putusannya. Karena bagaimanapun juga contempt of court diadopsi dari negara – negara yang menerapkan sistem hukum common law dimana tidak terdapat pemisahan antara hukum pidana dan perdata seperti yang ada dalam sistem hukum civil law.
Pembentukan pengaturan menegenai contempt of court perlu diatur khusus(lex spesialis) dengan undang-undang tersendiri. Namun, apabila tindak pidana ini dituangkan dalam RKUHP sebaiknya hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum(lex Generali) dan jumlah pasalnya tidak terlalu banyak. Selanjutnya, UU Contempt of Court mengatur lebih komprehensif lagi.
Sehingga menurut hemat penulis dengan melihat polemik yang ada terhadap pengaturan contempt of court ini dapat di atasi dengan pembentukan undang-undang khusus terkait penghinaan terhadap pengadilan harus diwujudkan agar parameter terkait perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam RKUHP lebih jelas. Terkait isu membatasi kebebasan pers maka kita dapat mengadopsi aturan-aturan yang telah diterapkan di negara-negara maju dimana pelanggaran yang dilakukan oleh penggiat pers dimasukkan dalam ranah perdata.

Sumber : hukumonline.com