Jumat, 21 Desember 2012

Pendidikan Gratis Itu Wajar


Oleh :
Panji Mulkillah Ahmad

Isu Sekolah Menengah Universal seolah membawa harapan baru bagi masyarakat. Pendidikan wajib 12 tahun yang dicanangkan pemerintah membawa angin segar bagi masyarakat yang masih tersendat dalam memperjuangkan anaknya supaya berseragam putih abu-abu. Karena selama ini sekolah menengah keatas memang dikenal masih membutuhkan biaya yang tinggi,  mulai dari biaya operasional sampai non operasional. Belum lagi jika sekolah itu diberi label “Standar Nasional” dan “Standar Internasional”, maka hanya kalangan atas dan menengah ke atas saja yang mampu mengenyam bangku di sana. Maka wajar jika isu Sekolah Menengah Universal yang katanya akan membebaskan biaya sekolah ini ditanggapi secara antusias oleh masyarakat.
Yang tinggal masih menjadi persoalan selanjutnya, yang juga belum menjadi sorotan pemerintah ialah pada jenjang Pendidikan Tinggi. Pada jenjang ini, akses pendidikan makin menyempit karena hanya bisa ditembus oleh beberapa orang saja. Yaitu mereka-mereka yang sangat beruntung bisa lolos seleksi masuk perguruan tinggi, menyingkirkan calon-calon mahasiswa lain yang juga ikut proses seleksi. Menurut Muhammad Nuh selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2011, lulusan menengah atas usia 19-23 hanya 26 persen yang terserap masuk perguruan tinggi. Sisanya, 74 persen, tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Padahal seleksi itu sendiri sudah penuh perjuangan karena hari ini supaya bisa duduk di bangku kuliah ada berbagai jalur masuk dengan memerlukan biaya yang bervariasi. Amat beruntung lagi jika kebetulan atau tidak, si anak merupakan golongan keluarga kaya, sehingga bisa menggunakan kekayaannya supaya dapat kuliah di manapun ia suka. Yang juga beruntung (sekalipun sedikit) ialah yang miskin tapi pintar, ia dapat kuliah sekalipun harus dengan perjuangan yang berliku, karena mau tidak mau harus mencari dana beasiswa. Yang paling tidak beruntung ialah mereka-mereka yang oleh sistem dianggap miskin dan bodoh, mereka sampai kapanpun tidak akan mampu mengenyam bangku kuliahan. Maka, paradigma (cara pandang) masyarakat hari ini sangat dapat dimaklumi jika menganggap bahwa “hebat” dan “bangga” adalah ketika anak-anak mereka dapat mengenyam bangku kuliah. Karena hari ini, pendidikan masih dianggap komoditas yang mahal.
Bila kita kembali pada tahun 2000, ternyata pada saat itu ada sebuah pertemuan bernama World Education Forum di Dakkar, Senegal. Negara-negara yang totalnya berjumlah 189 termasuk dengan partisipasi dari beberapa  organisasi-organisasi yang jumlahnya mencapai 1100 hadir dan menyepakati beberapa poin penting[1] :
1. Memperluas pendidikan untuk anak usia dini
2. Menuntaskan wajib belajar untuk semua
3. Mengembangkan proses pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa
4. Meningkatnya 50% orang dewasa yang melek huruf (2015), khususnya perempuan
5. Menghapuskan kesenjangan gender
6. Meningkatkan mutu pendidikan
Beberapa poin tersebut, ringkasnya merupakan misi UNESCO bersama negara-negara di dunia (termasuk Indonesia) dengan slogannya yang terkenal : Education for All. Yaitu sebuah pendidikan yang dapat diakses oleh siapapun, pendidikan untuk semua kalangan.
Bila kita mengingat kembali pada tahun 1966, lahir pula Internatinal Covenant of Economics, Social, and Culture Rights(ICCPR). Dalam artikel 13 ayat 2 huruf (a), (b), dan (c) dikatakan :
The States Parties to the present Covenant recognize that, with a view to achieving the full realization of this right:
(a) Primary education shall be compulsory and available free to all;
 (b) Secondary education in its different forms, including technical and vocational secondary education,shall be mad e generally available and accessible to all by every appropriate means, and in particularby the progressive introduction of free education;
(c) Higher education shall be made equally accessible to all, on the basis of capacity, by every appropriate means, and in particular by the progressive introduction of free education;
Jika diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia :
Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh:
a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara gratis  bagi semua orang;
b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;
c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis secara bertahap;

Namun Indonesia baru meratifikasi Kovenan ini pada tahun 2005, yakni melalui UU No 11 tahun 2005. Berarti Indonesia “mangkir” selama 39 tahun dibanding negara-negara lainnya dalam menjamin warganya untuk mengenyam akses pendidikan. Yang dapat diambil intisari dari ketentuan tersebut, bahwasanya pendidikan merupakan hak asasi manusia yang bersifat universal dan adalah kewajiban negara untuk menjamin hak tersebut diperoleh warganya. Untuk memperoleh hak tersebut, maka disepakatilah bahwa pendidikan dala jenjang apapun harus gratis.

Di Indonesia, hal ini sesuai dengan Konstitusi kita yakni Undang Undang Dasar 1945. Pada pasal 31 ayat (1) dikatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Bahkan pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk menjamin hak tersebut, sebagaimana tertuang dalam ayat (3) bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ditambah lagi jika kita melihat Pembukaan(Preamble) UUD 1945 sebagai cita-cita negara, dikatakan bahwa “..Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...”. Indonesia ternyata memiliki janji[2] kepada warganya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lantas mengapa paradigma masyarakat masih memandang bahwa pendidikan adalah barang yang mahal? Mengapa masyarakat masih merasa bahwa yang sanggup mengenyam pendidikan hanyalah orang-orang tertentu saja. Di Kuba dan di Belanda misalnya, pendidikan tidak memiliki sekat-sekat antara yang “dasar” dengan “menegah” dan yang “tinggi”. Ataupun yang “nasional”, “swasta”, dan “internasional”. Juga yang “beasiswa kurang mampu” ataupun “yang biaya tinggi”. Tidak ada pemisahan hak bagi si kaya ataupun si miskin, si anak pekerja ataupun anak pengusaha, anak bodoh ataupun anak pintar. Singkatnya, tidak ada diskriminasi secara sosial maupun ekonomi dalam mengakses pendidikan. Andai cara pandang kita tidak menganggap bahwa pendidikan adalah barang yang mahal, maka kita tidak mungkin menganggap bahwa pendidikan gratis adalah sebuah keajaiban. Sebagai subyek yang telah memiliki kesadaran akan haknya, maka setelah sadar kita akan menuntut hak kita semua untuk mendapatkan akses pendidikan secara terbuka.

Mungkin saja, kita semua hari ini masih memiliki cara pandang yang menganggap bahwa keadaan seseorang merupakan akibat dari orang itu sendiri. Cara pandang ini dinamakan juga dengan paradigma liberal[3]. Semisal ada seorang anak yang miskin dan bodoh. Orang yang berparadigma liberal akan menganggap bahwa anak itu miskin karena ia tidak bekerja dan ia bodoh karena tidak sekolah. Tapi benarkah demikian?

Apakah seorang anak sudah dapat menentukan nasib dirinya akan menjadi miskin dan bodoh? Tentu saja tidak. Jika kita mampu memandang secara obyektif, anak tersebut menjadi miskin dan bodoh bukan karena dirinya sendiri yang mengkehendaki, tapi karena sistem. Sistem dalam hal ini adalah tatanan sosial, politik, dan hukum yang mempengaruhi anak tersebut. Mungkin saja karena negara tidak mengurusi anak itu, sehingga ia miskin dan bodoh. Cara berpikir yang demikian merupakan paradigma kritis. Yaitu paradigma yang menyatakan keadaan seseorang tidak hanya disebabkan atas kehendak orang itu sendiri, tapi juga karena sistem kelas masyarakat yang mempengaruhinya. Nah, kamu sendiri menggunakan paradigma yang mana?

Sudah saatnya kita mengubah paradigma kita. Sudah saatnya sebagai insan yang memiliki hak asasi mendapatkan haknya, terutama hak pendidikan. Bukan hanya memperjuangkan hak diri sendiri, tapi juga menolong orang lain sebagai bentuk kepedulian sesama manusia.

tulisan ini diposkan juga di : panjimulkillah.blogspot.com



[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Education_For_All, diakses pada 21 Desember 2012
[2] Anis Baswedan dalam Diskusi Publik di FISIP Unsoed lebih menyukai kata “janji” daripada “cita-cita” karena baginya, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tanggungjawab negara sebagai konsekuensi dicantumkannya ketentuan tersebut dalam Pembukaan UUD 1945.
[3] Henry Giroux dan Aronowitz membagi 3 macam paradigma pendidikan, yaitu paradigma konservatif, liberal, dan kritis. Tertuang dalam Mansour Fakih, “Ideologi Dalam Pendidikan” Pengantar dalam William F. O’Neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002) hlm xiii



DAFTAR PUSTAKA

Literatur :
O’Neil, William, 2002, Ideologi-Ideologi Pendidikan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Internet :
Wikipedia : http:// en.wikiepedia. org/wiki/Education_For_All (diakses pada 21 Desember 2012)

Peraturan Perundang Undangan :
Undang-Undang Dasar 1945
International Covenant of Economics, Social, and Culture Rights
Undang Undang No 11 Tahun 2005

Kamis, 06 Desember 2012

Diskusi Pagi. Pembatasan Kewenangan Terhadap Perusahaan Outsourching Dalam Peraturan Perundang-Undangan

Serikat Pekerja/Buruh menyambut baik upaya pemerintah dalam membatasi jenis pekerjaan yang dapat dialihkan ke perusahaan penyedia jasa pekerja. Jenis pekerjaan yang dapat di Outsourcing seperti cleaning service, security, catering, jasa transportasi dan penunjang pertambangan. Dengan berlakunya (Permenakertrans) No 19 tahun 2012 ini juga mencantumkan hak-hak apa saja dari pekerja Outsourcing yang harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa seperti Hak cuti, jaminan social, tunjangan hari jaya dan hak mendapatkan ganti rugi. Para pekerja/buruh selama ini menganggap Outsourcing seperti perbudakan.
Apakah dengan adanya pembatasan jenis pekerja yang dapat di Outsourcing ini bisa meningkatkan kesejahteraan para pekerja/buruh?(UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri No. 19 Tahun 2012, KUH Perdata)
oleh Taesiru Rijki (Staff Divisi Diskusi 2012/2013).