Selasa, 07 Oktober 2014

10 poin isi Perpu No. 1 Tahun 2014



                                                Oleh : Dwicky Agil Ramadhan
                                   Kepala Divisi Penelitian Periode 2014/2015


Polemik mengenai RUU Pilkada memang sedang hangat di bicarakan, dan menyita banyak pihak tidak terkecuali dari Presiden Republik Indonesia saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono. di akhir masa jabatanya beliau mengeluarkan dua Perpu, yang salah satunya adalah Perpu No. 1 Tahun 2014 yang berisikan 10 poin penting. berikut isinya.
  • Ada uji publik calon kepala daerah. Dengan uji publik, dapat dicegah calon dengan integritas buruk dan kemampuan rendah, karena masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup, atau hanya karena yang bersangkutan merupakan keluarga dekat dari incumbent. Uji publik semacam ini diperlukan, meskipun tidak menggugurkan hak seseorang untuk maju sebagai calon Gubernur, Bupati ataupun wali kota.
  •  Penghematan atau pemotongan anggaran Pilkada secara signifikan, karena dirasakan selama ini biayanya terlalu besar.
  • Mengatur kampanye dan pembatasan kampanye terbuka, agar biaya bisa lebih dihemat lagi, dan untuk mencegah benturan antar massa.
  • Akuntabilitas penggunaan dana kampanye, termasuk dana sosial yang sering disalahgunakan. Tujuannya adalah juga untuk mencegah korupsi.
  • Melarang politik uang, termasuk serangan fajar dan membayar parpol yang mengusung. Banyak kepala daerah yang akhirnya melakukan korupsi, karena harus menutupi biaya pengeluaran seperti ini.
  • Melarang fitnah dan kampanye hitam, karena bisa menyesatkan publik dan juga sangat merugikan calon yang difitnah. Demi keadilan para pelaku fitnah perlu diberikan sanksi hukum.
  • Melarang pelibatan aparat birokrasi. Ditengarai banyak calon yang menggunakan aparat birokrasi, sehingga sangat merusak netralitas mereka.
  • Melarang pencopotan aparat birokrasi pasca Pilkada, karena pada saat Pilkada, calon yang terpilih atau menang merasa tidak didukung oleh aparat birokrasi itu.
  • Menyelesaikan sengketa hasil Pilkada secara akuntabel, pasti dan tidak berlarut-larut. Perlu ditetapkan sistem pengawasan yang efektif agar tidak terjadi korupsi atau penyuapan.
  • Mencegah kekerasan dan menuntut tanggung jawab calon atas kepatuhan hukum pendukungnya. Tidak sedikit terjadinya kasus perusakan dan aksi-aksi destruktif karena tidak puas atas hasil Pilkada.

Kesadaran Moral Lawrence Kohlberg

                                                Oleh : Suyogi Imam Fauzi
                                   Staff Difisi Penelitian periode 2014/2015

Izinkanlah saya untuk sharing apa yang telah saya baca dan pelajari. Manusia itu menaati hukum karena memiliki kesadaran moralitas didalam dirinya sendiri. “Apa itu kesadaran moralitas?“ Kali ini saya ingin sharing tentang “Kesadaran Moral“ yang diusung oleh Lawrence Kohlberg. Beliau membagi kesadaran moral dalam 3 tahap . Tahap pertama adalah tahap moralitas pra-konvensional, tahap kedua adalah tahap moralitas konvensional dan yang terakhir adalah tahap moralitas purna konvensional. Tiap-tiap tahap tersebut memiliki masing-masing 2 jenjang untuk melanjutkan kejenjang berikutnya. Penasaran apa saja itu kesadaran moralitas menurut Lawrence Kohlberg? Lets check it out...
1.     Moralitas Pra-Konvensional
A.     Jenjang Pertama
Moralitas yang mengandalkan kalkulasi untung-rugi dan hukuman. Hal ini sering disebut dengan moralitas kekanak-kanakan (BOCAH). Ketaatannya pada aturan (konvensi) bukan dengan rela dan sadar bahwa hukum yang dimaksud, benar dan baik adanya, tetapi karena takut terkena sanksi. Contoh:
si James tau mencuri kue itu tidak boleh, namun dengan alasan karena takut dipukuli dan ditelanjangi ama emak (sanksi) bukan karena mencuri itu suatu perbuatan pidana dalam unsure kejahatan.
Itu persoalan mekanis terhadap anak kecil, lain lagi terhadap orang dewasa. Orang dewasa sudah pandai sedikit. Contohnya si Mahmud mengendarai motor dengan sangat pelan-pelan karena didepanya  ada polisi sedang berpatroli, lalu kemudia ketika Mahmud telah melewati polisi tersebut langsung si Mahmud menancapkan gasnya penus seperti di Film Fast and Furious. Inilah jenjang pertama yang berorientasi kepada “HUKUMAN“.
B.     Jenjang Kedua
Pada jenjang ini, tindakan moral seseorang memang masih kekanak-kanakan. Tapi sudah lebih rasional. Tidak terlalu mekanis dan membabi-buta. Orang sudah mulai menghitung-hitung dan memilih-milih. Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang ini adalah bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Tindakan moral seorang adalah “alat” atau “instrument” untuk mencapai tujuan diatas. Saya melakukan sesuatu untuk mendapat sesuatu. “You scratch my back and I Scratch your”, Kata orang Amerika, “Anda menggaruk punggung ku, dan saya menggaruk punggu mu“. Sudah ada rasa keadilan disini tapi keadilan yang berdasarkan perhitungan.
Kholberg mengatakan, nilai moral yang berlaku pada jenjang ini bersifat instrumental artinya, sebagai alat untuk mencapai kenikmatan sebanyak banyak dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Rasa takut dihukum masih merupakan faktor, tapi bukan tanpa perhitungan. Contoh :
James, tahu dosennya melakukan suatu tindakan plagiat / pelanggaran hak cipta. Apakah james akan mengadukan dosennya itu kepada kepihak berwajib. ataupun kepada Pembantu Dekan 1, sangatlah ditentukan oleh kalkulasi untung ruginya. Mana yang menguntukan bagi dirinya, melaporkan pada polisi atau “SALAM DAMAI“ dengan dosennya (mungkin nilai bs dapet A). Jenjang ini masih pra konvensional. Sebab pertimbangan pokok bukanlah apa yang benar dan apa yang baik secara kolektif, tetap apa yang menguntungkan bagi diri subyektifnya.

2.     Moralitas Konvensional.
A.     Jenjang Ketiga
Sesuatu apa yang benar dan baik itu ditentukan oleh orang lain. “Saya tidak menetapkannya, Saya hanya tinggal mematuhinya, dan saya tidak melakukan hal itu bukan karena takut dihukum, tetapi lebih karena keluarga, pacar, gebetan, atau bos saya melarang untuk melakukan itu“.
Moralitas pada jenjang ini telah merupakan perkembangan yang luar biasa dibandingkan jenjang-jenjang sebelumnya. Tapi karena sifatnya terbatas, maka moralitas seperti ini kadang berhadapan dengan masalah. Masalah terbesarnya ialah, bila terjadi perbenturan atas pertentangan loyalitas. Harapan-harapan yang ada pada setiap kelompok bukan saja berbeda-beda, tapi boleh jadi malah saling bertentangan satu sama lainnya.
“Loyalitas saya sebagai anggota keluarga yang menuntut saya untuk bersikap dan bertindak jujur dimana saja, tapi dimana saya di lingkungan pekerjaan saya, hal itu tidak mungkin.  Saya justru akan tersingkir/dimusuhi oleh kejujuran saya itu. Mana yang harus saya pilih ?“
Dalam hal hubungan inilah, kholberg melihat bahwa jenjang berikutnya merupakan perkembangan yang signifikan.

B.     Jenjang Keempat
Lanjutan dari permasalahan jenjang ketika, bila terjadi konfilik loyalitas seperti disebut diatas apa yang kita jadikan dasar untuk memilih dan mengambil suatu keputusan atas permasalahan itu?
Jawaban yang sederhana ialah, kita harus merujuk pada suatu prinsip/hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum obyektif yang tidak berlaku untuk satu-satu kelompok saja, tapi hukum yang mempunyai keabsahan yang lebih luas. Hukum yang lebih mendimensi universal inilah orientasi dari moralitas pada jenjang keempat. Pada jenjang ini seorang sudah berhasil menembus tembok-tembok kelompok yang sempit, untuk mengengok dan berpegang pada yang lebih luas lagi.
Manakah yang harus dipilih, korupsi atau tidak? Masalahnya bukan memilih pada mana yang lebih memberi jaminan identitas dan sekuiritas, akan tetaou apa HUKUMANNYA?
Kata kunci dalam jenjang keempat ini adalah “Kewajiban” (Duty). Kita melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, bukan hanya agar kita diterima oleh orang lain, tapi oleh karena kita sadar bahwa itu adalah kewajiban kita menurut hukum yang berlaku umum yang harus ditaati bukan karena memberi jaminan identitas. Dengan melaksanakan kewajiban untuk, dapat saja kita akan tersingkit dari kelompok kita. Tetapi itu tidak lagi menjadi ganjalan yang utama. Persoalan kita, bukan lagi soal akan disukai atau tidak disukai oleh orang lain, tetapi apakah kita menaati hukum yang berlaku atau tidak.
Menurut Kholberg, jenjang keempat diatas, belum merupakan puncak perkembangan moral manusia. Memang, dibandingkan dengam moralitas pra-konvensional yang berpusat pada diri sendiri, moralitas konvensional mempunyai cakrawala jauh lebih luas. Bahkan jenjang keempat, cakrawala tidak lagi terbatas pada kelompoikm yang parochial, melainkan lebih universial. Tetapi, tetap belum universal dalam arti sesungguhnya. Loyalitas saya pada hukum atau undang-undang, tentu jauh lebih luas dibandingkan dengan loyalitas saya kepada ketentuan-ketentuan keluarga. Namun, betapun luasnya “Negara“ tetap merupakan satu kelompok, belum universal. Belum mencakup seluruh umat manusia. Ketetapan-ketetapan yang ada, bagaimanapun hanya berlaku dalam batas-batas kelompok tertentu.
3.     Moralitas Purna Konvensional
A.     Jenjang Kelima
Jika pada jenjang keempat, hukum yang berlaku wajib ditaati. Hukum itu sendiri, tidak dipertanyakan. Mempertanyakan, malah mungkin dianggap salah. Pada jenjang kelima, orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada, sebenarnya tidak lain dari kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan antar manusia yang melahirkan hukum. Oleh karena itu, kesepakatan antar manusia pulalah yang dapat mengubahnya. Tidak ada hukum yang serta-merta dianggap sacral, yang tidak dapat diubah. Bila hukum tidak lagi memenuhi fungsinya, ia harus diubah.
Ada sikap kritis dalam jenjang kelima ini. Orang senantiasa memperjuangkan keutaman dalam isi hukum ketimbang bersikap formal-legalistik (sebagaimana jenjang keempat).
B.     Jenjang keenam
Menurut Kholberg, pada jenjang inilah perkembangan pemikiran moral seseorang mencapai puncaknya, yaitu moralitas yang pantang mengkhianati suara hati nurani dan keyakinan tentang yang benar dan yang baik. Orang-orang tidak takut menentang arus. Berani dalam kesendirian. “RELA MENERIMA MATI DARIPADA MENIPU DIRI”.
Semua itu bukan untuk kepuasan dan kepentingan  diri pribadi, melainkan kepentingan bersama. Visi dan misinya jelas, yaitu demi tegaknya harkat dan martabah seluruh umat manusia. Untuk semua itu, orang-orang seperti Mahatma Gandhi melakukan tindakan-tindakan yang sering kali tidak tercerna oleh akal sehat orang-orang biasa. Moralitas mereka, bukan irasional tetapi melampaui akal atau bisa disebut Moralitas yang transrasional.
Itu adalah kerangka pemikiran Kholberg, dapat kita manfaatkan untuk melakukan suatu kajian terhadap perilaku hukum dari berbagai kelompok-kelompok sosial atau sebagai refreleksi terhadap diri kita sendiri untuk menempa diri agar menjadi suatu insan yang lebih baik lagi. Dengan begitu kita berkesapakan melakukan pemetaan pola perilaku hukum dari sisi moralitas. Abakig dengan itu, kita juga memanfaatkan kerangka-kerangka analisi lain yang bermanfaat untuk pengembangan kajian terhadap hukum sebagai fenomena manusia dan sosial.

Tulisan ini diinspirasi oleh buku :

Teori Hukum ( Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi ) karangan Dr. Bernard L. Tanya, DKK.