Selasa, 30 Desember 2014

Momentum Hari Ibu, Serta Refleksi Pemaknaannya Era Kekinian

Minggu, 07 Desember 2014

Mari Berbincang Perihal Desa

Oleh : Ramdani Laksono

“Desa harus jadi kekuatan ekonomi, agar warganya tak hijrah ke kota”
(sepotong lirik lagu Iwan Fals yang berjudul Desa)
       Geliat politik dan hukum sedang berkembang pesat dalam rezim yang baru seumur jagung ini. Salah satunya mengenai lahirnya UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dengan lahirnya UU ini mengukuhkan bahwa eksistensi desa semakin diakui oleh Pemerintah, ini merupakan hal yang cukup mengembirakan. Bagaimana tidak, bahwa desa sejak lahirnya UU ini terkesan lebih mandiri dan berhak mengatur urusannya dalam menjalankan roda kehidupan baik hukum, politik, ekonomi, dan budaya. Namun kegembiraan itu nampaknya harus direnungkan, ditinjau, bahkan dipikirkan kembali mengenai apa yang sesungguhnya diatur dalam UU No 6 Tahun 2014 ini.

Konsep Desa

       Apa yang dimaksud dengan Desa ? Secara konseptual mengenai desa diatur dalam konstitusi pasal 18 b ayat 2, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Lalu pengertian desa menurut Widjaja dalam bukunya yang berjudul Otonomi Desa adalah “sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat” (Widjaja, 2003: 3).
       Dengan melandasi dari kedua landasan pemikiran tentang desa dapat digambarkan bahwa yang dimaksud dengan desa adalah desa adat, karena konsep desa dari konstitusi merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki ciri khasnya masing-masing dalam hal budaya, pola hubungan sosial, dan lain-lain. Desa merupakan suatu komunitas yang berhak mengatur dirinya sendiri. Secara historis sebelum negara ini secara resmi berdiri terbilang pada tanggal 17 Agustus 1945, bahwa eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat atau desa adat jauh lebih dulu ada sebelum negara ini berdiri. Dengan pemahaman bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi Desa yang memiliki otonomi asli yang strategis, tetapi tetap dalam kerangka negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka desa mempunyai otonomi asli dan bukan otonomi pemberian layaknya pemerintah daerah dengan berdasarkan latar belakang historis.


Perihal Otonomi Asli yang Dimiliki Desa

        Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa desa mempunya otonomi asli yang bukan merupakan otonomi pemberian dari pemerintah pusat. Jadi, desa berhak mengatur dirinya sendiri perihal apapun mengenai jalannya roda pemerintahan di desa asalkan tidak mengganggu integ ritas negara Indonesia dan Pemerintah Pusat harus menghargai itu.
       Konsep otonomi yang dimiliki desa memang tidak mempunyai rujukan konsep ataupun batasan sampai sejauh mana yang dapat dibilang pasti. Karena itulah perjalanan otonomi asli desa dari awal berdirinya republik ini sampai hari ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Patut digaris bawahi kembali bahwa yang dimaksud dengan otonomi asli adalah otonomi yang utuh dan bukan pemberian dari pemerintah. Memang secara geografis keberadaan sebuah desa merupakan bagian wilayah dari kelurahan yang artinya sebuah desa berada dalam kekuasaan pemerintah daerah. Namun patut ditinjau kembali, memang secara geografis bahwa desa tidak terlepas dari rezim pemerintahan dearah namun desa memiliki sebuah otonomi asli yang bukan otonomi pemberian layaknya pemerintah dearah. Desa diberi kewenangan untuk mengatur desanya secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi.
       Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial dan politik. Namun berjalannya negara ini yang sudah melampaui setengah abad lamanya, nampaknya otonomi desa tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Adapun dengan dikeluarkannya UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, keberpihakan kepada desa hanya sekedar wacana hangat semata karena ini merupakan dampak dari tidak adanya rujukan konsep otonomi desa yang pasti, serta keberpihakan pemerintah yang hanya isapan jempol. Dengan diundangkannya UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang merupakan aturan mandiri bagi desa yang sudah tidak lagi disatukan dengan UU Pemerintahan Dearah, patut dikaji ulang apakah memang sejalan dengan konsep otonomi desa atau hanya perwujudan syahwat politik para politisi untuk meraup simpati masyarakat.
       Patut dikaji kembali UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa, UU ini mengkonstruksikan bahwa konsep otonomi asli masih dicampur adukan dengan mekanisme-mekanisme yang tidak murni tentang otonomi asli desa. Hal ini karena masih ada campur tangan dari pemerintah daerah. Beberapa halnya antara lain tentang pemilihan kepala desa, bahwa dalam UU ini tata cara pemilihan kepala desa dilaksanakan secara serempak diseluruh kabupaten/kota, serta peraturan mengenai pelaksanaan pemilihannya ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan begitu maka tereduksilah konsep otonomi asli yang dimiliki oleh desa dan terkesan kembali menegaskan bahwa UU No 6 Tahun 2014 sama saja dengan peraturan perundangan lain yang mengatur desa dalam rezim pemerintahan daerah. Mengapa demikian? Dengan otonomi asli yang dimiliki desa yang telah disebutkan oleh penulis pada paragraf sebelumnya, dan dengan ketentuan seperti diatas tentang tata cara pemilihan kepala desa yang diatur dalam UU ini bahwa desa terkesan tidak memiliki otonomi asli.
       Karena semua pengaturan tentang tata cara pemilihan kepala desa ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan desa tidak memiliki kemandirian penuh dalam hal ini. Patut dipertanyakan juga apakah semua desa memiliki kesiapan yang sama untuk mengadakan pemilihan kepala desa, karena setiap desa memiliki adat yang berbeda-beda serta memiliki kondisi objektif yang berbeda pula. Serta konsep kepala desa tidak hanya sebagai kepala administratif dan jabatan struktural saja namun kepala desa juga harus dapat memelihara nilai-nilai yang luhur yang terdapat dalam masyarakatnya.
       Hal yang kedua adalah mengenai peraturan desa yang terdapat dalam pasal 69. Dalam beberapa hal misalkan peraturan desa mengenai anggaran pendapatan dan belanja desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintah desa sebelum disahkan harus mendapat persetujuan dari Bupati/Walikota. Dengan begitu, apakah UU No 6 Tahun 2014 dapat dibilang memperkuat otonomi asli desa?
       Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
       Berdasarkan alasan-alasan serta penegasan tentang otonomi asli desa yang diajukan oleh penulis maka, dengan dikeluarkannya UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa memang bukanlah suatu hal yang urgent atau bermanfaat apabila melihat subtansi dari UU tersebut, yang jelas-jelas hanya mengaburkan konsep otonomi asli yang dimiliki oleh desa.
       Nampaknya kita harus konsisten terkait konsep otonomi asli yang diamanatkan oleh konstitusi serta melihat dari sisi historis mengapa lahir konsep otonomi asli yang dimiliki oleh desa yang tertera dalam konstitusi. Supaya tidak terjadi berbagai kerugiaan yang dialami oleh masyarakat desa seperti yang banyak terjadi dalam belakangan ini berbagai perampasan tanah-tanah adat oleh negara yang untuk kepentingan entah siapa.
       Misalnya saja yang terjadi di Desa Darmakaradenan. Tanah yang menjadi konflik yang sampai saat ini dikuasai oleh PT. Rumpun Sari Antan dan TNI selama belasan tahun yang pada awalnya merupakan tanah ulayat milik masyarakat desa sebelum Indonesia merdeka. Namun setelah merdeka dan pergantian rezim ternyata tanah ini dialihkan haknya menjadi tanah HGU dan dikuasai oleh sebuah PT sampai saat ini, yang membuat masyarakat setempat kehilangan tanahnya dan kebingungan untuk sekedar menyambung hidup. Kalau kita sedikit melihat UUPA, bahwa UUPA juga mengatur mengenai konsep otonomi asli desa namun karena banyaknya peraturan yang menjadi kanibal terhadap peraturan lainnya sehingga masyarakat desa cenderung dirugikan.

Simpulan

       UU desa tidak punya ketegasan dalam tujuan yg jelas, terkait otonomi desa pun tidak di akomodir didalamnya. UU ini sarat akan nafas-nafas politik dari golongan yang oportunis, yang haus akan popularitas. Padahal itu suatu hal yg penting jika berbicara masalah desa. Dan pada akhirnya, UU Desa tidak penting keberadaan nya.



(Penulis adalah mahasiswa FH Unsoed angkatan 2012, mengikuti UKM Lembaga Kajian Hukum dan Sosial dan Front Mahasiswa Nasional Ranting Unsoed)

Selasa, 07 Oktober 2014

10 poin isi Perpu No. 1 Tahun 2014



                                                Oleh : Dwicky Agil Ramadhan
                                   Kepala Divisi Penelitian Periode 2014/2015


Polemik mengenai RUU Pilkada memang sedang hangat di bicarakan, dan menyita banyak pihak tidak terkecuali dari Presiden Republik Indonesia saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono. di akhir masa jabatanya beliau mengeluarkan dua Perpu, yang salah satunya adalah Perpu No. 1 Tahun 2014 yang berisikan 10 poin penting. berikut isinya.
  • Ada uji publik calon kepala daerah. Dengan uji publik, dapat dicegah calon dengan integritas buruk dan kemampuan rendah, karena masyarakat tidak mendapatkan informasi yang cukup, atau hanya karena yang bersangkutan merupakan keluarga dekat dari incumbent. Uji publik semacam ini diperlukan, meskipun tidak menggugurkan hak seseorang untuk maju sebagai calon Gubernur, Bupati ataupun wali kota.
  •  Penghematan atau pemotongan anggaran Pilkada secara signifikan, karena dirasakan selama ini biayanya terlalu besar.
  • Mengatur kampanye dan pembatasan kampanye terbuka, agar biaya bisa lebih dihemat lagi, dan untuk mencegah benturan antar massa.
  • Akuntabilitas penggunaan dana kampanye, termasuk dana sosial yang sering disalahgunakan. Tujuannya adalah juga untuk mencegah korupsi.
  • Melarang politik uang, termasuk serangan fajar dan membayar parpol yang mengusung. Banyak kepala daerah yang akhirnya melakukan korupsi, karena harus menutupi biaya pengeluaran seperti ini.
  • Melarang fitnah dan kampanye hitam, karena bisa menyesatkan publik dan juga sangat merugikan calon yang difitnah. Demi keadilan para pelaku fitnah perlu diberikan sanksi hukum.
  • Melarang pelibatan aparat birokrasi. Ditengarai banyak calon yang menggunakan aparat birokrasi, sehingga sangat merusak netralitas mereka.
  • Melarang pencopotan aparat birokrasi pasca Pilkada, karena pada saat Pilkada, calon yang terpilih atau menang merasa tidak didukung oleh aparat birokrasi itu.
  • Menyelesaikan sengketa hasil Pilkada secara akuntabel, pasti dan tidak berlarut-larut. Perlu ditetapkan sistem pengawasan yang efektif agar tidak terjadi korupsi atau penyuapan.
  • Mencegah kekerasan dan menuntut tanggung jawab calon atas kepatuhan hukum pendukungnya. Tidak sedikit terjadinya kasus perusakan dan aksi-aksi destruktif karena tidak puas atas hasil Pilkada.

Kesadaran Moral Lawrence Kohlberg

                                                Oleh : Suyogi Imam Fauzi
                                   Staff Difisi Penelitian periode 2014/2015

Izinkanlah saya untuk sharing apa yang telah saya baca dan pelajari. Manusia itu menaati hukum karena memiliki kesadaran moralitas didalam dirinya sendiri. “Apa itu kesadaran moralitas?“ Kali ini saya ingin sharing tentang “Kesadaran Moral“ yang diusung oleh Lawrence Kohlberg. Beliau membagi kesadaran moral dalam 3 tahap . Tahap pertama adalah tahap moralitas pra-konvensional, tahap kedua adalah tahap moralitas konvensional dan yang terakhir adalah tahap moralitas purna konvensional. Tiap-tiap tahap tersebut memiliki masing-masing 2 jenjang untuk melanjutkan kejenjang berikutnya. Penasaran apa saja itu kesadaran moralitas menurut Lawrence Kohlberg? Lets check it out...
1.     Moralitas Pra-Konvensional
A.     Jenjang Pertama
Moralitas yang mengandalkan kalkulasi untung-rugi dan hukuman. Hal ini sering disebut dengan moralitas kekanak-kanakan (BOCAH). Ketaatannya pada aturan (konvensi) bukan dengan rela dan sadar bahwa hukum yang dimaksud, benar dan baik adanya, tetapi karena takut terkena sanksi. Contoh:
si James tau mencuri kue itu tidak boleh, namun dengan alasan karena takut dipukuli dan ditelanjangi ama emak (sanksi) bukan karena mencuri itu suatu perbuatan pidana dalam unsure kejahatan.
Itu persoalan mekanis terhadap anak kecil, lain lagi terhadap orang dewasa. Orang dewasa sudah pandai sedikit. Contohnya si Mahmud mengendarai motor dengan sangat pelan-pelan karena didepanya  ada polisi sedang berpatroli, lalu kemudia ketika Mahmud telah melewati polisi tersebut langsung si Mahmud menancapkan gasnya penus seperti di Film Fast and Furious. Inilah jenjang pertama yang berorientasi kepada “HUKUMAN“.
B.     Jenjang Kedua
Pada jenjang ini, tindakan moral seseorang memang masih kekanak-kanakan. Tapi sudah lebih rasional. Tidak terlalu mekanis dan membabi-buta. Orang sudah mulai menghitung-hitung dan memilih-milih. Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang ini adalah bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Tindakan moral seorang adalah “alat” atau “instrument” untuk mencapai tujuan diatas. Saya melakukan sesuatu untuk mendapat sesuatu. “You scratch my back and I Scratch your”, Kata orang Amerika, “Anda menggaruk punggung ku, dan saya menggaruk punggu mu“. Sudah ada rasa keadilan disini tapi keadilan yang berdasarkan perhitungan.
Kholberg mengatakan, nilai moral yang berlaku pada jenjang ini bersifat instrumental artinya, sebagai alat untuk mencapai kenikmatan sebanyak banyak dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Rasa takut dihukum masih merupakan faktor, tapi bukan tanpa perhitungan. Contoh :
James, tahu dosennya melakukan suatu tindakan plagiat / pelanggaran hak cipta. Apakah james akan mengadukan dosennya itu kepada kepihak berwajib. ataupun kepada Pembantu Dekan 1, sangatlah ditentukan oleh kalkulasi untung ruginya. Mana yang menguntukan bagi dirinya, melaporkan pada polisi atau “SALAM DAMAI“ dengan dosennya (mungkin nilai bs dapet A). Jenjang ini masih pra konvensional. Sebab pertimbangan pokok bukanlah apa yang benar dan apa yang baik secara kolektif, tetap apa yang menguntungkan bagi diri subyektifnya.

2.     Moralitas Konvensional.
A.     Jenjang Ketiga
Sesuatu apa yang benar dan baik itu ditentukan oleh orang lain. “Saya tidak menetapkannya, Saya hanya tinggal mematuhinya, dan saya tidak melakukan hal itu bukan karena takut dihukum, tetapi lebih karena keluarga, pacar, gebetan, atau bos saya melarang untuk melakukan itu“.
Moralitas pada jenjang ini telah merupakan perkembangan yang luar biasa dibandingkan jenjang-jenjang sebelumnya. Tapi karena sifatnya terbatas, maka moralitas seperti ini kadang berhadapan dengan masalah. Masalah terbesarnya ialah, bila terjadi perbenturan atas pertentangan loyalitas. Harapan-harapan yang ada pada setiap kelompok bukan saja berbeda-beda, tapi boleh jadi malah saling bertentangan satu sama lainnya.
“Loyalitas saya sebagai anggota keluarga yang menuntut saya untuk bersikap dan bertindak jujur dimana saja, tapi dimana saya di lingkungan pekerjaan saya, hal itu tidak mungkin.  Saya justru akan tersingkir/dimusuhi oleh kejujuran saya itu. Mana yang harus saya pilih ?“
Dalam hal hubungan inilah, kholberg melihat bahwa jenjang berikutnya merupakan perkembangan yang signifikan.

B.     Jenjang Keempat
Lanjutan dari permasalahan jenjang ketika, bila terjadi konfilik loyalitas seperti disebut diatas apa yang kita jadikan dasar untuk memilih dan mengambil suatu keputusan atas permasalahan itu?
Jawaban yang sederhana ialah, kita harus merujuk pada suatu prinsip/hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum obyektif yang tidak berlaku untuk satu-satu kelompok saja, tapi hukum yang mempunyai keabsahan yang lebih luas. Hukum yang lebih mendimensi universal inilah orientasi dari moralitas pada jenjang keempat. Pada jenjang ini seorang sudah berhasil menembus tembok-tembok kelompok yang sempit, untuk mengengok dan berpegang pada yang lebih luas lagi.
Manakah yang harus dipilih, korupsi atau tidak? Masalahnya bukan memilih pada mana yang lebih memberi jaminan identitas dan sekuiritas, akan tetaou apa HUKUMANNYA?
Kata kunci dalam jenjang keempat ini adalah “Kewajiban” (Duty). Kita melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, bukan hanya agar kita diterima oleh orang lain, tapi oleh karena kita sadar bahwa itu adalah kewajiban kita menurut hukum yang berlaku umum yang harus ditaati bukan karena memberi jaminan identitas. Dengan melaksanakan kewajiban untuk, dapat saja kita akan tersingkit dari kelompok kita. Tetapi itu tidak lagi menjadi ganjalan yang utama. Persoalan kita, bukan lagi soal akan disukai atau tidak disukai oleh orang lain, tetapi apakah kita menaati hukum yang berlaku atau tidak.
Menurut Kholberg, jenjang keempat diatas, belum merupakan puncak perkembangan moral manusia. Memang, dibandingkan dengam moralitas pra-konvensional yang berpusat pada diri sendiri, moralitas konvensional mempunyai cakrawala jauh lebih luas. Bahkan jenjang keempat, cakrawala tidak lagi terbatas pada kelompoikm yang parochial, melainkan lebih universial. Tetapi, tetap belum universal dalam arti sesungguhnya. Loyalitas saya pada hukum atau undang-undang, tentu jauh lebih luas dibandingkan dengan loyalitas saya kepada ketentuan-ketentuan keluarga. Namun, betapun luasnya “Negara“ tetap merupakan satu kelompok, belum universal. Belum mencakup seluruh umat manusia. Ketetapan-ketetapan yang ada, bagaimanapun hanya berlaku dalam batas-batas kelompok tertentu.
3.     Moralitas Purna Konvensional
A.     Jenjang Kelima
Jika pada jenjang keempat, hukum yang berlaku wajib ditaati. Hukum itu sendiri, tidak dipertanyakan. Mempertanyakan, malah mungkin dianggap salah. Pada jenjang kelima, orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada, sebenarnya tidak lain dari kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan antar manusia yang melahirkan hukum. Oleh karena itu, kesepakatan antar manusia pulalah yang dapat mengubahnya. Tidak ada hukum yang serta-merta dianggap sacral, yang tidak dapat diubah. Bila hukum tidak lagi memenuhi fungsinya, ia harus diubah.
Ada sikap kritis dalam jenjang kelima ini. Orang senantiasa memperjuangkan keutaman dalam isi hukum ketimbang bersikap formal-legalistik (sebagaimana jenjang keempat).
B.     Jenjang keenam
Menurut Kholberg, pada jenjang inilah perkembangan pemikiran moral seseorang mencapai puncaknya, yaitu moralitas yang pantang mengkhianati suara hati nurani dan keyakinan tentang yang benar dan yang baik. Orang-orang tidak takut menentang arus. Berani dalam kesendirian. “RELA MENERIMA MATI DARIPADA MENIPU DIRI”.
Semua itu bukan untuk kepuasan dan kepentingan  diri pribadi, melainkan kepentingan bersama. Visi dan misinya jelas, yaitu demi tegaknya harkat dan martabah seluruh umat manusia. Untuk semua itu, orang-orang seperti Mahatma Gandhi melakukan tindakan-tindakan yang sering kali tidak tercerna oleh akal sehat orang-orang biasa. Moralitas mereka, bukan irasional tetapi melampaui akal atau bisa disebut Moralitas yang transrasional.
Itu adalah kerangka pemikiran Kholberg, dapat kita manfaatkan untuk melakukan suatu kajian terhadap perilaku hukum dari berbagai kelompok-kelompok sosial atau sebagai refreleksi terhadap diri kita sendiri untuk menempa diri agar menjadi suatu insan yang lebih baik lagi. Dengan begitu kita berkesapakan melakukan pemetaan pola perilaku hukum dari sisi moralitas. Abakig dengan itu, kita juga memanfaatkan kerangka-kerangka analisi lain yang bermanfaat untuk pengembangan kajian terhadap hukum sebagai fenomena manusia dan sosial.

Tulisan ini diinspirasi oleh buku :

Teori Hukum ( Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi ) karangan Dr. Bernard L. Tanya, DKK.

Senin, 07 April 2014

Penindasan Hukum Oleh Hukum Negara Terhadap Hukum Masyarakat



Oleh: Cipto Prayitno
Kepala Divisi Penelitian Lembaga Kajian Hukum dan Sosial Periode 2013/2014 FH Unsoed




“Ubi Societas ibi ius”(Cicero)
Pembicaraan dalam tulisan ini ada dimulai dari kita membahas mengenai hukum secara esensial yang oleh Cicero disederhanakan dalam adagiumnya yaitu ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum).

Hukum Masyarakat
Masyarakatlah yang menjadi awal penentu kehadiran hukum sebagai alat ketertiban sosial.[1] Pandangan ini dapat dibenarkan ketika secara ringkas kita misalkan dalam hutan hidup seorang manusia saja kita anggap A, entah apa yang akan ia perbuat dan ia lakukan adalah menjadi hal yang tidak dipermasalahkan karena memang tidak ada individu lain didalam hutan tersebut. Namun berbeda halnya ketika telah muncul manusia lain kita angap B didalam hutan tersebut yang mengawali kemunculan masyarakat dengan segala permasalahannya, maka jelaslah manusia pertama A dan B akan melakukan interaksinya sesuai dengan kebutuhan mereka, dan yang semula A dapat berbuat seenaknya dan semaunya dengan kehadiran B, A tidak akan bisa berbuat semaunya dan seenaknya karena kebebasan yang dimiliki oleh A akan selalu berbenturan dengan kebebasan yang dimiliki oleh B. Nah, posisi disinilah muncul hukum yang akan mengatur hubungan antara A dan B agar ada ketertiban dalam hubungan sosial mereka. Jelaslah hukum yang ada dalam hubungan sosial antara A dan B adalah hukum yang muncul atas kehendak sadar atau tidak sadar A dan B dengan berdasarkan kesepakatan yang baik sadar maupun tidak mereka sepakati (kesepakatan dalam penentuan hukum antara A dan B adalah bentuk keadilan dlam hukum A dan B).
Perkembangan hubungan sosial antara A dan B pun menjadikan hukum yang digunakan untuk mengatur antara A dan B pun akan berkembang menyesuaikan dengan kondisi hubungan A dan B. Misal pada awal pergaulan A dan B adalah pergaulan layaknya masyarakat yang bersifat tradisional dengan permisalan A dan B adalah petani tradisional, maka hukum yang ada pun adalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan petani yang tradisional pula (bukan hukum nelayan ataupun hukum industri, karena A dan B tidak bekerja dalam bidang tersebut). Namun dengan berkembangannya pemikiran mereka, yang awalnya hanya petani tradisional dengan bekerja menggunakan alat-alat manual menjadi petani modern dengan alat-alat yang modern pula, maka hukum yang ada-pun akan berkembang menjadi hukum yang bersifat modern dengan tetap mengatur hubungan pertanian antara A dan B. Perkembangan hukum yang muncul seiring dengan perkembangan hubungan sosial antara A dan B pun adalah hukum yang oleh A dan B kehendaki sadar atau tidak.

Minggu, 06 April 2014

Hukum sebagai Social control dan Social enginering dalam Perspetif Otonomi Relatif Hukum



Oleh: Cipto Prayitno[1]


Hukum sebagaimana adalah gejala sosial yang ter-konstitusi akibat adanya masyarakat mempunyai fungsi. Fungsi yang demikian adalah merupakan hasil dari munculnya hukum didalam masyarakat (gejala sosial) yang memberikan kedudukan hukum didalam masyarakat. Salah satu fungsi hukum didalam masyarakat adalah hukum sebagai alat kontrol sosial (law as a tool of social control) atau yang selanjutnya disebut social control dan hukum sebagai alat perekayasa masyarakat (law as a tool of social enginering) atau yang selanjutnya disebut social enginering.

Fungsi Hukum sebagai Akibat Kedudukan Hukum didalam Masyarakat
Berbicara mengenai fungsi hukum baik hukum sebagai social control maupun hukum sebagai social enginering adalah tidak terlepas dari pembicaraan mengenai kedudukan dan hubungan hukum itu sendiri dengan masyarakat sebagai pengkonstitusi adanya hukum. Karena betapa-pun besar fungsi hukum didalam masyarakat, hukum sendiri tidak akan pernah ada jika tidak ada yang disebut masyarakat (masyarakat mengkonstitusi hukum), hal tersebut-pun diamini oleh Cicero dengan adagium-nya ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Sehingga dalam pembicaraan mengenai fungsi hukum disini akan selalu diakaitkan dengan masyarakat sebagai peng-konstitusi-nya.
Seperti telah dikemukakan diatas, mengenai fungsi hukum (baik hukum sebagai social control maupun hukum sebagai social enginering) didalam masyarakat sebenarnya adalah sebagai akibat adanya kedudukan hukum didalam masyarakat itu sendiri.
Lalu bagaimana sebenarnya kedudukan hukum didalam masyarakat?