Sabtu, 24 September 2016

Sawit dan Perjalanan Konflik Agraria




Oleh : Arrizal Fathurohman

Kelapa sawit atau dalam bahasa ilmiahnya adalah Elaeis guimensis berdasarkan penelitian dapat dipergunakan sebagai energy terbarukan yang dikenal dengan nama biofuel, selain itu hasil dari sawit lainnya dapat berupa margarin, minyak goreng, berbagai produk mulai dari shampoo dan kuteks yang membutuhkan sawit sebagai bahan baku, maka dari itu tak heran sawit menjadi salah satu  komoditi ekspor terbesar Indonesia.Sawit sebagai salah satu komoditi terbesar ekspor Indonesia dalam perjalanannya terdapat banyak masalah, terutama mengenai konflik agraria, berdasarkan data yang dihimpun oleh KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) konflik agrariapada sektor perkebunan pada 2015 seluas 302.536 hektar, menurut Irwan Nurdin seketaris Jendral KPA konflik perkebunan terbanyak terjadi di Riau akibat permasalahan persawitan. 

            Mengulas sejarah konflik sawit yang seakan tak pernah terselesaikan, ada baiknya kita mengetahui mengenai perkembangan sawit dari zaman ke zaman. Kelapa sawit didatangkan pada tahun 1869 oleh maskapai dagang Belanda atau VOC, dengan membawa empat bibit kelapa sawit ke  Hindia yang lalu ditanami di Kebun Raya Bogor, menjelang akhir abad 19 VOC mengubah paradigma bisnis mereka ke sektor perkebunan yang lalu dituangkan dalam agrarisch wet pada tahun 1870, tahun 1911 di sungai Liput, Aceh, dan Pulu Radja, Asahan seorang pengusaha Belgia bernama Hallet mendirikan perusahaan Sungai Liput Cuultur Maatschappij ini merupakan awal mula industry sawit di Indonesia. Bisnis kelapa sawit sempat mati pada masa penjajahan Jepang dikarenakan lebih memilih untuk focus pada tanaman pangan seperti padi dan ganyong, sehingga pada masa itu banyak lahan perkebunan sawit yang menjadi tak terurus  dan tak jarang kembali menjadi hutan 

Setelah Indonesia merdeka, perjalanan kelapa sawit masih dalam suasana kelam, kebun-kebun yang tak terurus tersebut menjadi lahan rebutan para lascar pada waktu itu, pada agresi militer Belanda I tahun 1947 kebun-kebun tersebut kembali diambil alih oleh Belanda dan menyerahkannya pada perusahaan-perusahaan asing yang menjadi pemilik kebun tersebut sebelum Perang Dunia II, tahun 1957 terjadi nasionalisasi perusahaan besar-besaran di Indonesia, tak terkecuali perusahaan sawit ini.Selanjutnya kurun waktu 1970-an pemerintah orde baru mulai merehabilitasi lahan-lahan kelapa sawit, tetapi menjadi sebuah kontradiksi ketika kondisi pada waktu itu sawit bukanlah  komoditi yang diminati perusahan-perusahaan karena pengaruh bonanza yang sedang dinikmati Indonesia, untuk mengatasi hal tersebut pemerintah orde baru menjalankan suatu program yang dikenal dengan PIR (Perkebunan Inti Rakyat), suatu program yang pada pelaksanannya bekerja sama dengan Bank Dunia melalui program Nucleus Smallholder (NES), prinsip PIR ini memakai sistem kemitraan antara perkebunan besar dan petani rakyat, merasa kurang dengan program ini pemerintah lalu membuat program tambahan dengan sebutan PIR-Trans yaitu program transmigrasi bagi ratusan ribu orang dari Jawa, Bali, Nusa Tenggara, diberangkatkan menuju hutan-hutan di Sumatera-Kalimantan-Sulawesi untuk membuka lahan sawit di daerah-daerah tersebut dengan jatah masing-masing keluarga sebesar 2 hektare. Program ini terbilang sukses meningkatkan gairah akan persawitan terbukti seluas 566.346 ha (kebun inti 167.702ha, kebun plasma 398.644 ha) telah dibuka di 11 provinsi.

Dari program inilah konflik-konflik dimulai, letupan konflik antara transmigran dengan warga local atau sesama warga local mulai bermunculan. Perampasanterhadap hak ulayat adat dilakukan oleh pemerintah, sedangkan para transmigran ini tidak tahu menahu mengenai asal usul tanah yang mereka duduki sehingga timbulah konflik diantara warga lokal dan pendatang, konflik di Mesuji Lampung pada kurun tahun 2010-2011 dapat dijadikan contoh sebagai imbas program pemerintah tersebut. Selain itu konflik antara pengusaha dan warga local juga tak dapat dihindarkan, perusahaan-perusahaan sawit besar kadangkala melakukan penindasan kepada warga local, bermula dari kerjasama kemitraan dengan pola petani menyediakan lahan dan pemodal besar menanami sawit seringkali menimbulkan konflik agraria karena pembagian keuntungan diantara keduanya sungguh-sungguh menghisap warga local , belum lagi perampasan hak-hak masyarakat adat oleh perusahaan-perusahaan besar, dalam kondisi seperti ini pemerintah yang seharusnya dihaapkan hadir untuk membela rakyatnya malah seakan angkat tangan dan kadangkala tak peduli dengan permasalahan ini.

Konflik-konflik yang terjadi , bila kita melihat waktu terjadinya, di Indonesia pada waktu itusudah menerapkan UUPA . Oleh karena itu pelanggaran-pelanggaran seperti itu dan yang masih terjadi hingga detik ini sebenarnya terdapat beberapa hal yangbertentangan dengan ketentuan dan politik hukum dalam UU tersebut. Pertama, mengenai asas larangan pemerasan orang oleh orang lain yang dimuat dalam pasal 11 UUPA yang  mengatur mengenai perlindungan ekonomi lemah (golongan rakyat), peristiwa yang menimpa Ali Badi pada tahun 2008 Warga Desa Runtu,Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan Barat yang dimuat dalam catatan tempo institute dan Sawit Watch melaporkan bahwa perusahaan berinisial SSS dengan dibantu oleh pemerintah desa setempat meratakan lahan pertaniannya bersama dengan kelompok tani beliau yang berjumlah 49 orang, saat beliau menemui pemerintah setempat untuk mendapatkan pembelaan, tetapi yang didapat justru pernyataan bahwa tanah tersebut masuk Hak Guna Operasi PT SSS.Kedua, mengenai peampasan hak-hak ulayat adat, seperti halnya ketika warga masyarakat adat setempat dilaporkan kepada polisi hutan atau pihak berwenang lainnya dengan tuduhan mencuri hasil kebun, padahal menurut pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepada Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dimaksud hak ulayat pada intinya adalah kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat adat disuatu wilayah tertentu untuk mengelola dan mengambil manfaat dari sumber daya alam di wilayah tersebut, ditambah lagi pembohongan oleh perusahaan mengenai HGU (Hak Guna Usaha) yang seringkali diperpanjang dengan tidak melihat aturan baku dari UUPA, seperti halnya masyarakat Sanggau, Kalimantan Barat yang diakal-akali oleh perusahaan mengenai peminjaman tanah selama 25 tahun, lalu dibuat sertifikasi HGU (Hak Guna Usaha) berjangka 35 tahun lalu diperpanjang lagi selama 60 tahun sehingga menjadi 95 tahun, dan yang paling parah tanah yang bersertifikasi HGU terebut dijual ke perusahaan lain, sehingga tanah tersebut jatuh ketangan orang asing yang warga setempat tak tahu menahu mengenai hal tersebut, pada 1985 mereka menyerahkan 718 hektare untuk program PIR-trans, lalu lahan yang kembali hanya 243 ha pun dan itupun masih kredit.

Itulah dua masalah masalah yang masih membelenggu masyarakat Indonesia dan membuat UUPA masih belum berjalan dengan efektif hingga saat ini, sehingga permasalahan agraria seakan tak pernah ada habisnya. UUPA sebagai sebuah cita-cita dan politik hukum dalam pembaharuan agraria seakan hanya sebatas pemanis untuk melagengkan eksploitasi atas nama pembangunan, peraturan pendukung yang merupakan amanat dari UUPA hingga saat ini masih banyak yang menjadi pekerjaan yang tak terselesaikan, belum lagi ketidak sinkronan antara cita-cita dan politik hukum UUPA dengan peraturan-peraturan baru yang akhir-akhir ini dibuat yang justru melagengkan penghisapan atas tanah. Semoga tulisan ini dapat menjadi rekleksi atas kontradiksi yang terjadi selama ini atas nama pembangunan.