Kamis, 02 Desember 2010

MEMPERTANYAKAN KEDAULATAN RAJA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA


Refleksi Awal
Konsep kedaulatan adalah konsep yang pertama kali didengungkan oleh Jeans Bodin yang menyatakan kedualatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang sifatnya tunggal, asli, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal berarti hanya ada satu kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat dibagi-bagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain. Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara itu berlangsung terus-menerus tanpa terputus-putus. Maksudnya pemerintah dapat berganti-ganti, kepala negara dapat berganti atau meninggal dunia, tetapi negara dengan kekuasaanya berlangsung terus tanpa terputus-putus.[1]
Salah satu bentuk kedulatan yang dikenal adalah kedaulatan raja, konsep kedaulatan raja bertitik tolak dari kekuasaan tertinggi yang berada di tangan raja. Berdasarkan Amanat 5 September 1945, Yogyakarta sebagai sebuah kesultanan menyerahkan kekuasaan kepada republic Indonesia. Isi amanat tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
  2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
  3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.[2]
Konsepsi Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat sebagaimana yang disebutkan dalam amanat 5 September 1945 tersebut seolah menjadikan Yogyakarta sebagai negara di dalam negara. Hal ini menjadi rancu apabila dibenturkan dengan konsep negara kesatuan yang dianut di Indonesia, namun demikian terdapat pengakuan kekhususan daerah dalam Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Sifat pengkhususan terhadap Yogyakarta ini lah yang kemudian harus dipahami dari konsep kedaulatan raja, asumsi yang demikian berawal dari sebuah pemikiran bahwa di dalam negara kesatuan tidak boleh ada sebuah daerah yang dianggap negara di dalam negara, bertitik tolak dari amanat 5 September 1945. Terlepas dari amanat 5 September 1945 dan pengakuan atas keistimewaan Yogyakarta, dengan bertitik tolak dari komentar Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bahwa di dalam negara demokrasi tidak boleh lagi ada konsep non demokratis, tulisan ini hendak mengangkat permasalahan eksistensi pemerintahan Yogyakarta dalam konsep kedaulatan raja dan sistem ketatanegaraan Indonesia.
Sekilas Teori Kedaulatan
Pembahasan mengenai kedaulatan berawal dari sebuah pembahasan mengenai kajian negara dan kekuasaan negara. Negara itu sendiri merupakan organisasi kekuasaan yang terbentuk sebagai suatu sistem tatanan kerja yang terbentuk melalui organ-organ kekuasaan di dalamnya. Permulaan pembahasan mengenai kedaulatan berawal dari pemikiran mengenai asala mula sumber kekuasaan itu sendiri. Sehingga pada perkembangannya Jean Bodin kemudian memperkenalkan istilah kedaulatan yang diartikan sebagai kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu negara. Konstruk kedaulatan dari Bodin ini bersifat intern yang mana untuk diterapkan pada saat ini menimbulkan kerancuan sehingga dalam perkembangannya terdapat kedaulatan yang sifatnya intern maupun ekstern.[3] Perkembangan konsep kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi kemudian menimbulkan retorika pertanyaan mengenai sumber kekuasaan tersebut sehingga menghasilkan teori kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Negara, Kedaulatan Hukum, dan Kedaulatan rakyat.
Kedaulatan Tuhan adalah ajaran yang berkembang dibawah pemikiran dari penganut-penganut teori teokrasi seperti halnya Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Pemikiran utamanya adalah pemegang kekuasaan tertinggi adalah Tuhan dan gereja adalah wakil Tuhan di dunia. Perkembangan dari teori ini melahirkan teori kedaulatan raja. Teori kedaulatan raja merupakan ajaran yang menitikberatkan bahwa raja adalah penguasa tertinggi dari negara, teori berkembang sebagai reaksi dari teori kedaulatan tuhan yang menempatkan gereja sebagai poros utama pemerintahan suatu negara. Menurut teori kedaulatan raja, raja dan keluarganya merupakan pemegang utama dari kekuasaan. Sebagaimana dikatakan Thomas Hobbes Raja berdaulat artinya :
-       Ia menentukan bentuk pemerintahan, mengangkat pejabat-pejabat, mengontrol paham-paham perorangan, menjadi wasit dalam segala perkara, berhak menyatakan perang dst.
-       Ia merupakan sumber segala hukum. Pertama-tama sumber segala hukum negara yang terdapat baik dalam undang-undang maupun dalam adat-istiadat. Lagipula sumber segala hukum dalam hubungan perdata.[4]

Teori Kedaulatan Rakyat lahir dari reaksi terhadap teori kedaulatan raja. Sebagai pelopor teori ini adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Menurutnya raja memerintah hanya sebagai wakil rakyat, sedangkan kedaulatan penuh ditangan rakyat dan tidak dapat dibagikan kepada pemerintah itu. Itu sebabnya Rosseau dianggap sebagai Bapak Kedaulatan Rakyat. Teori ini menjadi inspirasi banyak negara termasuk Amerika Serikat dan Indonesia, dan dapat disimpulkan bahwa trend dan simbol abad 20 adalah teori kedaulatan rakyat.
Menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan atau menyerahkan kekuasaannya kepada negara. Kemudian negara memecah menjadi beberapa kekuasaan yang diberikan pada pemerintah, ataupun lembaga perwakilan. Tetapi karena pada saat dilahirkan teori ini banyak negara yang masih menganut sistem monarki, maka yang berkuasa adalah raja atau pemerintah. Bilamana pemerintah ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak mengganti pemerintah itu. Kedaulatan rakyat ini, didasarkan pada kehendak umum yang disebut “volonte generale” oleh Rousseau. Apabila Raja memerintah hanya sebagai wakil, sedangkan kedaulatan penuh ditangan rakyat dan tidak dapat dibagikan kepada pemerintah itu.
Teori kedaulatan negara merupakan reaksi dari teori kedaulatan rakyat, tetapi melangsungkan teori kedaulatan raja dalam suasana kedaulatan rakyat. Menurut paham ini, Negaralah sumber dalam negara. Dari itu negara (dalam arti government= pemerintah) dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life, liberty dan property dari warganya. Warga negara bersama-sama hak miliknya tersebut, dapat dikerahkan untuk kepentingan kebesaran negara. Mereka taat kepada hukum tidak karena suatu perjanjian tapi karena itu adalah kehendak negara. Teori kedaulatan hukum timbul sebagai penyangkalan terhadap teori kedaulatan negara dan dikemukakan oleh Krabbe. Teori ini menunjukkan kekuasaan yang tertinggi tidak terletak pada raja (teori kedaulatan raja) juga tidak pada negara (teori kedaulatan negara). Tetapi berada pada hukum yang bersumber pada kesadaran hukum setiap orang.

Pemerintah Daerah
Pemerintah adalah organ yang mempunyai fungsi mengatur jalannya pemerintahan, dalam hal ini sebuah sistem pengelolaan negara yang dijalankan oleh sekelompok orang. Pemerintah dalam hal ini berkedudukan sebagai pemegang kewenangan yang didapat secara atribusi, delegasi atau pun mandat. Sumber kewenangan atribusi artinya kewenangan tersebut didapatkan dari peraturan perundang-undangan, kewenangan yang didapat dari delegasi adalah kewenangan yang didapat dari pembagian kewenangan, sedangkan mandat lebih kepada perintah untuk melaksanakan. Konsep pemerintahan di Indonesia berdasarkan sistem ketatanegaraan Indonesia terdiri dari pemerintah pusat dan daerah. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan hubungan yang didasarkan pada asas desentralisasi pemerintahan dan dekonsentrasi serta asas pembantuan. Asas desentralisasi merupakan sebuah asas yang mendasari adanya pembagian wewenang secara delegasi antara pemerintah pusat dan daerah, sedangkan asas dekonsentrasi mengarah kepada pembagian konsentrasi tugas antara pemerintah pusat dan daerah.
Yogyakarta dalam perspektif hukum pemerintahan daerah merupakan sebuah daerah khusus, yaitu daerah yang mempunyai kekhususan, dalam hal ini dari aspek kajiannya pengkhususan Yogyakarta terletak pada pemilihan gubernurnya secara penunjukan dan bersifat turun temurun. Model pemilihan gubernur yang demikian merupakan sebuah tradisi turun temurun sebagai konsekuensi Yogyakarta yang melakukan penundukan terhadap Indonesia dengan persyaratan tetap ada pengakuan terhadap raja. Sehingga bisa dideskripsikan bahwa raja merupakan sebuah symbol untuk menyebut gubernur DIY.
Berdasarkan Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa ; “ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Penafsiran gramatikan dari Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 ini merupakan sebuah titik perluasan dari konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, ini artinya negara secara langsung mengakui keberagaman daerah-daerah dengan pattern budaya tertentu termasuk Yogyakarta dengan budaya kesultanan yang masih sangat kental dianut. Konsepsi ini menjadi titik tolak awal dari adanya pengakuan terhadap gubernur yang bersifat turun temurun dan bukan dari pemilihan kepala daerah, lantas demikian akan mejadi rancu dengan konsep DPRD DIY yang dipilih oleh rakyat, karena di sini sulta yang secara hukum hanya sebagai gubernur—meskipun turun temurun—harus bertanggung jawab kepada DPRD yang merupakan hasil pemilihan umum.

Eksistensi Pemerintahan Yogyakarta Dalam Perspektif Kedaulatan Raja dan Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Perspektif kedaulatan raja adalah sudut pandang yang dibangun di dalam tulisan ini untuk mengkritisi kedudukan raja Yogyakarta dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia. SIstem ketatanegaraan Indonesia dibangun dari cita-cita awal dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang bermakna “Berbeda Tetapi Tetap Satu Jua”. Arti penting dari semboyan ini adalah pemaknaan negara mengakui keberagaman penduduk Indonesia. Sistem ketatanegaraan Indonesia dengan semboyan tersebut kemudian dibentuk dalam konsepsi negara kesatuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia ; Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk republik.
Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Artinya konsep teoritis model kedaulatan yang dianut di Indonesia adalah kedaulatan rakyat. Dalam hal ini rakyat menyerahkan hak untuk diatur kepada negara.
Eksistensi pemerintahan Yogyakarta merupakan gambaran keberadaaan pemerintahan Yogyakarta dalam konsep kedaulatan raja. Konsep kedaulatan raja adalah konsep kekuasaan tertinggi berada di tangan raja, yang mana kedaulatan tertinggi yang dimaksudkan adalah tiada kekuasaan lain yang lebih tinggi, murni tanpa terpisah. Pemerintahan Yogyakarta secara hierarkis kewenangan merupakan pemerintahan provinsi yang berada dibawah naungan NKRI artinya pemerintahan Yogyakarta adalah pemerintahan di bawah naungan gubernur. Penyebutan sultan hanya sebuah simbolisasi belaka karena di sini dengan adanya symbol tersebut NKRI mengakui ada keistimewaan Yogyakarta meskipun akhirnya terjadi tumpang tindih. Dengan demikian dapat dideskripsikan bahwa pemerintahan provinsi Yogyakarta tidak memenuhi kriteria untuk dikatakan menganut kedaulatan raja, yang mana kriterianya adalah sebagai berikut :
1.     Pemerintahan provinsi Yogyakarta tidak memiliki kekuasaan yang sifatnya berada di atas negara (kedaulatan).
2.     Gubernur DIY (sultan) adalah jabatan hukum yang harus dipertanggungjawabkan kepada DPRD Yogyakarta.
3.     Gubernur Yogyakarta meskipun diangkat secara turun temurun merupakan konsekuensi dari pengakuan keistimewaan Yogyakarta yang tersirat dalam Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945.

Daftar Bacaan
Huijbers, Theo.2009. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta : Kanisius.

Soehino.2008. Ilmu Negara. Yogyakarta : Liberty.

Tanya, Bernard L. Yoan N.Simanjuntak dan Markus Y.Hage. 2010. Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta : Genta Publishing.


[1] Bernard L Tanya, Yoan N.Simanjuntak, Markus Y Hage.  Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi ( Yogyakarta : Genta Publishing, 2009). Hal.64-66.
[2] http://id.wikisource.org/wiki/Amanat_5_September_1945
[3] Soehino.Ilmu Negara (Yogyakarta : Liberty.Cet ke-8, 2008). Hal.151.
[4] Theo Huijbers.Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta : Kanisius, 2009).hal.67.

Rabu, 01 Desember 2010

Sisi lain produksi sejarah 1965


 
Oleh :
Eby Julies Onovia
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto
d/a Kampus Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto
Jl. HR Boenyamin, Grendeng, Purwokerto


Peristiwa keji pada dini hari 1 Oktober 1965 tentang pembunuhan enam perwira dan seorang kapten yang dilakukan oleh PKI ternyata mendapat balasan yang tak kalah kejamnya dari satuan Angkatan Darat (AD) itu sendiri. Kekejaman PKI di lubang buaya sebuah sumur tua di ibukota sebagai tempat membantai para jenderal dengan cara menyayat tubuh mereka dan memotong alat vital yang dilakukan oleh sejumlah perempuan yang tergabung dalam organisasi Gerwani menambah citra buruk partai tersebut. Tiga minggu setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan tersebut, perburuan besar-besaran terhadap PKI dan antek-anteknya dilakukan. Dasar pembenarannya adalah karena PKI dipandang sebagai satu-satunya dalang dibalik peristiwa 1 Oktober 1965.selanjutnya siapapun yang telah berhasil “menyelamatkan ” negara dan bangsa ini dari kaum komunis dengan jalan memimpin operasi pembantaian dan pemenjaraan massal atas mereka “berhak ” menjadi pemimpin tertinggi Republik Indonesia. Namun yang patut dipertanyakan disini adalah sebenarnya siapa yang lebih tidak berperikemanusiaan antara PKI dan Angkatan Darat sebagai pelaku pembunuhan massal? Dapatkah disebut benar terbunuhnya petinggi AD tersebut dibalas serta merta dengan pembunuhan besar-besaran ratusan ribu warga sipil yang di cap simpatisan PKI? Telaah singkat tentang produksi sejarah 1965.
Tragedi yang berawal dari isu kudeta yang hendak dilancarkan PKI sebagai salah satu partai politik yang ada pada masa itu, berakibat pada perburuan dan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan satuan Angkatan Darat dibawah komando Pangkostrad Soeharto terhadap ratusan ribu masyarakat sipil aktivis PKI. Ditilik dari manapun, hal tersebut adalah sejarah hitam pembunuhan besar-besaran yang ada di Indonesia.
            Kenyataannya ketika berbicara menyoal peristiwa 1965 seakan-akan bangsa Indonesia begitu dibelokkan dari fakta sejarah yang sebenarnya. Produksi sejarah mengenai hal tersebut dihadapkan pada satu sisi, yaitu bahwa PKI adalah sebuah partai politik yang dapat mengancam  eksistensi negara indonesia dan merupakan partai politik yang kejam. Pembunuhan besar-besaran yang dilakukan secara bergelombang seakan tenggelam oleh program pemerintah untuk mencekoki masyarakat dengan menayangkan film buatan pemerintah yang memposisikan PKI sebagai pihak yang di kambing-hitamkan.
            Ditilik lebih dalam terdapat beberapa kejanggalan mengenai peristiwa 1965. Khususnya dari Angkatan Darat, satu hal yang masih patut dipertanyakan adalah mengapa komando penumpasan PKI berasal dari Soeharto dan bukan berasal dari Jenderal Ahmad Yani yang saat itu menjabat selaku panglima tinggi Angkatan Darat atau pada presiden Soekarno sekalipun. Di lain sisi PKI adalah partai politik yang merupakan partai sipil tetapi mengapa justru  Angkatan Darat yang sangat “bernafsu” untuk membasmi PKI, terbukti dari tokoh-tokoh kunci dalam gerakn tiga puluh september (G30S) yakni Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief dan Brigjen Soepardjo dari TNI-Angkatan Darat. PKI juga merupakan partai saingan yang mengalahkan partai besutan dari AD  dalam pemilu sebelumnya.
            Peristiwa G30S memang cepat menyebar keseluruh penjuru tanah air, namun ternyata surat kabar yang boleh beredar didominasi oleh surat kabar tertentu, khususnya harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.  Melalui koran-koran ini, dan melalui berbagai cerita yang beredar di masyarakat dikisahkan mengenai kekejaman PKI di Halim Perdana Kusuma, seperti pesta harum bunga, kisah pemotongan alat vital serta kisah pencungkilan mata yang sampai sekarang belum terbukti.  Kesemuanya itu masih menjadi misteri yang kabur untuk ditelusuri karena produksi sejarah yang ada terkesan tidak bisa di percaya. Menurut keterangan dari Brigjen TNI dr rubiono kertapati yang mngetuai tim dokter yang melakukan autopsi atas para korban menyatakan dalam laporan visum et repertum-nya bahwa tidak ada penyiksaan atas tubuh para korban.
 Sesungguhnya  tak banyak  yang mengerti bagaimana fakta sesungguhnya mengenai siapa yang bersalah dalam pembantaian kemanusiaan itu.  Produksi sejarah dan reproduksi ingatan akan hal itu seakan dikaburkan atau dibuat sedemikian rupa menurut kepentingan penguasa seperti banyak orang bilang sejarah masa itu bukan history melainkan his story, sejarah seperti yang penguasa inginkan.  Pemaksaan penayangan film wajib pada masa rezim soeharto digunakan sebagai media mencekoki masyarakat indonesia tentang betapa kejam PKI dan bahwasanya partai tersebut adalah dilarang dan terlarang eksistensinya, namun siapa yang ingat dan berani mengungkit-ungkit perburuan dan pembantaian ratusan ribu bahkan jutaan ativis PKI yang dilakukan TNI angkatan darat, seakan-akan kebenaran akan fakta tersebut berusaha dikubur dalam-dalam dan merusaha menyisakan kekejaman PKI saja.
Sudah saatnya sekarang pada masa reformasi ini dimana rezim diktatorial Soeharto telah tumbang sebagai waktu yang tepat bagi bangsa indonesia untuk kembali menyikapi keadaan sejarah yang telah jauh dibelokkan dan membuka mata agar tidak berlanjut adanya pelanggaran hak asasi manusia meskipun zaman telah berubah namun mantan tahanan politik dari masa lalu masih mendapat stigma buruk sebagai seorang PKI yang kejam dan tersisih dari pergaulan masyarakat.  Dalam hal ini andil pemerintah sangat besar untuk memulihkan kembali luka sejarah yang ada agar tidak lagi terjadi pelanggaran hak asasi yang berkelanjutan dikarenakan stigma masyarakat pada mantan tahanan politik  dan mantan aktivis PKI tersebut pada pelaku pembunuhan massal.  Selama hal itu belum dilakukan masing-masing pihak tidak akan bisa menyadari bahwasanya mereka adalah satu kesatuan bangsa indonesia yang seharusnya saling menghargai hak asasi manusia antar warganya.

Jumat, 15 Oktober 2010

PARADIGMA BERBEDA DUNIA


Sebuah kisah baru harus ditulis, sebagai bagian refleksi perjalanan hidup. Sebuah kisah yang diawali dari bentuk kekecewaan kepada seorang teman, kecewa ketika dia berkata “berikan kemampuanmu yang sebenarnya untuk mendidikku”. Kalimat yang tidak ingin kudengar, kalimat yang menjustifikasi bahwa ketidakmampuan adalah ulah para pendidik. Aku bukan pendidik yang mempunyai “SK” yang sudah resmi, aku hanyalah orang yang memfasilitasi. Pada akhirnya aku hanya berkata. “Ikuti aku”. Memulai induksi motorku, sebuah Vega ZR yang dibeli dari percampuran antara uang orang tuaku dan uang yang didapat diri sendiri, aku melaju, melaju menembus suhu yang dingin, dengan berbekal sorotan lampu yang dan sebatang Djarum super yang telah dinyalakan. Pada akhirnya kami tiba di sebuah lapangan, ya lapangan basket Soemardjito. Bermain Basket, itu yang aku lakukan dengan temanku. Permainan Basket yang mengajarkan cara belajar, permainan basket yang mengajarkan tentang langkah-langkah praksis. Bola Basket yang bundar harus dimasukkan ke keranjang Basket atau bahasa kerennya “ring” Basket. Hal yang terlihat mudah tapi ternyata sulit dilakukan, bahkan oleh diriku sekalipun. Sulit karena sudah berapa tahun diri ini tidak bermain basket, kurangnya latihan dan kurang peregangan itu yang aku rasakan. Keadaan ini kuceritakan kepada temanku yang mengatakan untuk mengeluarkan semua kemampuanku demi mengajarkannya. Pembelajaran yang harusnya dipetik oleh dirinya adalah semua teori bahkan dogma adalah percuma apabila tidak melakukan langkah praksis. Dan dirinya paham paradigma pembelajaran.
Berkendaraan kembali dengan Vega ZR yang sudah menemaniku hingga Bromo, hingga Jakarta dan kota lain yang telah kulewati bahkan sampai ke kaki gunung Sindoro-Sumbing, berkendaraan kembali untuk mencari kebutuhan utama manusia selain seksualitas, makan dan minum. Di perjalanan melihat lampu-lampu yang gemerlap, melihat tingkah manusia yang berdagang di pagi buta, masih dengan setia menunggu pelanggan yang entah akan dating lagi atau tidak. Sungguhpun kehidupan yang berat harus dilalui para pedagang ini, tidur kurang, untung tidak seberapa, belum lagi pungutan-pungutan yang mengatasnamakan retribusi. Tapi kami tidak berhenti di tempat makan yang berada di trotoar-trotoar jalan. kami berhenti di sebuah rumah makan berada di bilangan DKT atau lebih dikenal dengan rumah makan yang didekat rumah sakit Wijayakusuma. Masuk kami ke rumah makan, sedikit terkejut diri ini melihat muda-mudi dengan jenis kelamin yang berbeda bercengkrama, tertawa dan bermesraan dengan pakaian yang cenderung bagi masyarakat umum seronok, meinmbulkan nafsu seksual. Terkejut dan berpikir aku, dunia yang berbeda, dunia yang menempatkanku dalam sebuah keterasingan. Asing sekali dunia mereka bagi diriku, dunia dibawah sorotan lampu dalam ruangan yang gelap. Entah apa yang mereka rasakan saat dentuman musik keras mengalir, hingar binger dalam kegelapan, bergoyang badan. Itulah refleksi penampilan fisik mereka, mereka dikatakan mayoritas orang adalah buruk, tapi itu paradigma masyarakat secara umu, paradigma yang terbentuk dari kecenderungan mayoritas. Begitu pun aku aneh dimata mereka, membawa bola basket dini hari jam 4, membawa bola basket dengan keringat yang penuh dibadan, tapi bagiku dunia mereka maupun duniaku bisa dipahami apabila kita mau mengandaikan diri di posisi mereka.

Purwokerto, 15 Oktober 2010.
Angga Afriansha.AR

UNGKAPAN KEHENDAK UMUM : HUKUM?

Oleh :
ANGGA AFRIANSHA.AR
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto
d/a Kampus Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto
Jl. HR Boenyamin, Grendeng, Purwokerto



Terdapat tiga aspek teoritik dalam hukum yaitu filsafat  hukum, teori hukum, dan ilmu hukum. Filsafat hukum merupakan aspek teoritik yang paling tinggi dalam kehidupan hukum ini dikarenakan aspek kajian dari filsafat hukum berusaha membahas permasalahan hukum yang paling hakiki atau mendasar serta memberikan perenungan bijak terhadap landasan umum hukum.
Menurut Mr.G.Langgemeyer pengertian filsafat hukum adalah peninjauan secara filosofis dari soal-soal yang timbul karena sesuatu yang mungkin dimaksudkan oleh kita apabila kita membicarakan tentang hukum. Di lain pihak Gustav Radbruch menyatakan bahwa filsafat hukum adalah ajaran tentang hukum yang  benar. Selanjutnya Van Apeldoorn mengemukakan setidaknya ada 3 soal penting yang harus diselidiki oleh semua ahli filsafat huum, yakni; (I). Apakah ada sesuatu pengertian hukum yang berlaku umum; (II). Apakah yang merupakan dasar kekuatan mengikat dari hukum; (III). Apakah ada hukum alam.[1]
Ketiga soal yang diajukan Van Apeldoorn tersebut demikian pentingnya karena setidaknya dari jawaban soal tersebut akan di dapatkan sebua ciri yang universal dari hukum sehingga hukum dapat berlaku efektif, namun demikian mengenai ketiga soal tersebut telah banyak sekali pendapat yang berbeda-beda sehingga ciri universal dari hukum itu sendiri masih patut untu dipertanyakan hingga sekarang.
Meminjam pemikiran Zeno[2] yang mengatakan bahwa penderitaan, kebahagian adalah nasib yang harus diterima, pemikiran ini dilanjutkan dengan pengharapan dari Zeno yaitu andaikan saja para penegak hukum dan aparat keamanan melakukan kewajiban yang sudah digariskan oleh nasib mereka niscaya perusuh akan jera dan masyarakat akan baik, akan tetapi kebanyakan mereka tidak menghayati atau hidup demi nasib itu, mereka tidak sadar adanya perintah moral dari nasib.[3] Pandangan hukum sebagai perintah moral dari Zeno yang demikian sedikit berbeda dengan dasar mengikatnya hukum sebagai kajian ungkapan kehendak umum.
Hukum dikonstruksikan sebagai ungkapan kehendak umum (mayoritas) yang mana negara sebagai refleksi dari masyarakat secara umum menghendaki hukum sebagai konstruksi hak dan kewajiban antara negara dengan rakyatnya. Hukum yang isinya adalah hak dan kewajiban ini kemudian mengikat karena mayoritas warga menghendaki. Apabila ditinjau dari maraknya kata ”aliran sesat” yang dilontarkan kepada beberapa ajaran (ahmadiyah dan lainnya), boleh jadi memang benar hukum adalah ungkapan kehendak umum. Maksud tulisan ini adalah untuk memberikan pemahaman dasar mengikatnya hukum dari perspektif kehendak umum yang nantinya diharapkan dapat dijadikan pisau analisa untuk mengkaji fenomena sosial kemasyarakat di Indonesia.

A.    Hukum Sebagai Ungkapan Kehendak Umum
1.      JJ.Rousseau
Hukum substansinya berada di dunia moral manusia, sebuah entitas untuk menunjukan hal yang baik dan buruk. Hukum ini berada dalam dataran pengaturan yang terbentuk secara alamiah maupun atas prakarsa, hukum terbentuk akibat adanya kebutuhan untuk suatu hidup yang damai dan tertib. Berorientasi dengan tujuan hukum ini, Rousseau menyatakan bahwa hukum dan negara hanya dapat dipahami berdasarkan realitas dasar manusia, yaitu sebagai makhluk yang mempunyai otonomi etis atau bebas.
Otonomi manusia ditafsirkan bermakna bahwa norma hukum hanya akan memiliki kewajiban yang secara absah mengikat jika diciptakan dengan partisipasi bebas dari mereka yang tunduk kepadanya.[4] Partisipasi bebas manusia otonom yang kemudian menyatu dan menjadi kehendak kolektif atau kehendak umum, hanya dalam kerangka mandiri dan otonom dari manusia yang dikatakan sebagai indikasi dari kehendak umum (Volunté Généralé).
Menurut Rousseau kehendak umum ini perlu dipahami sebagai otoritas final dalam semua keputusa mengenai hukum dan demikian diberi pengertian yang sangat demokratis dan tidak terbatas, bedanya dengan pemikiran Kant kehendak umum ini tetap tunduk pada hukum umum alamiah dalam pengertian terbatas secara konstitusional.[5]
Pandangan penganut hukum sebagai ungkapan kehendak umum seperti Hooker, Locke, dan Montesquieu menempatkan hukum sebagai inti dari semua kehidupan sosial, sebuah masyarakat tanpa hukum pada akhirnya bukanlah masyarakat. Manusia itu terlahir dengan bebas, namun seiring berjalannya waktu ia terbelenggu.
Konsep sentral dari Rousseau adalah setiap warga negara mempunyai kehendak yang tetap dan terpatri sebagai konstitusi yang tidak tertulis, agaknya pemahaman Rousseau ini boleh ikatakan sebagai Volkgeist atau jiwa rakyat. Setiap warga negara pastinya mempunyai kehendak yang baikl akan hukum.
Aplikasi dari konsepsi Rousseau tersebut sangat sulit karena jika realita diselidiki, kehendak umum ini hanya dapat ada dalam masyarakat yang sifatnya homogen, dan ruang lingkup demokrasinya sangat kecil, ini menjadi problematika dari konsep yang ditawarkan Rousseau ini (kehendak umum berada pada posisi mengambang).

2.      Immanuel Kant
Problematika konsep kehendak umum yang mengambang seperti diungkapkan Rousseau berhasil dipecahkan oleh Kant dengan doktrin imperatif kategorisnya. Inti dari pemikiran Kant adalah adanya pemisahan yang jelas antara rasio teoritis dan rasio praktis dari hukum, ini disebabkan karena konsep hukum adalah konsep yang murni namun berorientasi pada praktik.
Immanuel Kant memisahkan dengan tegas antara kehendak umum yang dituangkan oleh legislator dan penerapan hukum oleh aparat hukum yang kemudian harus ada pentaatan oleh masyarakat. Orang hanya dapat membangun prinsip-prinsip umum saja, bukanlah sebuah sistem hukum yang utuh. Kant menyebut kontrak sosial adalah hasil dari daya nalar murni yang memungkinkan masyarakat dipahami, Kant tidak menyatakan harus ada perjanjian untuk menundukan masyarakat, namun secara tidak langsung masyarakat tunduk kepada prinsip hakiki dari hukum yang selanjutnya dituangkan dalam konstitusi.
Konstitusi yang dimaksudkan Kant adalah sebuah konstitusi murni yang menjamin hak dan kebabasan masyarakat secara individu, yang kemudian memilih wakilnya di pemerintahan. Wakil dari rakyat inilah yang memberi ungkapan kehendak umum dalam bentuk legislasi yang dibentuk seideal mungkin.
Hanya dengan adanya konstitusi maka wakil rakyat dapat membentuk undang-undang yang sepenuhnya mengikat individu, dengan demikian pemikiran Kant ini hampir sama dengan Rousseau yaitu hukum mengikat ketika kehendak umum diakomodir dalam peraturan perundang-undangan. Modifikasi dari Immanuel Kant terletak pada adanya perwakilan yang menjalankan kehendak umum masyarakat, dan perwakilan ini dibatasi secara konstitusional.

Referensi
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 2006. Pokok-pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Cetakan Ke-6. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Erwin, Rudy. 1979. Tanya Jawab Filsafat Hukum.cetakan Ke-3. Jakarta : Aksara Baru.
Friedrich, Carl Joahim.2008. Filsafat Hukum: Perspektif Historis. Cetakan Ke-2. Bandung : Nusamedia. Ed: Raisul Muttaqien.
Kelsen, Hans.2007.Teori Hukum Murni : Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung : Nusamedia. Ed : Raisul Muttaqien
Leyh, Gregory. 2008.Hermeneutika Hukum: Sejarah, Teori, dan Praktik. Bandung: Nusamedia. Ed: M.Khozim
Sudiarja, A.2003.Bayang-bayang. Yogyakarta : Galang Press.


[1] Rudy.T.Erwin. Tanya Jawab Filsafat Hukum Halaman 8
[2] Zeno lahir pada tahun 336 sebelum Masehi, berasal dari Siprus dan pendiri mazhab Stoa (Stoa Poikile)
[3] A.Sudiarja. Bayang-Bayang. Hal 43-48.: pemikiran Zeno ini boleh jadi merupakan sebuah perenungan dari harmoni dunia, dengan hipotesisnya yaitu apabila setiap orang menerima nasibnya dan sadar akan konsekuensi moral maka akan ada kebahagiaan, begitu juga dengan penegakan hukum, setiap orang dalam kehidupan hukum harus menerima dan menjalankan nasibnya dengan sungguh-sungguh. Pencuri sudah nasibnya untuk mencuri dan aparat hukum sudah nasibnya untuk menghukum pencuri itu.
[4] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2008, hal.154.
[5] Ibid…