Minggu, 06 April 2014

Hukum sebagai Social control dan Social enginering dalam Perspetif Otonomi Relatif Hukum



Oleh: Cipto Prayitno[1]


Hukum sebagaimana adalah gejala sosial yang ter-konstitusi akibat adanya masyarakat mempunyai fungsi. Fungsi yang demikian adalah merupakan hasil dari munculnya hukum didalam masyarakat (gejala sosial) yang memberikan kedudukan hukum didalam masyarakat. Salah satu fungsi hukum didalam masyarakat adalah hukum sebagai alat kontrol sosial (law as a tool of social control) atau yang selanjutnya disebut social control dan hukum sebagai alat perekayasa masyarakat (law as a tool of social enginering) atau yang selanjutnya disebut social enginering.

Fungsi Hukum sebagai Akibat Kedudukan Hukum didalam Masyarakat
Berbicara mengenai fungsi hukum baik hukum sebagai social control maupun hukum sebagai social enginering adalah tidak terlepas dari pembicaraan mengenai kedudukan dan hubungan hukum itu sendiri dengan masyarakat sebagai pengkonstitusi adanya hukum. Karena betapa-pun besar fungsi hukum didalam masyarakat, hukum sendiri tidak akan pernah ada jika tidak ada yang disebut masyarakat (masyarakat mengkonstitusi hukum), hal tersebut-pun diamini oleh Cicero dengan adagium-nya ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Sehingga dalam pembicaraan mengenai fungsi hukum disini akan selalu diakaitkan dengan masyarakat sebagai peng-konstitusi-nya.
Seperti telah dikemukakan diatas, mengenai fungsi hukum (baik hukum sebagai social control maupun hukum sebagai social enginering) didalam masyarakat sebenarnya adalah sebagai akibat adanya kedudukan hukum didalam masyarakat itu sendiri.
Lalu bagaimana sebenarnya kedudukan hukum didalam masyarakat?



Hukum sebagai Suprastruktur Sosial
Kerangka dasar akan jawaban pertanyaan tersebut diatas adalah menggunakan pemikiran Cicero yang talah mengemuka diawal, yang mana kedudukan hukum ada apabila sebelumnya telah ada masyarakat atau dengan kata lain bahwa masyarakat meng-konstitusi keberadaan hukum didalam masyarakat itu sendiri. Hal tersebut sama halnya dengan pembicaraan mengenai masyarakat oleh Karl Marx, dimana Marx menempatkan hukum sebagai suprastruktur sosial bukan sebagai basic struktur (sosio-ekonomi).[2]
Kedudukan yang demikian berpengaruh terhadap posisi saling berpengaruh antara hukum dan masyarakat itu sendiri. Dengan kenyataan bahwa hukum ada karena adanya masyarakat (masyarakat meg-konstitusi hukum), maka bentuk hukum yang ada didalam masyarakat adalah sebagaimana dari peng-konstitusinya (masyarakat), coraknya berdasarkan masyarakat pembentuknya, misalkan hukum didalam masyarakat agraris akan berbeda dengan hukum didalam masyarakat industri.
Namun, pembicaraan tersebut tidak berhenti sampai disitu. Dalam kenyataannya pula sekarang, didalam masyarakat yang bercorak agraris dan masyarakat bercorak industri berlaku adanya hukum positif negara yang entah bercorak apa, namun berbeda dengan corak hukum yang ada didalam masyarakat tersebut. Misalkan didalam masyarakat agraris dengan tipe sosial yang masih syarat adanya kekeluargaan dan hubungan saling percaya diantaranya malah berlaku adanya hukum positif negara yang bercorak tertulis dan mendasarkan hanya pada kepastian hukum semata (bertolak belakang dengan corak hukum masyarakat dengan tipe sosial agraris – hukum yang berlaku tidak tertulis).
Lalu bagaimana dengan konsistensi bahwa masyarakat meng-konstitusi hukum?



Otonomi Relatif[3] Hukum
Pandangan mengenai masyarakat mengkonstitusi hukum tidaklah boleh dilihat secara mekanistik, yang artinya selalu masyarakat berpengaruh terhadap corak hukum yang berlaku dimasyarakat. Dalam pandangan materialisme dialektis oleh Marx yang dikonstruksi ulang oleh Althusser[4], bahwa sekalipun realitas meng-konstitusi kesadaran namun kesadaran punya otonomi relatif untuk mempengaruhi realita yang meng-konstitusi-nya[5]. Dari kerangka dialektika yang demikian posisi hukum adalah sebagai kesadaran dan masyarakat adalah sebagai realitas yang men-konstitusi hukum (kesadaran). Yang artinya pula bahwa hukum punya otonomi relatif untuk mempengaruhi bagaiamana realitas masyarakat yang ada.
Atas dasar hal yang demikianlah muncul adanya hukum yang tertulis (hukum positif negara) didalam masyarakat yang agraris yang masih bercorak kekeluargaan dan saling percaya diantaranya.
Otonomi relatif tersebut juga-lah yang memberikan kedudukan didalam masyarakat untuk mempengaruhi keadaan masyarakat. Sehingga muncul adanya fungsi hukum sebagai social control dan social enginering akibat adanya kedudukan hukum yang relatif untuk mempengaruhi masyarakat.
Lalu sejauhmanakah fungsi hukum sebagai social control dan social enginering?

Hukum sebagai Sosial Control
Dalam pembicaraan mengenai fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial adalah dalam tahapan kedudukan hukum untuk melakukan pengedalian terhadap tingkah laku masyarakat didalam pergaulannya. Pengendalian social terjadi dalam tiga taraf yakni[6]:
1.      kelompok terhadap kelompok
2.      kelompok terhadap anggotanya
3.      pribadi terhadap pribadi
Yang artinya posisi hukum sebagai social control atau pengendali masyarakat adalah agar masyarakat dalam pergaulannya tetap dalam koridor yang telah ditentukan hukum sebelumnya. Ada indikator tertentu dalam hukum melakukan pengendalian terhadap masyarakat. Sehingga bentuk hukum yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat amat-lah menentukan bagaimana nantinya masyarakat sebagai realitas dapat melaksanakan aktivitas dalam pergaulan hidup.
Arti dari social control sendiri sebenarnya adalah mengatur tindakan masyarakat yang sekarang dan mungkin yang akan datang melihat dari kebiasaan (hukum) yang telah terjadi sebelumnya. Atau tingkah laku masyarakat yang sekarang dan mungkin yang akan datang dibatasi dengan hukum yang dirumuskan dari tingkah laku masyarakat sebelumya.
Dalam penjelasan yang demikian tidak memperlihatkan posisi yang sebenarnya dari pengaruh hukum terhadap masyarakat, hukum dalam konteks social enginering masih membicarakan peran masyarakat terhadap hukum yang ada, karena dalam perumusan hukum yang sekarang (hukum positif) tetap dipengaruhi oleh keadaan masyarakat yang ada.

Hukum sebagai Social enginering
Berbeda dengan konsop social control yang dalam perumusan hukum yang ada adalah akibat adanya tingkah laku masyarakat, namun didalam fungsi hukum sebagai social enginering posisi hukum yang ada bukanlah akibat dari keadaan realitas masyarakat yang ada sebelumnya atau sekarang, namun rumusan hukum yang nantinya digunakan untuk merekayasa (konteks mempengaruhi) masyarakat adalah bukan dari keadaan raelitas tingkah laku masyarakat tersebut. Dalam fungsi hukum sebagai social control menempatkan posisi hukum sebagai hal yang nantinya akan mempengaruhi masyarakat.
Titik tekan dari fungsi ini adalah adanya rekayasa masyarakat agar tingkah laku atau pola-pola yang ada didalam masyarakat sesuai dengan hukum yang akan digunakan untuk mempengaruhi masyarakat tersebut. Hal demikian muncul berdasarkan paendapat Satjpto Rahardjo sebagai akibat adanya anggapan bahwa kebiasaan, pola-pola dan tingkah laku yang ada didalam masyarakat perlu diubah dan digantikan dengan yang baru sesuai dengan apa yang nantinya akan dirumuskan didalam hukum tersebut.[7]
Pandangan mengenai fungsi hukum sebagai social enginering dan menganggap perlunya ada rekayasa sosial dengan dalih masyarakat telah usang wajar manakala tetap memperhatikan realita keadaan masyarakat yang akan diubahnya, atau dalam perumusan hukum yang akan digunakan sebagai alat perekayasa sosial melihat dari keadaan realitas masyarakat. Melihat sebatas apa perubahan yang harus dilakukan dan juga melihat situasi masyarakat yang akan diubahnya. Jangan sampai terjadi dalam perumusan yang tidak melihat realitas atau bahkan didasarkan pada pandangan teori Hans Kelsen mengenai pure of law yang meniadakan anasir-anasir politik, sosial, agama, budaya, ekonomi dan lainnya didalam masyarakat (karena dianggap sebagai pereduksi kedudukan hukum).[8] Karena jika demikian, maka yang terjadi adalah adanya pengingkaran terhadap pengaruh hukum terhadap peng-konstitusi-nya yaitu masyarakat yang hanya bersifat otonomi relatif. Dan bisa jadi jika hal tersebut tetap dilaksanakan artinya mengingkari otonomi relatif pengaruh hukum terhadap masyarakat, bukan tidak mungkin nantinya hukum sebagai alat perekayasa sosial dalam penerapannya bahkan ditentang oleh masyarakat yang akan diubahnya. Hal yang demikian dalam realitasnya banyak terjadi, semisal pertentangan antara hukum adat dan hukum nasional. Terjadinya pertentangan tersebut  muncul sebagai akibat adanya anggapan bahwa hukum yang ada didalam masyarakat dan pola tingkah laku didalam masyarakat harus mengikuti hukum positif nasional, dan juga adanya anggapan bahwa pengaruh hukum didalam masyarakat adalah tidak relatif, sehingga memunculkan pandangan yang  pure of law bahwa hukum yang akan diterapkan didalam masyarakat adalah harus dilepaskan dari anasir-anasir politik, sosial, agama, budaya, ekonomi dan lainnya didalam masyarakat.
Dengan demikian pandangan pengaruh hukum yang relatif terhadap pengkonstitusinya yaitu masyarakat adalah sebagai batasan dari berlakunya hukum yang ada didalam masyarakat. Tidak menjadi masalah adanya anggapan bahwa masyarakat harus diubah sesuai dengan hukumnya, namun dalam konteks yang relatif dan tidak boleh dibalik. Karena seperti telah mengemuka diatas bahwa sebesar apapun pengaruh hukum terhadap masyarakat, pengaruh yang demikian adalah pengaruh yang relatif (otonomi relatif) karena hukum ada didalam masyarakat adalah akibat adanya masyarakat yang meng-konstitusi-nya.


[1] Kepala Divisi Penelitian LKHS Periode 2013/2014.
[2] Martin Suryajaya dalam Problem Filsafat, Berfikir dengan Pendekatan Materialis Dialektis dan Historis, http://problemfilsafat.wordpress.com/2010/10/26/berpikir-dengan-pendekatan-materialisme-dialektis-dan-historis/, diakses pada 6 April 2014.
[3] Otonomi relatif adalah muncul sebagai akibat adanya Overdeterminasi hubungan timbal-balik antara basic dan suprastruktur, yaitu hubungan determinasi timbal-balik antara basic dan suprastruktur yang dirumuskan oleh Althusser berdasarkan teori kontradiksi Mao Tse-Tung. Disadur dalam Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme, Yogyakarta: Resist Book, 2011, hal. Xvi.
Dimana dalam konteks tulisan ini, hubungan antara realitas (masyarakat) yang meng-konstitusikan kesadaran (hukum) tidak searah semata, yaitu selalu masyarakat mempengaruhi hukum, namun hukum hanya mempunyai otonomi relatif untuk mempengaruhi masyarakat dalam tahapan tetap adanya masyarakat.
[4] Ibid., hal. 11.
[5] Dialektika Marx tersebut adalah kebalikan dari Dialektika Hegel (Idealisme). Ibid., hal. 57.
[6] Sumarno, Fungsi Hukum sebagai Social control dan Social enginering, http://gerakanmahasiswakini.blogspot.com/2011/12/fungsi-hukum-sebagai-control-social-dan.html, diakses pada 6 April 2014.
[7] Ibid.,
[8] Ida Sugiarti, Teori Hukum Murni, http://isugiarti.blogspot.com/2010/01/teori-hukum-murni-hans-kelsen1881-1973.html, diakses pada 6 April 2014.

Tidak ada komentar: