Selasa, 09 Oktober 2012

Mengembalikan Hakekat Manusia Sebagai Subyek Dalam Organisasi


Mengembalikan Hakekat Manusia Sebagai Subyek Dalam Organisasi[1]
Oleh :
Panji Mulkillah Ahmad[2]




Sesungguhnya jikalau ada seseorang melakukan suatu pekerjaan karena kecintaannya, rasa senang hatinya dan bukan karena sebuah paksaan, maka ia akan melakukan pekerjaan itu sama bahagianya dengan ia bermain” – Luthfi Kalbuadi

Avant Propos
Dari sebuah layar ponsel, tertampang kata-kata bertuliskan “Selamat pagi, besok seluruh pengurus rapat di Sekre jam 2 siang”. Usai membaca SMS tersebut, berkata dalam hati si pemilik ponsel, “Duh malesnya musti rapat, mana hari ini deadline-nya musti diserahin, pusiiiing”. Dalam hati pula ia bertutur, “Ikut organisasi kok gini-gini amat ya, capek, bete”. Pada akhirnya dapat kita tebak setidaknya ada dua kemungkinan kelanjutan daripada kisah ini. Yang pertama, si dia tidak datang rapat. Yang kedua, si dia datang rapat dengan terpaksa. Pernah merasa seperti ini? Atau pernah merasa ada seorang temanmu yang seperti ini? Hal seperti ini adalah hal yang wajar dalam dinamika organisasi. Namun kewajaran itu bukanlah suatu hal yang bisa begitu saja dimaklumkan, karena bagaimanapun juga ini adalah sebuah masalah. Yang mana masalah itu dianggap biasa sehingga menimbulkan persepsi bernama kewajaran. Padahal bila kita melihat lagi apa itu organisasi, pada intinya ialah sebuah alat bagi manusia, dan bukan malah manusia yang menjadi alat organisasi.

Pasak Pikiran Aksara : Manusia Dalam Organisasi
Tuntutan manusia untuk hidup bersama merupakan sebuah tuntutan kodrati. Yang bahkan oleh Aristoteles menuturkan bahwa manusia ialah zoon politicon, manusia adalah mahluk sosial yang mana selalu membutuhkan orang lain. Pada taraf kehidupan yang makin maju, manusia dalam hidup bersama membentuk suatu kelompok.  Oleh Hebert G. Hicks[3] menerangkan beberapa tujuan orang masuk sebagai anggota kelompok :
1.      Untuk memecahkan masalah, semisal ekonomi, militer, dan masalah-masalah lain
2.      Orang mungkin juga masuk kelompok karena kebutuhannya diterima dan mencegah kesepian dan kerenggangan. Keagamaan, famili, dan kelompok-kelompok lain sering membantu kebutuhan ini.
3.      Demikian kelompok juga dapat memberikan bantuan pada waktu orang menjumpai kesusahan
4.      Kelompok dapat memberikan tujuan dan nilai hidup yang lebih bernilai, norma, perilaku, dan kesetiaan kelompok
5.      Kelompok sosial, kerja dan bermacam-macam kelompok lainnya memberikan prestige, status, dan pengakuan
6.      Kelompok, dengan kehidupan mereka memberi orang kesempatan untuk memuaskan kebutuhannya untuk mengungkapkan perasaannya dan melakukan hubungan dengan berbagai cara
7.      Perasaan keamanan seseorang sering dimanfaatkan dari kelompok jika mereka mengurangi kecemasan orang dengan meberikan dukungan, pertahanan dan perasaan diikutsertakan.
8.      Kadang-kadang kelompok membantu memberikan terapi tatkala memecahkan masalah-masalah pribadi.
Salah satu macam kelompok yang dibahas saat ini ialah organisasi. Oleh Ernest Dale[4], organisasi didefinisikan sebagai suatu proses perencanaan yang berkaitan dengan hal menyusun, mengembangkan dan memelihara suatu struktur atau pola hubungan-hubungan kerja dari orang-orang dalam suatu badan usaha. Sedangkan menurut Dalton E. McFarland[5], organisasi adalah pola komunikasi yang kompleks dan hubungan-hubungan lain di dalam suatu kelompok manusia. Sederhananya, oleh Sutarto[6], organisasi didefinisikan sebagai sistem yang saling pengaruh antar orang dalam kelompok yang bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi ada 3 unsur fundamen dalam organisasi. Pertama, sekelompok manusia. Kedua, bekerjasama sebagai sistem. Ketiga, mencapai tujuan tertentu.
Bila ditarik sebuah garis lurus sebuah hubungan antara manusia sebagai organisasi, maka berdasarkan definisi diatas, manusia ialah berlaku sebagai subyek, sedangkan organisasi sebagai obyek. Sederhananya, manusia ialah pelaku, sedangkan organisasi ialah sebagai alat. Semisal ada seorang ingin melakukan pengembangan diri dalam bidang sepakbola, maka ia masuklah kedalam organisasi di bidang kesepakbolaan, yakni klub sepakbola. Dengan harapan, klub tersebut dapat menjadi sarana bagi dia melakukan pengembangan diri. Semisal lagi ada seorang ingin membuat lingkungan sekitar kelurahannya menjadi hijau lestari, maka ia mendirikan suatu kelompok berbentuk organisasi di bidang pelestarian lingkungan, katakanlah namanya Go Green Concervation. Dengan harapan, melalui organisasi tersebut dapat membuat lingkungan sekitar kelurahan menjadi hijau lestari, sesuai dengan keingingan si pendiri organisasi. Singkatnya, ada kesamaan kebutuhan/kepentingan antara suatu organisasi dengan seseorang. Pada asasnya seseorang hanya akan bersedia masuk ke dalam organisasi apabila kebutuhan organisasi dirasakan sama dengan kebutuhan orang itu.[7]


Adanya Disorientasi
Lantas bagaimana mungkin ada perasaan keterpaksaan dari seseorang ketika berproses dalam organisasi? Padahal pada asasnya organisasi sangat membantu bagi seseorang yang hendak mewujudkan kepentingannya. Analisis saya, keadaan seseorang yang demikian disebabkan karena adanya disorientasi organisasi. Yaitu adanya ketidaksamaan antara kepentingan individu dengan kepentingan organisasi.
Pada suatu kasus, ada saja seseorang yang “salah kamar”. Yaitu minat seseorang itu ternyata tidak sama dengan tujuan organisasi. Tujuan organisasi tersebut memang tidak dapat mengakomodir minat seseorang itu. Semisal ada orang yang memiliki minat pada bidang seni musik. Lalu ia memasuki organisasi di bidang pecinta alam. Harapannya untuk dapat mengembangkan diri dalam seni musik kemungkinan akan sirna di organisasi tersebut, karena memang organisasi tersebut tidak bergerak di bidang seni musik. Jika seseorang tersebut diteruskan berproses disana, maka yang ada ialah kekecewaan yang akhirnya akan menjalani organisasi dengan rasa terpaksa.
Disorientasi ini juga disebabkan oleh suatu hal. Menurut Firmanzah[8], ada dua karakteristik pemilih[9], yakni rasionalitas dan tradisionalitas. Rasionalitas menurutnya ialah tipe pemilih yang mengedepankan hal-hal yang dapat diukur, dipertanggungjawabkan, dibuktikan secara empiris dan logis. Semakin kalkutatif dan memaksimalisasi kepentingannya, semakin rasional pula individu tersebut. Sedangkan tradisionalitas ialah tipe pemilih yang mengedepankan hal-hal seperti figurisme, kultus, ikatan emosional, mitos, simbol, dan takhayul. Tradisionalitas sangat berkebalikan dengan rasionalitas. Tapi bukan berarti dua ciri ini merupakan pilihan yang mutlak. Artinya tidak ada yang seratur persen rasionalis dan begitu pula dengan tradisionalis, yang ada hanya kecenderungan. Kaitannya dengan permasalahan ini, menurut penulis perasaan keterpaksaan dari seseorang ketika berproses dalam organisasi disebabkan terlalu besarnya kecenderungan tradisionalitas seseorang.
Tradisionalitas, bagaimanapun memiliki kelemahan. Semisal pada figurisasi. Acapkali seseorang berproses di suatu organisasi karena figur tertentu yang membuat dirinya bertahan di organisasi tersebut. Namun bagaimana jadinya bila figur itu kelak tidak ada atau tidak lagi bisa memfigurkan diri? Karena dalam organisasi, figur tidaklah abadi, pasti kelak eranya bisa habis. Dampaknya ialah seseorang tersebut merasa kehilangan seorang figur, sehingga ia kehilangan “pegangan” dalam organisasi. Contoh lain juga pada ikatan emosional. Ketika seseorang merasa nyaman dalam organisasi, maka ia akan perjuangkan betul organisasi. Namun keadaan berbalik ketika ia merasa kecewa pada suatu organisasi, maka bukan tidak mungkin ia meninggalkan organisasinya. Rasa sakit pada sisi emosional ini merupakan luka psikis, yang mana tidak mudah dan tidak cepat pula untuk bisa menyembuhkannya.
Dalam hal ini penulis bukan berarti menolak segala bentuk tradisionalitas. Akan tetapi jika kita memandang suatu organisasi, tidak dapat dipungkiri kecenderungan terbesar ada di rasionalitas. Ferdinand Tonnies[10] mengklasifikasikan masyarakat menjadi dua, yakni Gemeinschaft dan Gesselschaft. Istilah lain dari Gemeinschaft ialah paguyuban, yang memiliki pengertian suatu bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Contohnya ikatan tetangga, keluarga, marga, dan lain sebagainya. Sedangkan Gesselschaft istilah lainnya ialah patembayan, yang memiliki pengertian suatu bentuk ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu pendek, bersifat sebagai bentuk dalam fikitan belaka (imaginary) serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Contohnya hubungan perdagangan, perusahaan, organisasi, dan lain sebagainya. Sisi rasionalitas organisasi, orientasi kepentingan, ikatan lahir, dan strukturalistik dalam organisasi ternyata membuat organisasi masuk pada kategori Gesselschaft. Dapat disimpulkan organisasi adalah masyarakat yang memiliki kecenderungan rasionalitas. Lain halnya dengan Gemeinschaft yang memiliki kecenderungan tradisionalitas.
Selain pada kecenderungan tradisionalitas seseorang, menurut penulis disorientasi ini juga disebabkan oleh tidak sadarnya seseorang terhadap tujuan organisasi. Simpelnya, bayangkan jika ada sebuah bis pariwisata yang berisi supir yang membawa seratus penumpang. Namun baik supir maupun penumpang tersebut tidak tahu hendak kemana tujuan wisata bis pariwisata tersebut. Apakah ke gunung, pantai, kota, ataupun desa. Yang terjadi ialah sebuah kebingungan, dan kebingungan membawa kesesatan.
Dampak dari disorientasi ini akan berimbas kepada organisasi dan individu yang bersangkutan. Bagi organisasi, hal ini akan menyebabkan tujuan organisasi tersebut dimungkinkan tidak tercapai. Bagi individunya, hal ini akan menyebabkan dimungkinkan tidak tercapainya kepentingan individu tersebut.


Perlunya Reposisi dan Edukasi
Reposisi berarti memposisikan kembali. Sedangkan edukasi berarti menyadarkan seseorang melalui pemberian pemahaman. Kedua hal ini menurut penulis ialah gagasan berupa solusi untuk menyembuhkan “penyakit” organisasi sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Solusi ini hanya bersifat teoritis sehingga mengenai mekanisme prakteknya dapat dikembangkan sendiri yang mana disesuaikan dengan organisasi yang bersangkutan. Karena penulis percaya bahwa tiap-tiap organisasi memiliki cara yang berbeda-beda untuk mengatasi permasalahannya.
Pada masalah “salah kamar” kita tidak dapat memaksakan seseorang untuk terus berproses dalam organisasi bila memang tidak ada kesamaan minat. Namun perlu menjadi catatan bahwa minat bukanlah satu-satunya alasan seseorang berproses di organisasi. Ada yang namanya potensi. Potensi ini bisa menjadi alasan untuk menyatakan bahwa seseorang tersebut harus dipertahankan dalam organisasi. Yang perlu dilakukan adalah meyakinkan orang itu dengan dasar potensinya, bahwa organisasi yang ia masuki ialah organisasi yang tepat untuk dia dapat terus berproses.
Sedangkan pada masalah kecenderungan tradisionalitas seseorang pada organisasi, dalam hal ini seseorang tersebut harus mulai berpola pikir lebih rasional. Gita Tri Ramdhani, salah seorang teman saya berkata bahwa organisasi itu dijalankan pakai otak, bukan pakai hati. Ada benarnya ucapan tersebut. Namun pemikiran yang rasional an sich pada perkembangan organisasi kekinian mendapat kritik besar. Yakni menurut  Firmanzah[11] rasionalitas memilik kelemahan dalam hubungan manusia yang bersifat relasional yang mana pada tingkat akut dapat menimbulkan alienasi/keterasingan kepada dirinya sendiri. Coba kembali kita ingat, bahwa antara tradisionalitas dan rasionalitas bukanlah suatu pilihan mutlak, yang ada hanya kecenderungan. Maka yang perlu dituju ialah kecenderungan rasionalitas seseorang haruslah lebih dominan ketimbang sisi tradisionalitasnya pada organisasi. Seminimal mungkin seimbang. Jangan sampai lebih besar tradisionalitasnya ketimbang rasionalitasnya. Karena tidak dapat dipungkiri, tradisionalitas memiliki keunggulan dalam hal kolektifitas. Sederhananya, menyadur perkataan teman saya yang bernama Eby Julies Onovia bahwa tujuan organisasi adalah fokus utama, sedangkan kekompakan adalah metode untuk mencapai fokus utama tersebut.
Mengenai masalah ketidaksadaran seseorang pada tujuan organisasi, hal ini perlu dilakukan suatu pemahaman kepada orang tersebut. Karena ketidaksadaran seseorang berkaitan erat dengan ketidakpahamannya. Hal ini senada dengan pendapat Paulo Freire bahwa dalam rangka memanusiakan manusia, penyadaran (conscientizacao) merupakan inti pendidikan[12].  Jadi, ketidaksadaran seseorang pada tujuan organisasi disebabkan karena ketidakpahaman, dan ketidakpahaman ini disebabkan karena tidak adanya proses transfer pemahaman (pendidikan) kepada seseorang yang tidak sadar pada tujuan organisasi itu tadi.  Pendidikan yang dilakukan untuk dapat menyadarkan seseorang tersebut harus dilakukan dengan metode dialog[13]. Dialog, dalam hal ini secara esensial didefinisikan Freire sebagai kata yang disusun oleh refleksi dan aksi[14]. Refleksi berarti menekankan pada kata, sedangkan aksi menekankan pada karya, yang mana kesatuan keduanya merupakan hal bersifat praksis[15].
Berikut ialah unsur-unsur dialog[16] :
1.      Dialog tidak dapat berlangsung, bagaimanapun, tanpa adanya rasa cinta, sehingga cinta sekaligus menjadi dasar dari dialog.
2.      Di pihak lain, dialog tidak dapat terjadi tanpa kerendahan hati.
3.      Dialog selanjutnya menuntut adanya keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia, keyakinan pada kemampuan untuk membuat dan membuat kembali, untuk mencipta dan mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya.
4.      Selain itu dialog juga tak dapat terjadi tanpa adanya harapan.
5.      Yang pada akhirnya dialog sejati tidak akan terwujud kecuali dengan melibatkan pemikiran kritis – pemikiran yang melibatkan suatu hubungan tak terpisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan dikotomi/pemisahan antara keduanya – pemikiran yang memandang realitas sebagai sebagai proses dan perubahan, bukannya entitas yang statis – pemikiran yang tidak memisahkan dirinya dari tindakan, tetapi senantiasa bergerumul dengan masalah-masalah keduniawian tanpa gentar menghadapi resiko.
Melalui pendidikan dialogis, diharapkan orang yang tidak sadar tadi menjadi sadar akan tujuan organisasinya. Lalu ia paham betul akan tujuan organisasinya. Lalu ia juga menjadi tahu dan juga dapat merancang bagaimana cara mewujudkan tujuan organisasinya itu, dan kemudian melaksanakannya. Yang pada intinya, manusia dikembalikan hakekatnya sebagai subyek dalam organisasi.

Penutup
Pada akhirnya, untuk dapat mengembalikan hakekat manusia sebagai subyek dalam organisasi, yang disebabkan oleh disorientasi tujuan seseorang pada organisasi dapat dilakukan dengan reposisi dan edukasi. Hari ini manusia secara tidak sadar menjadi alat bagi organisasi, bahasa jahatnya ialah manusia tersebut dalam keadaan tertindas. Maka mengembalikan hakekat manusia sebagai subyek dalam organisasi ialah sebuah keharusan bagi tiap-tiap insan yang bergerak dalam organisasi.


Sumber Pustaka
Firmanzah, Mengelola Partai Politik : Komunikasi Dan PositioningIdeologi Politik Di Era Demokrasi, Jakarta,   Buku Obor, 2011
Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta, Arruz Media, 2012
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1985
Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali press, 1990
Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, 1993, Yogyakarta, Gadjahmada University Press









[1] Essai ini dibuat dalam rangka iseng-iseng tidak berhadiah
[2] Mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed angkatan 2010. Saat ini aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Kajian Hukum dan Sosial sebagai Ketua Divisi Pengkaderan. Panji merupakan anak yang rajin beribadah, cerdas IQ, EQ, dan SQ-nya, ganteng, tidak mesum, baik hati,  pembela kaum tertindas, kalem, jujur, dermawan, rajin menabung, dan tidak sombong. Menyukai filsafat, politik, hukum tata negara, teologi, dan perempuan.
[3] Hebert G. Hicks, The Management of Organization : A System and Human Resources Approach, Tokyo, McGraw-Hill Kogakusha, 2nd, hlm 156, sebagaimana disadur dari buku Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, 1993, hlm 2
[4] Ernest Dale, Planning and Developing the Company organization Structure, 1952, hlm 17, sebagaimana disadur dari buku Ibid, hlm 25
[5] Dalton E. McFarland, Management : Principles and Practice, New York, McMillan Co, 1958, hlm 161m sebagaimana disadur dari buku Ibid, hlm 29
[6] Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, 1993, Yogyakarta, Gadjahmada University Press, hlm 40
[7] Ibid, hlm 6
[8] Firmanzah, Mengelola Partai Politik : Komunikasi Dan PositioningIdeologi Politik Di Era Demokrasi, Jakarta, Buku Obor, 2011, hlm 230,231,238,241,dan 246
[9] Dalam hal ini penulis menganalogikan dengan partai politik karena menurut penulis, karakteristik orientasi seseorang memasuki suatu organisasi tak ubahnya orientasi seseorang memilih suatu partai politik dalam pemilu. Yakni apakah suatu organisasi/partai itu akan menguntungkan dia, atau organisasi/partai itu dapat membuat dia nyaman
[10] Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali press, 1990, hlm 144
[11] Firmanzah, Op Cit, hlm 232
[12] Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta, Arruz Media, 2012, hlm 131
[13] Untuk dapat memahami secara mudah pendidikan dialogis, hal ini dapat dipahami sebagai kebalikan dari metode monologis, yakni “menggurui”, bahwa guru ialah sebagai satu-satunya pusat kebenaran. Pendidikan dialogis lebih menekankan kesetaraan antara pendidik dengan peserta didik.
[14] Ibid, hlm 137
[15] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1985, hlm 71
[16] Ibid, hlm 74-79

Tidak ada komentar: