Sebuah kisah baru harus ditulis, sebagai bagian refleksi perjalanan hidup. Sebuah kisah yang diawali dari bentuk kekecewaan kepada seorang teman, kecewa ketika dia berkata “berikan kemampuanmu yang sebenarnya untuk mendidikku”. Kalimat yang tidak ingin kudengar, kalimat yang menjustifikasi bahwa ketidakmampuan adalah ulah para pendidik. Aku bukan pendidik yang mempunyai “SK” yang sudah resmi, aku hanyalah orang yang memfasilitasi. Pada akhirnya aku hanya berkata. “Ikuti aku”. Memulai induksi motorku, sebuah Vega ZR yang dibeli dari percampuran antara uang orang tuaku dan uang yang didapat diri sendiri, aku melaju, melaju menembus suhu yang dingin, dengan berbekal sorotan lampu yang dan sebatang Djarum super yang telah dinyalakan. Pada akhirnya kami tiba di sebuah lapangan, ya lapangan basket Soemardjito. Bermain Basket, itu yang aku lakukan dengan temanku. Permainan Basket yang mengajarkan cara belajar, permainan basket yang mengajarkan tentang langkah-langkah praksis. Bola Basket yang bundar harus dimasukkan ke keranjang Basket atau bahasa kerennya “ring” Basket. Hal yang terlihat mudah tapi ternyata sulit dilakukan, bahkan oleh diriku sekalipun. Sulit karena sudah berapa tahun diri ini tidak bermain basket, kurangnya latihan dan kurang peregangan itu yang aku rasakan. Keadaan ini kuceritakan kepada temanku yang mengatakan untuk mengeluarkan semua kemampuanku demi mengajarkannya. Pembelajaran yang harusnya dipetik oleh dirinya adalah semua teori bahkan dogma adalah percuma apabila tidak melakukan langkah praksis. Dan dirinya paham paradigma pembelajaran.
Berkendaraan kembali dengan Vega ZR yang sudah menemaniku hingga Bromo, hingga Jakarta dan kota lain yang telah kulewati bahkan sampai ke kaki gunung Sindoro-Sumbing, berkendaraan kembali untuk mencari kebutuhan utama manusia selain seksualitas, makan dan minum. Di perjalanan melihat lampu-lampu yang gemerlap, melihat tingkah manusia yang berdagang di pagi buta, masih dengan setia menunggu pelanggan yang entah akan dating lagi atau tidak. Sungguhpun kehidupan yang berat harus dilalui para pedagang ini, tidur kurang, untung tidak seberapa, belum lagi pungutan-pungutan yang mengatasnamakan retribusi. Tapi kami tidak berhenti di tempat makan yang berada di trotoar-trotoar jalan. kami berhenti di sebuah rumah makan berada di bilangan DKT atau lebih dikenal dengan rumah makan yang didekat rumah sakit Wijayakusuma. Masuk kami ke rumah makan, sedikit terkejut diri ini melihat muda-mudi dengan jenis kelamin yang berbeda bercengkrama, tertawa dan bermesraan dengan pakaian yang cenderung bagi masyarakat umum seronok, meinmbulkan nafsu seksual. Terkejut dan berpikir aku, dunia yang berbeda, dunia yang menempatkanku dalam sebuah keterasingan. Asing sekali dunia mereka bagi diriku, dunia dibawah sorotan lampu dalam ruangan yang gelap. Entah apa yang mereka rasakan saat dentuman musik keras mengalir, hingar binger dalam kegelapan, bergoyang badan. Itulah refleksi penampilan fisik mereka, mereka dikatakan mayoritas orang adalah buruk, tapi itu paradigma masyarakat secara umu, paradigma yang terbentuk dari kecenderungan mayoritas. Begitu pun aku aneh dimata mereka, membawa bola basket dini hari jam 4, membawa bola basket dengan keringat yang penuh dibadan, tapi bagiku dunia mereka maupun duniaku bisa dipahami apabila kita mau mengandaikan diri di posisi mereka.
Purwokerto, 15 Oktober 2010.
Angga Afriansha.AR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar