Oleh : Dedi Purwanto
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Disiplin, kata ini dimaknai oleh banyak orang sebagai sebuah keadaaan dimana seseorang mentaati peraturan-peraturan yang berlaku secara umum, baik resmi atau pun tidak. Disiplin juga merupakan akar dari sebuah kesuksesan, setidaknya itulah jargon-jargon yang sering terlontar di masyarakat pada umumnya. Namun, apabila sedang membahas mengenai disiplin pegawai negeri sipil, muncul permasalahan-permasalahan yang sebenarnya hal klise; tidak tepat waktu; bolos (sering tidak masuk kerja); bahkan melakukan tindak pidana tertentu yang sifatnya penyalahgunaan wewenang.
Terhadap disiplin pegawai negeri sipil, Marsono mengatakan Pegawai negeri yang sempurna adalah pegawai negeri yang penuh kesetiaan pada Pancasila, Undang – Undang Dasar 1945 dan pemerintah serta bersatu padu, bermental baik, berdisiplin tinggi, berwibawa, berdaya guna, berkualitas tinggi dan sadar akan tanggung jawab sebagai unsur pertama aparatur negara.[1] Konsep pegawai negeri yang sempurna sebagaimana dikatakan Marsono tersebut pada saat ini ditinjau dari realitas yang ada (meskipun berupa asumsi) tidaklah berlaku. Pada saat ini Pegawai Negeri Sipil kerja santai, pulang cepat dan mempersulit urusan serta identik dengan sebuah adagium “mengapa harus dipermudah apabila dapat dipersulit.” Gambaran umum tersebut sudah sedemikian melekatnya dalam benak publik di Indonesia sehingga banyak kalangan yang berasumsi bahwa perbedaan antara dunia preman dengan birokrasi hanya terletak pada pakaian dinas saja.[2]
Ilustrasi yang demikian sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelumnya merupakan hal yang lumrah terjadi mengingat aturan hukum yang mengatur tentang disiplin pegawai negeri sipil pun tidak/belum tentu dipahami bahkan cenderung sengaja dilupakan baik oleh pejabat tingkat atas maupun pegawai negeri sipil pada tingkat bawah. Peraturan disiplin pegawai negeri sipil yang berlaku pada saat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 disebutkan bahwa :
Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 tersebut, terdapat beberapa unsur yang harus diperhatikan yaitu; unsur kesanggupan; mentaati kewajiban; menghindari larangan. Unsur tersebut pada dasarnya merupakan sebuah hubungan hukum antara pemerintah (negara) dengan Pegawai Negeri Sipil, unsur mana dalam system hukum perjanjian dikenal sebagai perikatan. Secara artikulasi,kata kesanggupan mengandung pengertian dari adanya kesepakatan yang diberikan oleh PNS kepada pemerintah, dengan demikian ada perjanjian. Artinya disiplin PNS merupakan sebuah perjanjian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah disiplin pegawai negeri sipil ditinjau dari sistem hukum perjanjian?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Hukum Perjanjian
Kata “sistem” berasal dari bahasa Latin “system” atau bahasa Yunani “systema”, yang berarti suatu totalitas himpunan bagian-bagian atau sub-sub sistem yang satu sama lain berinteraksi dan bersama-sama beroperasi mencapai suatu tujuan tertentu di dalam suatu lingkungan.[3] Penggunaan pendekatan sistem bukan merupakan hal baru dalam ilmu pengetahuan melainkan telah dipergunakan sejak masa kejayaan Romawi, Menenius Agrippa, pada masa kejayaan Romawi telah menggunakan pendekatan itu untuk menjelaskan esensi suatu negara, menurut Agrippa;
…The state, like a living body, is a whole; and just as the parts of the body are interrelated and require each other’s presence, so with the various strata of society.[4]
Pengertian dan pemahaman yang demikian mengindikasikan bahwa substansinya negara merupakan sebuah sistem dan demikian juga dengan hukum. Menurut Bos, ilmu hukum tidak melihat hukum sebagai suatu chaos atau “mass of rules”, tetapi melihatnya sebagai suatu “structured whole atau sistem”.[5]
Wiener mendefinisikan hukum sebagai suatu pengawasan perilaku (Ethical Control) yang diterapkan terhadap sistem komunikasi. Wujud hukum adalah norma dan norma itu merupakan produk dari suatu pusat kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk menciptakan dan merapkan hukum. Wiener juga memandang hukum sebagai suatu kontrol searah yang dilakukan oleh suatu central Organ yang memiliki kekuasaan terhadap sistem komunikasi. Kontrol searah itu mengandung pengertian bahwa kontrol itu hanya berlangsung dari suatu organ tertentu yang diberi kapasitas dan fungsi untuk itu.[6] Di Indonesia Central Organ yang diberi kewenangan dan fungsi untuk melaksanakan kontrol searah terhadap hukum adalah lembaga penegak hukum, dan organ yang berwenang untuk menciptakan hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 adalah lembaga legislatif dan eksekutif.
Scholten berpendapat bahwa hukum itu merupakan sistem terbuka, karena berisi peraturan-peraturan hukum yang sifatnya tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap.[7] Dalam hukum seringkali terdapat istilah-istilah yang memungkinkan untuk diadakannya penafsiran lebih lanjut guna mengikuti perkembangan nilai-nilai kehidupan, seperti istilah “perbuatan melawan hukum”, “iktikad baik”, “norma kesusilaan” dan sebagainya. Terbukanya sistem hukum dapat dicontohkan dengan sistem hukum perjanjian karena pada substansinya Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya yang mana ketentuan pasal tersebut mengandung asas kebebasan berkontrak dan asas Pacta Sunt Servanda. Meskipun sistem hukum dikatakan bersifat terbuka akan tetapi tetap saja terdapat sistem hukum yang bersifat tertutup dalam arti tidak ada kebebasan untuk pembentukan hukum baru didalamnya seperti dalam hukum keluarga dan hukum benda.
Sistem hukum perjanjian menunjuk pada seperangkat kaidah hukum perjanjian yang berlaku secara umum maupun yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sistem hukum perjanjian meliputi pada dasarnya adalah adanya kesepakatan, yang mana secara teoritis melahirkan perikatan. Artinya adanya kesanggupan mengikatkan diri antara satu pihak dengan pihak lain.
B. Disiplin PNS Sebagai Suatu Perjanjian
Kajian disiplin PNS sebagai suatu perjanjian merupakan sebuah ilustrasi dimana seorang Pegawai Negeri Sipil memberikan kesanggupannya untuk menundukkan diri terhadap peraturan-peraturan hukum yang berlaku secara umum maupun peraturan khusus kepegawaian. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010 menyatakan bahwa disiplin pegawai negeri sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.
Kajian yang pertama adalah penggunaan kata kesanggupan dalam peraturan pemerintah tersebut di atas. Janji adalah kesanggupan subjek hukum untuk mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi (berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu). Berarti di sini, pegawai negeri sipil mengikatkan dirinya untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yaitu mentaati kewajiban dan menghindari larangan. Prestasi utamanya adalah melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu.
Syarat sah perjanjian yang pertama dan tentunya yang utama adalah adanya kesepakatan. Kesepakatan merupakan pertemuan dua kehendak.[8] Secara literal, disiplin pegawai negeri sipil mensyaratkan adanya pertemuan kehendak antara pemerintah dengan pegawai negeri sipil. Yang mana kehendaknya ini dinyatakan sebagai hak dan kewajiban yang menjadi pokok perjanjian. Konsep perjanjiannya adalah perjanjian yang sifatnya konsensuil (dengan kesanggupan saja sudah menimbulkan perjanjian), namun demikian terhadap disiplin PNS ini, terdapat aturan yang sifatnya mengikat dan tidak dapat disimpangi (Dwingend Recht). Klausul-klausul dalam janji disiplin pegawai negeri sipil ini merupakan klausul yang ditambahkan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian hanya konsep kesepakatan saja yang masuk dalam ranah sistem hukum perjanjian.
Kesepakatan yang diberikan oleh Pegawai Negeri Sipil tidaklah boleh dikarenakan adanya paksaan, artinya harus diberikan dengan sukarela dan bertimbal balik. Timbal balik dari kesanggupan untuk berdisiplin oleh PNS adalah bahwa pemerintah di sini akan memenuhi kewajibannya terhadap si Pegawai Negeri Sipil dan tentu menjauhkannya dari hukuman disiplin sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.53 Tahun 2010.
Kesepakatan yang diberikan oleh PNS sebagaimana diatur dalam Pasal 3 angka 1 adalah dengan mengucapkan sumpah/janji, yang mana sumpah/janji tersebut pada intinya adalah melaksanakan kewajiban dan tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan disiplin PNS secara khusus.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan didapat simpulan sebagai berikut :
Bahwa sebenarnya konsep disiplin pegawai negeri sipil adalah sebuah perpaduan konsep antara hukum public dan hukum privat yang mana konsep hukum publiknya adalah ketentuan disiplin PNS merupakan ketentuan yang sifatnya mengikat dan konsep hukum privatnya adalah karena disiplin pegawai negeri sipil merupakan perjanjian antara pemerintah dengan Pegawai Negeri Sipil.
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Literatur
Marsono.1974. Pembahasan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok – Pokok Kepegawaian. Jakarta ; PT. Ikhtiar Baru
Kristian Widya Wicaksono.2006.Administrasi dan Birokrasi Pemerintah. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu
Onong Uchjana Effendy, 1989, Kamus Komunikasi, Bandung : CV. Mandar Maju,
Lili Rasjidi, I.B Wyasa Putra.2003.Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung : Mandar Maju
Sudikno Mertokusumo, 1995, Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty.
J.Satrio.Hukum Perikatan : Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. Bandung : Citra Aditya Bhakti.
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
[1] Marsono ; Pembahasan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974
Tentang Pokok – Pokok Kepegawaian ; (Jakarta ; PT. Ikhtiar Baru ; 1974 ) ; hal. 66
[2] Kristian Widya Wicaksono ; Administrasi dan Birokrasi Pemerintah ; (Yogyakarta ;
Penerbit Graha Ilmu ; 2006) ; halaman 7.
[3] Onong Uchjana Effendy, 1989, Kamus Komunikasi, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm.353.
[4] Lili Rasjidi, I.B Wyasa Putra.Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung : Mandar Maju,2003). Hal.18.
[5] Sudikno Mertokusumo, 1995, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 115.
[6] Lili Rajidi, I.B Wyasa Putra.Op.cit. hal.137.
[7] Sudikno Mertokusumo, 1995, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm.117
[8] Lihat : J.Satrio.Hukum Perikatan : Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian (Bandung : Citra Aditya Bhakti,1996).hal.176.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar