Oleh:
Delia Kartiyani
Perjanjian kawin adalah perjanjian
yang dibuat oleh pria dan wanita sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka,
perjanjian kawin ini untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut
harta kekayaan. Perjanjian kawin lebih bersifat hukum kekeluargaan.
Menurut ketentuan pasal 147 B.W,
perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris dan harus dibuat pada saat
sebelum perkawinan dilangsungkan. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
perjanjian kawin itu batal. Dengan kata lain, akta notaris ini adalah syarat
mutlak tentang adanya perjanjian kawin.
Menurut pasal 147 ayat 2 B.W.,
perjanjian kawin mulai berlaku saat dilangsungkannya perkawinan dan tidak boleh
ditentukan waktu yang lain. Maksudnya adalah, agar selama perkawinan tersebut,
hanya mungkin berlaku satu keadaan mengenai harta perkawinan suami isteri.
Pasal 154 B.W. menentukan bahwa
perjanjian kawin, seperti hadiah-hadiah karena perkawinan, tidak akan berlaku
(gugur) bila tidak diikuti dengan suatu perkawinan. Ketentuan pasal ini
ditafsirkan bahwa perjanjian kawin itu gugur (tidak berlaku) bila calon suami
isteri yang bersangkutan tidak jadi melangsungkan perkawinannya.
Bentuk perjanjian kawin:
1.
Persatuan
Untung Rugi
Persatuan
seperti ini dapat diadakan dengan 2 cara, yaitu:
a. perjanjian
kawin dengan kebersamaan untung rugi terjadi bila calon suami istri menyatakan
dengan tegas bahwa mereka menghendaki bentuk perjanjian kawin itu dalam akta
perjanjian kawin. (pasal 155 B.W)
b. dengan
memperjanjikan bahwa calon suami isteri meniadakan kebersamaan harta kekayaan
(pasal 144 B.W)
Menurut
Pitlo, pengertian untung rugi dapat digunakan dalam dua arti, yaitu:
a. saldo
(sisa) yang ada pada akhir perkawinan mereka
b. keuntungan
(winst) berupa semua aktiva. Sedangkan kerugian (verlies) adalah semua pasiva.
Harta
pribadi milik suami atau isteri bukan termasuk katogeri untung rugi. Dalam
pasal 157 B.W dimasukkan kedalam keuntungan karena ada tambahan harta kekayaan
suami isteri selama perkawinan yang disebabkan oleh:
a. hasil
harta kekayaan mereka: sewa rumah, bunga uang, deviden, saham, dsb. Serta
pendapatan mereka masing-masing sebagai hasil usaha dan kerajinan mereka.
b. Tabungan
pendapatan-pendapatan yang tidak terhabiskan, yang telah dikurangi dengan berbagaipengeluaran.
2.
Penentuan
Hasil dan Pendapatan
Ketentuan ini menentukan bahwa antara
suami dan isteri hanya akan ada kebersamaan hasil dan pendapatan, sehingga
tidak ada kebersamaan bulat dan tidak ada pula kebersamaan untung rugi.
Dalam hal ini ada 3 jenis harta
kekayaan:
a.
harta
pribadi suami
b.
harta
pribadi isteri
c.
harta
persatuan
Mengenai kebersamaan hasil dan
pendapatan ini, apabila kebersamaan tersebut menunjukkan kerugian maka si suami
lah yang bertanggung jawab, istri tidak turut bertanggungjawab. Bila kebersamaan
ini menimbulkan keuntungan, maka keuntungan akan dibagi dua antara suami dan
isteri.
Referensi:
Prof. Ali Afandi, S.H., 1984, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), PT. Bina Aksara, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar