Sabtu, 11 November 2017

Perjanjian Kawin

Oleh:
Delia Kartiyani

            Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh pria dan wanita sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, perjanjian kawin ini untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan. Perjanjian kawin lebih bersifat hukum kekeluargaan.
            Menurut ketentuan pasal 147 B.W, perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris dan harus dibuat pada saat sebelum perkawinan dilangsungkan. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian kawin itu batal. Dengan kata lain, akta notaris ini adalah syarat mutlak tentang adanya perjanjian kawin.
            Menurut pasal 147 ayat 2 B.W., perjanjian kawin mulai berlaku saat dilangsungkannya perkawinan dan tidak boleh ditentukan waktu yang lain. Maksudnya adalah, agar selama perkawinan tersebut, hanya mungkin berlaku satu keadaan mengenai harta perkawinan suami isteri.
            Pasal 154 B.W. menentukan bahwa perjanjian kawin, seperti hadiah-hadiah karena perkawinan, tidak akan berlaku (gugur) bila tidak diikuti dengan suatu perkawinan. Ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa perjanjian kawin itu gugur (tidak berlaku) bila calon suami isteri yang bersangkutan tidak jadi melangsungkan perkawinannya.
            Bentuk perjanjian kawin:
1.      Persatuan Untung Rugi
Persatuan seperti ini dapat diadakan dengan 2 cara, yaitu:
a.  perjanjian kawin dengan kebersamaan untung rugi terjadi bila calon suami istri menyatakan dengan tegas bahwa mereka menghendaki bentuk perjanjian kawin itu dalam akta perjanjian kawin. (pasal 155 B.W)
b.    dengan memperjanjikan bahwa calon suami isteri meniadakan kebersamaan harta kekayaan (pasal 144 B.W)

Menurut Pitlo, pengertian untung rugi dapat digunakan dalam dua arti, yaitu:
a.      saldo (sisa) yang ada pada akhir perkawinan mereka
b.  keuntungan (winst) berupa semua aktiva. Sedangkan kerugian (verlies) adalah semua pasiva.

Harta pribadi milik suami atau isteri bukan termasuk katogeri untung rugi. Dalam pasal 157 B.W dimasukkan kedalam keuntungan karena ada tambahan harta kekayaan suami isteri selama perkawinan yang disebabkan oleh:
a.  hasil harta kekayaan mereka: sewa rumah, bunga uang, deviden, saham, dsb. Serta pendapatan mereka masing-masing sebagai hasil usaha dan kerajinan mereka.
b.  Tabungan pendapatan-pendapatan yang tidak terhabiskan, yang telah dikurangi dengan berbagaipengeluaran.

2.      Penentuan Hasil dan Pendapatan
Ketentuan ini menentukan bahwa antara suami dan isteri hanya akan ada kebersamaan hasil dan pendapatan, sehingga tidak ada kebersamaan bulat dan tidak ada pula kebersamaan untung rugi.
Dalam hal ini ada 3 jenis harta kekayaan:
a.       harta pribadi suami
b.      harta pribadi isteri
c.       harta persatuan
Mengenai kebersamaan hasil dan pendapatan ini, apabila kebersamaan tersebut menunjukkan kerugian maka si suami lah yang bertanggung jawab, istri tidak turut bertanggungjawab. Bila kebersamaan ini menimbulkan keuntungan, maka keuntungan akan dibagi dua antara suami dan isteri.


Referensi: Prof. Ali Afandi, S.H., 1984, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), PT. Bina Aksara, Jakarta

Tidak ada komentar: