Oleh: Cipto Prayitno
Kepala Divisi Penelitian Lembaga Kajian Hukum dan Sosial Periode 2013/2014 FH Unsoed
“Ubi Societas
ibi ius”(Cicero)
Pembicaraan dalam tulisan ini ada dimulai dari kita
membahas mengenai hukum secara esensial yang oleh Cicero disederhanakan dalam
adagiumnya yaitu ubi societas ibi ius (dimana
ada masyarakat disitu ada hukum).
Hukum Masyarakat
Masyarakatlah yang menjadi awal penentu kehadiran
hukum sebagai alat ketertiban sosial.[1]
Pandangan ini dapat dibenarkan ketika secara ringkas kita misalkan dalam hutan
hidup seorang manusia saja kita anggap A, entah apa yang akan ia perbuat dan ia
lakukan adalah menjadi hal yang tidak dipermasalahkan karena memang tidak ada
individu lain didalam hutan tersebut. Namun berbeda halnya ketika telah muncul
manusia lain kita angap B didalam hutan tersebut yang mengawali kemunculan
masyarakat dengan segala permasalahannya, maka jelaslah manusia pertama A dan B
akan melakukan interaksinya sesuai dengan kebutuhan mereka, dan yang semula A
dapat berbuat seenaknya dan semaunya dengan kehadiran B, A tidak akan bisa
berbuat semaunya dan seenaknya karena kebebasan yang dimiliki oleh A akan
selalu berbenturan dengan kebebasan yang dimiliki oleh B. Nah, posisi disinilah
muncul hukum yang akan mengatur hubungan antara A dan B agar ada ketertiban
dalam hubungan sosial mereka. Jelaslah hukum yang ada dalam hubungan sosial
antara A dan B adalah hukum yang muncul atas kehendak sadar atau tidak sadar A
dan B dengan berdasarkan kesepakatan yang baik sadar maupun tidak mereka
sepakati (kesepakatan dalam penentuan hukum antara A dan B adalah bentuk
keadilan dlam hukum A dan B).
Perkembangan hubungan sosial antara A dan B pun
menjadikan hukum yang digunakan untuk mengatur antara A dan B pun akan
berkembang menyesuaikan dengan kondisi hubungan A dan B. Misal pada awal
pergaulan A dan B adalah pergaulan layaknya masyarakat yang bersifat
tradisional dengan permisalan A dan B adalah petani tradisional, maka hukum
yang ada pun adalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan petani yang
tradisional pula (bukan hukum nelayan ataupun hukum industri, karena A dan B
tidak bekerja dalam bidang tersebut). Namun dengan berkembangannya pemikiran
mereka, yang awalnya hanya petani tradisional dengan bekerja menggunakan
alat-alat manual menjadi petani modern dengan alat-alat yang modern pula, maka
hukum yang ada-pun akan berkembang menjadi hukum yang bersifat modern dengan
tetap mengatur hubungan pertanian antara A dan B. Perkembangan hukum yang
muncul seiring dengan perkembangan hubungan sosial antara A dan B pun adalah
hukum yang oleh A dan B kehendaki sadar atau tidak.
Perkembangan hukum didalam masyarakat sangat
terpengaruh oleh bagaimana keadaan atau kondisi sosial masyarakatnya, konstruksi
tersebut berakar pada hubungan individu satu dengan individu lainnya yang
mempengaruhi hukum yang berasal. Sehingga konstruksi hukum adalah bermula pada
kesepakatan (sadar atau tidak sadar) antara individu satu dengan individu
lainnya atau kesepakatan masyarakat (dalam konteks yang lebih luas). Dengan
munculnya kesepakatan tersebut baik dengan sadar ataupun tidak menandai telah
muncul adanya hukum didalam masyarakat tersebut. Ketika hukum yang ada adalah
tidak berawal dari sebuah keseapakatan, maka yang terjadi adalah pemaksaan
dengan kekuasaan hukum sepihak. Misal A membuat hukum AB dengan tanpa
kesepakatan B, maka A dalam menerapkan hukum ke B adalah sebagai sebuah
pemaksaan hukum atau penindasan hukum.
Yang selanjutnya setelah ada konstruksi kesepakatan
dan terbentuk hukum, maka yang selanjut muncul adalah kekuasaan hukum. Dimana
hukum punya kekuasaan untuk membatasi tindakan para individu didalam masyarakat
yang terikat oleh hukum tersebut. Kekuasaan yang dipaksakan kepada salah satu
anggota atau individu ketika ada pelanggaran hukum, tidak bisa dianggap sebagai
penindasan atau pemaksaaan. Karena kekuasaannya pun berasal dari kesepakatan individu tersebut
dengan masyarakat lainnya.
Demikianlah yang penulis maksud sebagai hukum yang
esensial yang memang muncul dalam kehidupan masyarakat(selanjutnya disebut
sebagai hukum masyarakat, dengan tahapan kesepakatan à hukum à kekuasaan hukum untuk menerapkan hukum) dan yang
selanjutnya akan digunakan sebagai landasan berpikir dalam perdebatan
selanjutnya.
Intervensi
Negara dalam Masyarakat
Hubungan masyarakat yang secara sederhana dalam
tulisan ini digambarkan dalam hubungan A dan B telah mempengaruhi corak hukum
dalam masyarakat tersebut. A dan B yang akan semakin berkembang dalam hal
kehidupan sosialnya akan terus mempengaruhi hukum yang ada dalam kehidupan
masyarakat A dan B. Hingga pada akhirnya muncul suatu lembaga yang disebut
sebagai negara, yang melalukan intervensi dalam kehidupan pegaulan individu dengan individu dalam masyarakat dan hubungan antar
masyarakat.
Kemunculan
negara[2]
sebagai bentuk intervensi dalam masyarakat ada dua kemungkinan, yang pertama
adalah negara yang dikehendaki oleh beberapa kelompok masyarakat itu sendiri
sebagai lembaga yang akan digunakan untuk mengatur hubungan individu satu
dengan individu lain dalam masyarakat dan mengatur hubungan antar masyarakat
didalam negara tersebut. Yang kedua adalah negara dengan kemunculannya tanpa
kehendak dari beberapa kelompok masyarakat, semisal negara dengan bentuk
monarki absolut. Dengan kekuatannya, orang yang nantinya aka memimpin melakukan
sebuah tindakan penjajahan dengan kekuatannya untuk memaksakan kepada masyarakat
hingga akhirnya terciptalah sebuah negara yang tidak dikehendaki oleh beberapa
kelompok masyarakat tersebut.
Munculnya Hukum Positif
Negara
Terkait dengan hubungan antara masyarakat dan negara
dalam hal ini juga ternyata ada sebuah hukum yang mengatur didalamnya yang kita
sebut sebagai hukum negara atau hukum positif dalam sebuah negara, yang mana
ini senyatanya digunakan untuk mengatur hubungan individu dengan individu
didalam masyarakat dan antar masyarakat didalam negara dan hubungan masyarakat
dengan negara pula. Sebagaimana kemunculan hukum yang telah dibahas diatas
(yang berawal dari adanya hubungan masyarakat atau dua individu atau lebih),
maka seharusnya pula hukum sebagai pengatur hubungan didalam kehidupan
bernegara berawal dari kehendak negara dan kehendak masyarakat yang nantinya
akan mencerminkan keadilan. Yang artinya pula seharusnya dalam penetuan hukum negara
ini adalah berangkat dari hubungan sosial antara negara dan masyarakat (gejala
sosial) baik secara sadar atau tidak sadar yang juga hukum ini adalah
dikehendaki oleh negara dan masyarakat.[3]
Yang artinya pula kedudukan antara negara dan masyarakat harus mempunyai
kedudukan yang sama dan tidak saling menindas, agar hukum yang tercipta
bukanlah sebuah bentuk hukum yang menindas dan dikehendaki oleh kedua belah
pihak (negara dan masyarakat).
Namun dalam kenyataannya negara selalu mempunyai
kedudukan dan kekuatan yang lebih besar dari pada masyarakatnya. Sehingga
sangat mungkin terjadi penindasan hukum oleh negara terhadap masyarakat yaitu
adanya pemaksaan kehendak negara
terhadap kehendak masyarakat untuk mengikuti hukum yang telah dibuat secara sepihak
oleh negara dengan tujuan mempertahankan status
quo negara terhadap masyarakat. Hal inil adalah pengingkaran terhadap
esensi hukum yang telah dibahas diatas, yaitu hukum berasal dari kesepakatan
(sadar atau tidak sadar).
Penindasan Hukum
Negara oleh Legitimasi Negara terhadap Hukum Masyarakat
Dianggap sebagai sebuah penindasan hukum oleh negara
terhadap masyarakat karena hukum yang dibuat secara sepihak oleh negara tanpa
ada kesepakatan dengan masyarakat memaksakan kehendaknya terhadap hukum yang
ada didalam masyarakat. Hukum masyarakat Madura misalnya, untuk tetap
mempertahankan harga diri dan kewibawaannya masyarakat hukum setempat melakukan
upaya carok (atau duel sampai ada
yang mati). Keadaan hukum yang seperti ini adalah keadaan dimana hukum yang
dimasyarakat setempat inginkan untuk menyelesaikan permasalahan mereka dengan
tujuan tercapainya ketertiban dan tetap mejaga keharmonisan serta keseimbangan didalam
masyarakat. Namun disisi lain negara dengan hukum positif negara mempersalahkan
tindakan carok masyarakat madura yang
dianggap adalah sebagai sebuah perbuatan yang tercela dan bahkan dianggap
sebagai perbuatan kau barbarism. Pertentangan ini lah yang manjadi awal
penindasan hukum oleh negara terhadap masyarakat, dimana masyarakat dituntut
melaksanakan dan menjalankan secara patuh hukum yang telah dibuat oleh negara
meskipun secara kenyataannya hukum negara yang ada adalah tidak sesuai dengan
hukum yang berada dimasyarakat.
Lalu bagaimana pertentangan antara hukum negara dan
hukum yang ada didalam masyarakat yang berlandaskan pada kebiasaan dan
kesepakatan masyarakat dapat terjadi? Hal ini harus diruntutkan secara jelas
mengenai landasan apa yang digunakan dalam merumuskan hukum negara dan hukum
masyarakat.
Hukum masyarakat sebagaimana diatas telah dijelaskan
berakar dari kesepakatan dan kebiasaan yang ada didalam masyarakat. Hukum yang
hidup didalam masyarakat berlandaskan pada kepatutan atau yang disebut dengan
norma kesopanan.[4]
Disisi lain hukum yang dibuat oleh negara atau hukum
positif dalam sebuah negara berlandaskan pada dua kemungkinan. Kemungkinan yang
pertama adalah hukum yang akan diterapkan dan dipaksakan adalah hukum yang
sudah ada didalam masyarakat itu sendiri atau berlandaskan pada kepatutan
didalam masyarakat. Sehingga posisi negara adalah hanya sebagai alat pemaksa
bagaimana ketika ada seseorang atau beberapa kelompok orang melanggar hukum,
maka negara akan menghukum orang atau kelompok tersebut dengan hukum yang ada
didalam masyarakat itu pula atau posisi hukum hanyalah mendeskripsikan hukum
yang ada didalam masyarakat dan lalu bagaimana menerapkannya secara konsisten.
Nah, mengenai kemungkinan inipun sebenarnya masih menjadi pertanyaan, apakah
masyarakat butuh negara dalam menerapkan hukum yang ada didalam masyarakat
(karena posisi negara hanya mendeskripsikan hukum masyarakat dan menghukum si
pelanggar)? Dalam kasus carok yang
terjadi di Madura, masyarakat Madura tidak perlu meminta bantuan negara untuk
mengkoordinir dan memfasilitasi arena tarung untuk carok. Karena hal tersebut senyatanya yang terjadi dimasyarakat.
Atau dengan permisalan antara A, B dan C punya hukum picis jika antara keduanya adayang mendapat makanan dan tidak dibagikan,
maka jika A mendapat makanan dan tidak dibagikan kepada B dan C maka A telah
melanggar hukum masyarakat tersebut, hingga akhirnya A harus dihukum picis. Dalam menerapkan hukuman kepada
A, masyarakat atau dalam hal ini B dan C tidak membutuhkan intervensi dari
masyarakat luar atau negara, karena A adalah bagian dari warga masyarakat A, B
dan C.[5]
Kemungkinan kedua dalam perumusan adalah dengan
model preskriptif atau negara menentukan hukum baru yang berlandasarkan pada
norma susila atau norma yang kebenarannya dianggap bersifat universal dengan
tetap memperhatikan masyarakat atau dengan tanpa memperhatikan masyarakat
(secara sepihak). Sehingga posisi negara dalam model ini adalah sebagai penentu
atau pembuat hukum baru yang berbeda dengan hukum yang ada didalam masyarakat
dan menegakkan hukum tersebut dengan kekuatannya. Landasan mengapa negara
membuat hukum baru atau dengan melandaskan pada norma yang bersifat universal
adalah dengan dalih agar masyarakatnya tidak hidup dengan hanya berlandasakan
pada kebiasaan yang terkadang dalam sudut pandang norma susila adalah
bertentangan (contoh: carok, hukum picis, dll).
Sehingga dengan latar belakang atau landasan yang
berbeda antara penetuan hukum masyarakat yang lebih kearah muncul akibat gelaja
sosial atau sifatnya yang deskriptif (berlandaskan pada kebiasaan, kepatutan
dan norma kesopanan) dengan hukum negara yang berlandaskan pada sifatnya yang
preskriptif (berlandaskan pada norma-norma yang dianggap bersifat universal).
Hal ini-lah yang terkadang didalam realita-nya sering terjadi apa yang disebut
kesenjangan antara das solen dengan das sein. Hal tersebut adalah menjadi
wajar, karena apa yang disebut sebagai das
solen atau hukum negara dengan landasannya norma susila coba diterapkan dan
dipaksakan dengan jalan sosial enginering
didalam kehidupan masyarakat senyatanya atau das sein. Karena latar belakang dan landasan yang berbeda antara
keduanya, dimana das sein yang
bersifat preskriptif ternyata menentukan hukum baru yang berbeda dengan yang
ada didalam masyarakat karena negara menganggap bahwa didalam masyarakat ada
suatu permasalahan hukum (hal ini wajar karena norma kepatutan dipandang dalam
sudut pandang norma susila atau dengan selain norma kepatutan). Sedangkan
didalam realitanya masyarakat tidak ada sebuah permasalahan hukum (dalam sudut
pandang norma kepatutan), jalan penyelesaian ketika A melanggar hukum yang telah
dibuat oleh A, B dan C sebenarnya telah ada didalm masyarakat itu sendiri yaitu
dengan jalan misal hukum picis.
Apa yang sekarang kita anggap sebagai permasalahan
hukum adalah ketika masyarakat tidak mengikuti hukum negara atau terjadi
kesenjangan antara hukum positif yang ada dengan tindakan masyarakat. Hal ini
akan menjadi wajar karena ternyata hukum negara yang bersifat preskriptif
adalah tidak sebagai apa yang masyarakat inginkan dan butuhkan. Karena pada
dasarnya adalah masyarakat akan bertindak sesuai dengan kebiasaannya (dan
kebiasaan ini akan terus berkembang seiring denga berkembangnya kondisi sosial
masyarakat). Namun ketika masyarakat dipaksa untuk berbuat diluar kebiasaannya,
maka yang terjadi adalah dua kemungkinan, yaitu masyarakat akan bergerak atau
bertindak dengan paksaan negara atau masyarakat akan menolak dan tetap dengan
kebiasaanya. Namun, kedua hal tersebut adalah masih dalam tahapan apa yang
disebut sebagai penjajahan hukum kepada masyarakat, karena pada dasarnya apa
yang menjadi hukum untuk mengatur masyarakat adalah bukan berasal dari
kesepakatan dan kebiasaan didalam masyarakat.
Penerapan hukum yang bersifat preskriptif ini adalah
menjadi sebuah hal yang wajar ketika masih ada intervensi diluar kelompok
masyarakat tersebut atau dengan jalan adanya negara dan negara berkehendak menerapkan
hukum yang memang benar-benar diluar dari kebiasaan masyarakat. Misalkan dalam
sebuah masyarakat A, B dan C yang padahal telah punya hukum pancung ketika
salah satu dari mereka melanggar kesepakatan, D atau negara akan menerapkan
hukum pidana kurungan penjara kepada si pelanggar. Hal ini adalah apa yang
disebut sebagai penjajahan hukum negara oleh legitimasi negara terhadap hukum
yang telah ada didalam masyarakat. (Dalam kasus tersebut padahal masyarakat A,
B dan C dapat menghukum pancung (sesuai dengan kesepakatan) bagi si pelanggar).
Sifat
PreskriptifHukum[6]
Hukum yang bersifat preskriptif yaitu
hukum yang muncul akibat adanya anggapan bahwa didalam masyarakat ada sebuah
permasalahan hukum dan bagaimana seolah hukum negara dapat men-solusikan-nya,
hal iniadalah wajar ketika masih ada anggapan adanya pertentangan antara das solen dengan das seinatau pertentangan antara hukum negara dengan kenyataan
didalam masyarakat yang tindakannya berladaskan pada kebiasaan hidup didalam
masyarakat. Dimana telah dijelaskan
diatas bahwa pertentangan antara das
solen dengan das seinadalah
akibat dari penjajahan hukum negara oleh legitimasi negara tehadap hukum
masyarakat (masyarakat), masyarakat yang berjalan dengan kebiasaan atau hukum
masyarakat mereka sendiri dipaksa untuk melakukan yang diluar kebiasaan mereka
atau dipaksa untuk mengikuti perintah negara dengan jalan adanya hukum negara.
Hingga pada akhirnya ketika ada masyarakat yang berbuat (das sein) dan tidak melaksanakan apa yang ada didalam hukum negara
(das sollen), ini dianggap sebagai
sebuah permasalahan hukum dan bagaimana dicarikan solusi dengan jalan
menentukan hukum baru.Ditentukannya hukum baru inipun adalah bagian dari sifat
preskriptif ilmu hukum selanjutnta, yang padahal dari awal adanya anggapan
didalam masyarakat dan hukum negara harus men-solusi-kannya telah dibantah dan
pada akhirnya masyarakat sebenarnya tidak membutuhkan negara. Sehingga ketika
hukum yang baru ini tetap muncul sebagai hukum negara atau hukum yang bersifat
preskriptif, maka yang selanjutnya terjadi-pun adalah penindasan hukum negara
terhadap hukum masyarakat karena perbedaan latar belakang dan landasan kedua
hal tersebut.
Yang padahal didalam masyarakat sendiri,
permasalahan yang dilakukan oleh salah satu individu atau beberapa individu
dalam masyarakat dengan melakukan pelanggaran dan mengganggu keseimbangan
masyarakat telah ada hukum yang mengatur itu, yaitu hukum masyarakat mereka
sendiri.[7]
Pandangan dalam sudut pandang ilmu hukum
yang bersifat preskriptif adalah hanya akan menjadikan selalu adanya sebuah
kesenjangan antara das sollen dan das sein, antara hukum negara yang
dibuat dengan sudut pandang norma susila dengan tindakan masyarakat atau hukum
masyarakat yang terbentuk atas dasar kebiasaan masyarakat atau norma kesopanan
dalam masyarakat. Atau yang oleh Peter Mahmud[8]
sampaikan mengenai penolakan kajian empiris dalam hukum atau ilmu hukum, karena
kajian daripada hukum atau ilmu hukum itu sendiri adalah aturan-aturan yang
ditetapkan oleh penguasa (pemerintahan negara), putusan-putusan yang diambil
dari sengketa yang timbul, dan doktrin-doktrin yang dikembangkan ilmu hukum,
hal tersebut muncul adalah sebagai konsekuensi adanya negara, kekuasaan negara,
dan hukum negara (hukum positif negara). Yang mana dalam penentuan dan
perumusan hukum negara ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya telah
mengingkari hukum yang bersifat esensial yang berasal dari kesepakatan dan
kebiasaan masyarakat dan juga hukum negara selalu bertentangan dengan keadaan
yang ada didalam masyarakat, karena apa yang dilakukan masyarakat dengan
berlandaskan pada kebiasaan berbeda dengan hukum negara yang berlandaskan
dengan aturan atau norma susila.
Selama
masih dengan sudut pandang yang sangat sempit dalam memandang ilmu hukum
hanya dari sifat yang preskriptif (yang jelas ini bukan yang diinginkan dan
dibutuhkan masyarakat, karena masyarakat punya hukum masyarakat yang mampu
menyelesaikan permasalahan mereka), daripada melihat hukum secara holistik atau secara menyeluruh, maka
yang terjadi adalah akan terus terjadinya penindasan hukum negara oleh negara
itu sendiri terhadap masyarakatnya. Yang padahal menurut Satjipto Rahadjo hukum
adalah untuk manusia itu sendiri, dengan kehadiran negara dan menerapkan hukum
yang preskriptif dan bahkan amat normatif, maka hukum hanya akan bermain
diranahnya sendiri (hukum) dan yang terjadi adalah penindasan hukum terhadap
masyarakat. Sehingga yang perlu dilakukan adalah dengan tetap menerapkan hukum
yang muncul secara esensial yang ada didalam masyarakat atau yang disebut
sebagai hukum masyarakat (adat, kebiasaan atau kesepakatan masyarakat).[9]
"Anarkisme adalah sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan. Ia dimulai di antara manusia, dan akan
mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari
manusia." (Peter Kropotkin)
[1]
Dalam pandangan Marxistme: ekonomi, sosial dan politik adalah sebagai Basic Structur dan hukum (salah satunya)
adalah sebagai Supra Structur didalam
perkembangan masyarakat. Jelaslah bahwa hukum sebagai Supra Structur dalam masyarakat akan mengikuti atau dipengaruhi
oleh ekonomi, sosial dan politik sebagai Basic
Structur didalam masyarakat tersebut.
[2]Menurut G. Jellinek, terjadinya negara melalui 4
tahapan (Fase) yaitu : 1). Fase Persekutuan manusia, 2). Fase Kerajaan, 3).
Fase Negara, 4). Fase Negara demokrasi dan Diktatur. Disadur dari DimasTaufik, Asal Mula Terjadinya Negara Berdasarkan Fakta dan Teoritis, http://dhimastaufik.wordpress.com/2013/06/11/asal-mula-terjadinya-negara-berdasarkan-fakta-dan-teoritis/, diakses pada 18 Desember 2013.
Sedangkan
dalam teori kenegaran terjadinya negara berdasarkan: 1). Teori Ketuhanan
(Theokrasi), 2). Teori Kekuasaan, 3). Teori Perjanjian Masyarakat (Du Contract Sosial), 4). Teori Hukum
Alam. Disadur dari Asal Mula Terjadinya Negara, http://fisipunsil.blogspot.com/2013/05/asal-mula-terjadinya-negara.html, diakses pada 20 Desember 2013.
[3]Mengenai
kemunculan hukum negara atau hukum positif negara akan dibahas lebih lanjut
dalam bab selanjutnya tentang Sifat
Preskriptif Hukum.Dan dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kesalahan
dalam postulat dasar penentuan hukum negara atau hukum positif negara.
[4]Sudikno
Mertokusumo,Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, 2007, Yogyakarta: Penerbit Liberty.
[5]Yang
artinya dalam konteks penegakan hukum yang esensial yang ada didalam
masyarakat, negara tidak dibutuhkan sebagai penegak hukum didalam masyarakat
tersebut.
[6]Disiplin
preskriptif adalah menyorot sesuatu (objek) yang dicita-citakan atau yang
seharusnya, sedangkan disiplin analitis menyorot sesuatu (objek) sebagai
kenyataan. Atas dasar itulah maka terdapat dua disiplin hukum yaitu disiplin
preskriptif dan disiplin analitis. Hukum yang dirumuskan dalam undang-undang
merupakan hukum dalam norma atau kaedah yang di dalamnya memuat sesuatu yang
dicita-citakan, sebaliknya hukum adat merupakan bentuk kebiasaan yang hidup
dalam masyarakat, merupakan kenyataan atau realitas hukum. Disadur dari
pendapat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif, 1990, Jakarta: Rajawali Press, hal. 2.
[7]Dalam
posisi ini sebenarnya masyarakat tidak membutuhkan negara dalam menerapkan
hukum masyarakat seperti yang telah dijelaskan diatas.
[8]Arbani
Tenkeliwai, Ilmu Hukum, http://bani1989.blogspot.com/2012/11/ilmu-hukum.html,
diakses pada 30 Desember 2013.
[9]Hukum
masyarakat-lah yang merupakan solusi tepat terhadap permasalahan yang ada
didalam masyarakat dengan landasan hukum sebagai problem solving. Karena pada dasarnya, masyarakatlah yang paling
tahu keadaan dan permasalahannya yang harus diselesaikan bagaimana. Sehingga
mereka akan tahu bagaimana corak dan bentuk hukum yang sangat pas untuk
diterapkan didalam masyarakat mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar