Minggu, 09 Januari 2011

NASIB KEISTIMEWAAN JOGJA


Oleh :
Eby Yulias Onovia
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto
d/a Kampus Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto
Jl. HR Boenyamin, Grendeng, Purwokerto
email : onoviaebyjulies@yahoo.co.id


Jika akhirnya RUU Keistimewaan Yogyakarta disahkan dengan putusan bahwa Gubernur DI Yogyakarta dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung, rakyat DI Yogyakarta siap mengambil langkah untuk memboikot pemilihan langsung tersebut (JAKARTA, KOMPAS.com)
Ketegangan harap-harap cemas warga jogja mengenai RUUK DIY yang tentu saja adalah menyangkut status keistimewaan daerahnya dan perihal gubernur jogja sebagai pemimpin tertinggi daerah tersebut menimbulkan gejolak yang bagai bom waktu menunggu saat untuk meledak. Tata rancangan pemerintah perihal status kepemimpinan DIY adalah penetapan Sri Sultan HB X sebagai gubernur utama dan Pakualam sebagai sebagai wakil gubernur utama sedangkan gubernurnya adalah dari pemilihan umum wakil dari partai politik. Hal ini berbeda dengan kehendak rakyat jogja yang menginginkan penetapan langsung Sri Sultan sebagai gubernur DIY. Warga jogja mengancam akan memboikot proses pemilihan jika pemerintah memaksakan diri menetapkan RUUK DIY adalah dengan pemilihan gubernur. Dikenal jogja sebagai daerah istimewa adalah didalamnya terdapat pemerintahan khusus yaitu sultan sebagai pemimpin yang setara dengan gubernur disamping kewenangan-kewenangan lainnya seperti mendapatkan hak mendapatkan protokoler, kedudukan keuangan DIY, dan memelihara nilai-nilai budaya sosial masyarakat Yogyakarta. Ketika memang hal tersebut dicabut dengan mencanangkan UU Keistimewaan DIY yang isinya adalah gubernur adalah dipilih oleh rakyat melalui pemulihan umum, maka tidak ada bedanya jogja dengan daerah lain di Indonesia yang tidak mendapat embel-embel daerah istimewa.
Dalam ilmu hukum di kenal adanya teori kedaulatan rakyat yang mana dikenal adagium “suara rakyat adalah suara Tuhan” dimungkinkan maksudnya adalah bahwa dalam konsep kedaulatan rakyat, raja atau pemerintah adalah sebagai wakil yang dipilih oleh rakyat dan didasarkan menurut kehendak rakyat sebagai apa yang yang disebut “volonte generale” oleh bapak kedaulatan rakyat JJ. Rosseau (1712-1778). Menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan atau menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah, bilamana pemerintah ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak mengganti pemerintah itu.
Indonesia adalah salah satu negara yang menganut teori kedaulatan rakyat. Hal itu terlihat dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “.....susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.....”. Jelas pula dalam kasus RUUK DIY, warga jogja bahkan menyuarakan aspirasinya melalui rencana pemboikotan pemilihan gubernur jika RUUK DIY bukan menetapkan langsung Sultan sebagai gubernur melainkan melalui pemilihan umum. Ditilik lebih jauh disini tersirat ada kehendak rakyat untuk mewakilkan atau menyerahkan kedaulatan pada pemimpin yang mereka percayai yakni Sri Sultan HB X sebagai gubernur dan Pakualam sebagai wakilnya.
Hal yang tidak menjadi tujuan semula bisa terjadi jika pemerintah bersikeras untuk melangkahi kedaulatan rakyat sebagai kedaulatan tertinggi, dan boleh jadi rakyat mengganti pemerintahan bilamana tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Sedikit perlu diingat dalam hal ini bukan hanya tentang kehendak rakyat pada siapa pemimpin pemerintahan, namun juga menyangkut status keistimewaan suatu daerah asal-muasalnya adalah diberikan dari pemerintah itu sendiri.

Tidak ada komentar: