Oleh :
Panji Mulkillah Ahmad
Mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed 2010
Staff Divisi Diskusi LKHS
Hal-hal yang hampir seluruh orang ketika terpikir tentang borobudur ialah : "sebuah bangunan, berupa candi, berbahan batu-batuan megalitikum, buddha, mataram, raja samaratungga, jawa, indonesia dan unesco". Ya, kata-kata itulah yang menghiasi pikiran kita kalau terbayang borobudur. Kata-kata itu jua yang mengisi ensiklopedi-ensiklopedi baik tertulis manual maupun cyber, artikel-artikel dalam surat kabar, bahkan buku pelajaran sekolah dasar hingga sekolah menengah.
Manusia ketika dihadapkan oleh sesuatu yang besar sepertinya cenderung terdorong berpikir yang jua besar-besar. Berpikir tentang borobudur pastinya membuat perasaan manusia siapapun menjadi menggema mengagumi pesona keagungan karya manusia yang patut dikagumi ini. Sebuah bangunan monumental yang penuh dengan simbol kemasyhuran dan kegemilangan di masa lalu. Perasaan yang seperti itulah yang sekaligus membuat kita lupa sebagai manusia akan sisi kemanusiaan kita.
Budak. 5 huruf yang bila disebut namanya membawa suasana jijik, kotor, menggelikan, dan menyedihkan. Tak jauh beda dengan peristilahannya di masa lampau, yaitu Sudra. Golongan paling rendah dalam kasta masyarakat. Ia tidak memiliki hak-hak sebagaimana yang dimiliki golongan diatasnya. Ia hanya mempunyai kewajiban untuk patuh dan tunduk menjadi boneka tuannya.
Ya, budaklah yang juga membangun borobudur itu. Merekalah yang mengangkat batu-batu itu dari pegunungan, dari sungai, dari bukit bukit, dan dari mana saja. Merekalah yang mengukir batu-batu itu menjadi arca yang kelak disembah oleh insan yang hendak menyembah, yang juga kelak dijadikan objek foto bersama oleh insan abad pasca 19.
Golongan dari kasta mana yang sanggup melakukan itu selain budak/sudra? Tiada. Brahmana? Hati mereka tak mau kotor oleh pekerjaan yang kasar. Hati mereka harus sebersih dosa bayi dan selembut kasih ibu sejati. Ksatria? Tangan dan jiwa mereka yang gagah perkasa terlalu murah jika harus berurusan dengan batu kali. Mereka lebih sibuk berurusan dengan perang senjata dan perang politik. Waisya? Apa yang bisa diharapkan dari seorang pedagang? Menghitung laba distribusi batu mungkin ia bisa.
Adalah sudra yang selama ini tidak kita sadari yang turut membangun borobudur. Sudra adalah golongan karya seseorang yang bila hendak melaksanakan profesinya sepenuhnya mengandalkan kekuatan jasmaniah, ketaatan, kepolosan, keluguan, serta bakat ketekunannya (http://id.wikipedia.org/wiki/Sudra). Adalah oleh keringat sudra sehingga borobudur yang kita nikmati ini bisa berdiri. Tegak dan kokoh hingga sekarang. Bisa apa Samaratungga tanpa sudra? Borobudur hanya akan menjadi blueprint dalam daun lontar tanpa hadirnya sudra.
Sudra juga manusia. Dengan mengingat borobudur seharusnya kita juga mengingat jasa-jasa mereka. Kita mengingat penderitaan mereka. Tiada jaminan kesehatan, jaminan sosial, jaminan kecelakaan tenaga kerja waktu itu. Tapi mereka tiada butuh itu semua. Mereka tiada pernah melawan. Mereka selalu taat pada tuannya.
Borobudur hanyalah salah satu contoh saja yang menjadi saksi bisu betapa beratnya manusia sudra/budak waktu itu. Masih ada menara eiffel, gedung parlemen inggris, tembok besar china, taj mahal india, masjidil haram arab, katedral vatikan, dan bangunan hasil keringat budak-budak lainnya.
Jika sejenak kita renungkan, para budak selalu selangkah lebih mulia dibandingkan tuannya. Ketika manusia modern mulai menyadari untuk memanusiakan manusia dengan menghentikan perbudakan, para budak sudah lebih dulu memanusiakan bahkan mendewakan tuannya. Nah, seberapa tinggikah kamu dibandingkan para budak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar