Sabtu, 21 Oktober 2017

Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana



Oleh : Handy

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita, Korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga  mengalami  penderitaan  yang  dapat  diklarifikasikan  sebagai korban suatu kejahatan tidaklah harus berupa individu atau perorangan, tetapi bisa berupa kelompok orang, masyarakat atau juga badan  hukum.

Kedudukan korban tidak secara eksplisit diatur dalam KUHAP, kecuali terhadap korban yang juga berkedudukan sebagai saksi, sehingga ketentuan dan jaminan perlindungan diberikan kepada korban yang juga menjadi saksi dalam setiap proses peradilan pidana.

Sementara itu, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur perlindungan terhadap saksi dan/atau korban, baik itu terhadap korban yang juga menjadi saksi, korban yang tidak menjadi saksi dan juga anggota keluarganya. Sehingga, jaminan perlindungan terhadap korban tindak pidana dan terutama terhadap korban pelanggaran HAM berat diatur sesuai ketentuan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.

Adapun jaminan perlindungan terhadap korban tindak pidana, dapat berupa perlindungan saksi, pemberian bantuan, restitusi, dan kompensasi sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah disebut di atas.

Di Indonesia sendiri terdapat lembaga yang mengatur tentang hak –hak saksi dan korban. LPSK (lembaga perlindungan saksi dan korban) ini bertugas untuk membantu setiap hal  yang dibutuhkan oleh korban  dan Mengenai wewenang dari lembaga perlindungan korban dan saksi.Dengan kelengkapan perangkat perundang – undangan yang mengatur ruang lingkup perlindungan hak korban dan saksi beserta komisi atau lembaga yang menjalankan fungsi untuk itu diharapkan perlindungan korban dan saksi menjadi lebih baik. Mengingat pada kenyataannya kejahatan tidak mungkin dapat dihilangkan dan hanya dapat dikurangi.

Pasal 1 butir 6 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2006 menyatakan bahwa
 perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai ketentuan Undang – Undang.

Bentuk perlindungan yang dapat diberikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”) kepada saksi dan korban tindak pidana, sesuai ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”).

Sesuai ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 13/2006, LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban.
Bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan LPSK kepada saksi dan korban dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.    Perlindungan fisik dan psikis: Pengamanan dan pengawalan,penempatan di rumah aman, mendapat identitas baru, bantuan medis dan pemberian kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan, bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
2.    Perlindungan hukum: Keringanan hukuman, dan saksi dan korban serta pelapor tidak dapat dituntut secara hukum (Pasal 10 UU 13/2006).
3.    Pemenuhan hak prosedural saksi: Pendampingan, mendapat penerjemah, mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, penggantian biaya transportasi, mendapat nasihat hukum, bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan dan lain sebagainya sesuai ketentuan Pasal 5 UU 13/2006.

Menurut Barda Nawawi Arief (1998), dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya, berbagi rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum hak asasi korban. Konsep perlindungan korban kejahatan menurut Barda Nawawi Arief  dapat dilihat dari dua makna yaitu :

1.Dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana “berarti perlindungan HAM atau untuk kepentingan hukum seseorang”;
2. Dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana” (identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitas), pemulihan keseimbangan batin (antara lain, dengan permaafan) pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.

Dari dua makna perlindungan korban di atas pada dasarnya ada dua sifat perlindungan yang dapat diberikan secara langsung oleh hukum. Pertama; bersifat preventif, yaitu berupa perlindungan hukum tidak menjadi korban tindak pidana dan kedua; bersifat represif yaitu berupa perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana.

Terkait dua sifat perlindungan korban yang dapat diberikan oleh hukum pada hakikatnya perlindungan yang bersifat preventif dan represif memegang peranan yang sama pentingnya dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat, mengingat masyarakat yang menjadi korban tidak boleh begitu saja dibiarkan menderita tanpa ada upaya perlindungan apapun dari negara. Pada lingkup pencegahan, hukum harus ditekankan pada pencegahan masyarakat melakukan tindak pidana.

Dari berbagai pemamparan diatas, Terkait perlindungan Korban tindak Pidana tidak diatur secara eksplisit dalam KUHAP namun diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban No 13 tahun 2006 yang mempunyai beberapa bentuk Perlindungan Terhadap Korban, Namun Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa perlindungan korban merupakan perlindungan abstrak.Ayo diskusi di kolom komentar Bagaimana kawan-kawan menangapi hal ini?

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Refrensi
Bambang Waluyo,Viktimologi (Perlindungan Korban dan Saksi),2012,Sinar Grafika,Jakarta
Barda Nawawi Arief, Beberapa aspek kebijakan penegakan dan pengembangan hukum pidana,1998,Citra Aditya Bakti,Bandung

Tidak ada komentar: