Senin, 06 Juni 2016

Pro Kontra Hukum Kebiri


Semakin maraknya pemberitaan tentang peristiwa pemerkosaan dan pencabulan dari para pelaku yang ditanyakan sikapnya sebagai seorang yang dikatakan manusia namun sikapnya dianggap lebih rendah dibanding hewan, Puncaknya, kabar tragis datang dari Bengkulu. Seorang anak di bawah umur diperkosa oleh 14 orang laki-laki, hingga meninggal dunia. Namun apa daya penanganan yang dilakukan pemerintah baru membuat sikap yang seolah tegas akibat dari pemberitaan yang mencuat dan keluarlah sebuah wacana tentang pemberatan hukuman bagi para pelaku pemerkosaan apalagi pemerkosaan dibawah umur  yaitu dengan hukuman kebiri.

Seolah Nasi sudah menjadi bubur baru Presiden Jokowi pun baru mengambil sikap dengan mempertimbangkan perlunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Rancangan Perppu tersebut kini masuk dalam tahap finalisasi. Berbagai kementerian dan instansi terkait saat ini tengah melakukan sinkronisasi sehubungan dengan perancangan Perppu tersebut. Ada dua pasal dari UU No. 23 Tahun 2002 yang dianulir melalui racangan Perppu tersebut, yakni Pasal 81 dan Pasal 82. Keduanya merupakan pasal-pasal yang mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan seksual dan tindakan cabul terhadap anak.

Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 mengatur ancaman pidana bagi setiap orang yang sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan. Ancaman ini tidak hanya berlaku bagi orang yang memaksa melakukan persetubuhan dengan anak, tetapi juga yang membuat anak bersetubuh dengan orang lain. Hukuman pidana penjara yang bisa dijerat paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun. Selain itu, diancam pula dengan denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta. Sementara itu, di dalam rancangan Perppu tidak diatur mengenai ancaman denda minimal. Sedangkan denda maksimal dinaikan menjadi Rp5 miliar. Adapun pidana penjara paling lama tidak ada perbedaan, sedangkan pidana penjara paling singkat dinaikan menjadi sepuluh tahun.

Pemberatan hukuman di dalam rancangan Perppu juga berlaku bagi pelaku perbuatan cabul terhadap anak. Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 mengatur bahwa setiap orang yang sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, bisa dipenjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun. Selain itu, dapat pula dikenakan denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta.

Di dalam rancangan Perppu, ancaman pidana paling singkat bertambah menjadi 5 tahun. Sedangkan ancaman pidana penjara paling lama tidak ada perubahan. Sementara itu, ancaman denda minimal juga tidak diatur seperti perubahan atas Pasal 81. Akan tetapi, denda maksimal bertambah menjadi paling banyak Rp5 miliar.  Selain memperberat hukuman penjara dan denda, rancangan Perppu juga mengatur pemberatan, baik bagi pelaku kekerasan seksual maupun perbuatan cabul terhadap anak. Pemberatan ini diberikan 1/3 dari ancaman pidana pokok. Adapun orang-orang yang terancam dengan pemberatan hukum adalah orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan yang melakukan pidana tersebut. Selain itu, pemberatan hukuman juga diatur untuk pidana yang menimbulkan akibat tertentu. Secara limitatif disebutkan akibat-akibat yang menimbulkan pemberatan hukuman bagi pelaku. Akibat tersebut adalah jika menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia. Pelaku yang menimbulkan akibat yang diatur itu, diancam dengan pemberatan 1/3 dari ancaman pidana pokok. Tak hanya itu, pelaku juga diancam dengan pidana tambahan. Tak lain pidana tambahan yang ditentukan adalah kebiri kimia.


Menurut penjelasan rancangan Perppu itu, yang dimaksud dengan kebiri kimia adalah memasukkan bahan kimiawi antiandrogen ke dalam tubuh pelaku. Cara yang ditempuh bisa melalui suntikan atau meminumkan pil khusus. Tujuannya, memperlemah hormon testosteron orang yang bersangkutan. Secara lebih detail, rancangan Perppu mengatur bahwa ancaman pidana tambahan berupa kebiri kimia paling lama sesuai dengan pidana pokok yang dijatuhkan. Diputus bersamaan dengan putusan akhir dan dilaksanakan bersamaan dengan pidana pokok. Namun, pidana tambahan ini dikecualikan bagi pelaku anak. Pelaksanaan pidana kebiri kimia tak sembarangan. Pidana tambahan ini harus dilakukan oleh tenaga medis yang ditunjuk pemerintah sesuai dengan standar dan prosedur. Pelaksanaannya pun di bawah pengawasan secara berkala dari Kementerian Kesehatan. 

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang akan mengatur tentang sanksi kebiri kimiawi terhadap pelaku kekerasan seksual (Perppu Kebiri) bermasalah secara materiil maupun formil karena berpotensi melanggar prinsip hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Sebagaimana diketahui, kasus pemerkosaan sekaligus pembunuhan terhadap YY menjadi sorotan publik beberapa pekan belakangan. Kasus itu telah menjadi perhatian serius Pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo. Tawaran Perppu tersebut, kata Fajri justru berpotensi melanggar dua prinsip yang menjadi amanat reformasi, yaitu prinsip HAM dan demokrasi. Secara substansi, menurut dia, Perppu kebiri akan berdampak pada hilangnya hak seseorang untuk melanjutkan keturunan dan terpenuhi kebutuhan dasarnya yang dijamin dalam UUD 1945. "Selain itu, sampai saat ini tidak ada kajian yang menunjukkan bahwa sanksi kebiri mampu secara efektif menekan tindakan kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah hal kompleks yang tidak bisa serta merta hilang dengan mengebiri pelaku. Bahkan, kata Fajri di Negara Bagian California di Amerika Serikat, kebijakan sanksi kebiri atas pelaku kekerasan seksual mendapat kecaman setelah berjalan selama 20 tahun. Kritik terhadap sanksi kebiri didasari oleh beragam alasan. Mulai dari pemberlakuannya yang tidak membedakan usia pelaku dari anak sampai dewasa, hingga tidak efektifnya sanksi karena hanya akan berdampak pada pelaku yang sudah melakukan kekerasan seksual, bukan pada calon pelaku yang justru perbuatannya harus mampu dicegah

Tidak ada komentar: