Oleh : Wijang Banu Hapsari
(Bendahara LKHS Periode 2013/2014)
Manusia
pada hakekatnya adalah makhluk yang tidak akan pernah merasa puas, seolah-olah
apapun yang sudah di dapatkan masih saja dirasa kurang. Yang miskin ingin
menjadi kaya, yang sudah kaya ingin semakin kaya, dan begitulah seterusnya.
Pencucian uang atau lebih dikenal dengan istilah populernya money laundry
adalah salah satu fenomena yang dapat menunjukan adanya sifat manusia yang tidak
akan pernah merasa puas tersebut. Istilah money laundry yang dijelaskan dalam
kuliah umum tentang money laundry oleh wakil ketua Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso, merupakan proses mengaburkan identitas
atau asal-usul harta kekayaan secara ilegal sehingga harta kekayaan tampak
berasal dari sumber yang sah[1].
Padahal uang yang diperoleh ini kebanyakan merupakan uang hasil tindak
kejahatan seperti korupsi, hasil suap, pemerasan, prostitusi, perdagangan
minuman keras, perdagangan narkotika bahkan sampai perdagangan manusia dan lain
sebagainya. Indonesia sendiri menempati posisi 10 besar sedunia terkait
kejahatan money laundry yang terjadi, dan 67 % diantaranya merupakan pencucian
uang yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi. Pencucian uang biasanya
dilakukan dengan membeli saham atau
properti, untuk membuat uang kotor itu nantinya
menjadi seolah-olah bersumber dari suatu
kegiatan usaha yang sah. Sungguh ironis, demi memperkaya diri dan meluapkan
hasrat kepuasannya seseorang rela melakukan kejahatan yang dampaknya dapat
merugikan negara. Jika kita sejenak melihat ke belakang, dalam hal ini sejarah
kultur bangsa kita, apakah tindakan licik manusia untuk memperkaya dirinya
melalui money laundry ini dapat ditelusuri sebab-sebabnya, sehingga dapat
diperoleh suatu solusi untuk melawan dan atau bahkan memusnahkan kejahatan
money laundry di Indonesia, di samping
usaha-usaha yang tengah gencar di lakukan pemerintah saat ini.
Kultur
budaya di Indonesia sangat beraneka ragam, tetapi pada dasarnya sebelum bangsa
penjajah masuk ke negara kita, di Indonesia terdapat banyak sekali
kerajaan-kerajaan. Khususnya di jawa dengan kultur keratonannya yang sangat
kental dengan nuansa feodalisme. Para pejabat-pejabat keraton saat itu sangat
menjunjung tinggi kehormatan serta nama baiknya. hal ini otomatis akan
menimbulkan adanya kesenjangan yang sangat signifikan antara priyayi
(orang-orang keraton) dengan masyarakat bawah. Hal ini diperburuk dengan adanya
penjajah Belanda yang juga sangat erat dengan kultur feodalnya masuk ke
Indonesia. Menurut Boesono Soedarso dalam bukunya yang berjudul “Latar Belakang
sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia”, keadaan social heritage[2]
atau kultur kita pada waktu itu sangat ditentukan bagaimana politik pemerintah
Belanda terhadap kaum pribumi. Pada masa
kolonialisme tersebut, ada pembagian strata yaitu strata atas dan strata
bawah. Strata bagian atas adalah kulit putih, sedangkan strata bagian bawah
adalah penduduk asli atau inlanders. Kontak sosial antara kedua golongan itu
sangat terbatas, hanya pada hubungan formal seperti majikan-buruh dan
penguasa-penduduk[3].
Belanda pada saat itu memanfaatkan
kaum-kaum bangsawan atau keratonan yaitu Bupati untuk memperdayakan penduduk
agar mau melakukan kerja paksa. Para penduduk dengan pemikirannya yang primitif
mau saja untuk diperintah oleh rajanya atau pemimpinnya karena pemikiran
penduduk pada saat itu bahwa memang mereka haruslah tunduk pada pemimpinnya.
Budaya feodal semakin di junjung, semakin di agung-agungkan, yang berkuasa
seenaknya saja melakukan kelicikan demi untuk mencari kepuasan dan keuntungan
bagi kepentingan dirinya sendiri tanpa memikirkan kerugian orang lain. Penduduk
dengan pemikirannya yang primitif pada saat itu, kita analogikan saja dengan
masyarakat Indonesia sekarang yang masih jauh dari kemakmuran, akibat dari
orang-orang yang kenyang akan kekuasaan. Dan hal itu pun berdampak pada
maraknya kejahatan-kejahatan lain yang berujung pada money laundry. Jika kita
lihat dari sejarah, kultur feodal yang di miliki bangsa Indonesia lebih
menunjukan kepada kejahatan korupsi oleh para pejabat-pejabat yang memiliki
kekuasaan. Dari situlah terjawab mengapa kejahatan money laundry di Indonesia
lebih di dominasi oleh tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia telah
melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan korupsi yang berdampak
pada adanya praktik money laundry ini. Salah satu upaya pemerintah sekarang
adalah dengan membentuk lembaga independen yang khusus menangani masalah
pencucian uang melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Lembaga ini dirasa sangat membantu untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan
diharapkan dapat menurunkan tingkat kejahatan money laundry. Dengan adanya
PPATK, setiap transaksi keuangan yang berlangsung khususnya jika transaksi
diatas 500 juta dan terdapat adanya indikasi mencurigakan dalam transaksi
tersebut, maka akan dilacak dan dianalisis agar langsung dapat di temukan dari
sumber manakah transaksi tersebut berasal. Jika transaksi tersebut berasal dari
praktek-praktek ilegal, maka secara langsung dapat pula terdeteksi tindak
kejahatan tersebut. Contoh konkrit
kinerja PPATK ini dapat kita lihat dari kasus impor daging sapi yang membawa
nama Luthfi Hasan Ishak dan Ahmad Fathonah, dari sinilah terbongkar kasus
skandal suap yang dilakukan oleh mereka.
Pada dasarnya
upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah memang sangat bagus, namun jika kita tinjau dari sejarah kultur bangsa
kita yang sudah di jelaskan diatas, sebagus apapun usaha pemerintah untuk memberantas
kejahatan money laundry ini menurut saya belum dapat dipastikan secara mutlak
bahwa hal itu dapat mengatasi masalah tersebut. Karena yang namanya moral
Bangsa sangat berkaitan erat dengan kultur masyarakatnya yang mayoritas telah
diwarisi kultur feodal bagi para pemimpinnya dan pemikiran yang primitif bagi
para masyarakat kalangan bawahnya. Oleh karena itu, kita sebagai generasi
penerus bangsa, sebagai calon pemimpin bangsa, harus turut andil dalam
mengatasi money laundry ini dengan berusaha meninggalkan kultur lama dan
mulailah dengan membiasakan bersikap peduli sesama dan peduli terhadap
lingkungan sekitar khususnya masyarakat kalangan bawah. Belajar bersyukur atas
apa yang sudah kita dapatkan sehingga kita tidak akan selalu dihantui rasa
tidak puas. Pada intinya, money laundry di Indonesia yang mayoritas terjadi
akibat tindak pidana korupsi dapat kita lawan tidak hanya dengan sebatas
mendukung dibentuknya lembaga independen seperti PPATK saja, tetapi kita sendiri harus bergegas meningkatkan
kualitas diri dengan tidak membudayakan kultur feodalisme. Serta yang
terpenting adalah selalu berpegang teguh pada agama agar kita senantiasa tidak
melupakan rasa syukur atas apa yang sudah kita capai dan dapatkan. Dan di masa
yang akan datang kita para calon pemimpin, calon penerus bangsa tidak akan
mengenal lagi dan menghalalkan kelicikan yang berdampak adanya money laundy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar