Senin, 02 Desember 2013

Melihat Money Laundry dari Prespektif Sejarah Kultur Bangsa Indonesia


Oleh : Wijang Banu Hapsari
(Bendahara LKHS Periode 2013/2014)

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang tidak akan pernah merasa puas, seolah-olah apapun yang sudah di dapatkan masih saja dirasa kurang. Yang miskin ingin menjadi kaya, yang sudah kaya ingin semakin kaya, dan begitulah seterusnya. Pencucian uang atau lebih dikenal dengan istilah populernya money laundry adalah salah satu fenomena yang dapat menunjukan adanya sifat manusia yang tidak akan pernah merasa puas tersebut. Istilah money laundry yang dijelaskan dalam kuliah umum tentang money laundry oleh wakil ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso, merupakan proses mengaburkan identitas atau asal-usul harta kekayaan secara ilegal sehingga harta kekayaan tampak berasal dari sumber  yang sah[1]. Padahal uang yang diperoleh ini kebanyakan merupakan uang hasil tindak kejahatan seperti korupsi, hasil suap, pemerasan, prostitusi, perdagangan minuman keras, perdagangan narkotika bahkan sampai perdagangan manusia dan lain sebagainya. Indonesia sendiri menempati posisi 10 besar sedunia terkait kejahatan money laundry yang terjadi, dan 67 % diantaranya merupakan pencucian uang yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi. Pencucian uang biasanya dilakukan  dengan membeli saham atau
properti, untuk membuat uang kotor itu nantinya menjadi seolah-olah bersumber dari suatu kegiatan usaha yang sah. Sungguh ironis, demi memperkaya diri dan meluapkan hasrat kepuasannya seseorang rela melakukan kejahatan yang dampaknya dapat merugikan negara. Jika kita sejenak melihat ke belakang, dalam hal ini sejarah kultur bangsa kita, apakah tindakan licik manusia untuk memperkaya dirinya melalui money laundry ini dapat ditelusuri sebab-sebabnya, sehingga dapat diperoleh suatu solusi untuk melawan dan atau bahkan memusnahkan kejahatan money laundry di Indonesia, di  samping usaha-usaha yang tengah gencar di lakukan pemerintah saat ini.
Kultur budaya di Indonesia sangat beraneka ragam, tetapi pada dasarnya sebelum bangsa penjajah masuk ke negara kita, di Indonesia terdapat banyak sekali kerajaan-kerajaan. Khususnya di jawa dengan kultur keratonannya yang sangat kental dengan nuansa feodalisme. Para pejabat-pejabat keraton saat itu sangat menjunjung tinggi kehormatan serta nama baiknya. hal ini otomatis akan menimbulkan adanya kesenjangan yang sangat signifikan antara priyayi (orang-orang keraton) dengan masyarakat bawah. Hal ini diperburuk dengan adanya penjajah Belanda yang juga sangat erat dengan kultur feodalnya masuk ke Indonesia. Menurut Boesono Soedarso dalam bukunya yang berjudul “Latar Belakang sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia”, keadaan social heritage[2] atau kultur kita pada waktu itu sangat ditentukan bagaimana politik pemerintah Belanda terhadap kaum pribumi. Pada masa  kolonialisme tersebut, ada pembagian strata yaitu strata atas dan strata bawah. Strata bagian atas adalah kulit putih, sedangkan strata bagian bawah adalah penduduk asli atau inlanders. Kontak sosial antara kedua golongan itu sangat terbatas, hanya pada hubungan formal seperti majikan-buruh dan penguasa-penduduk[3].  Belanda pada saat itu memanfaatkan kaum-kaum bangsawan atau keratonan yaitu Bupati untuk memperdayakan penduduk agar mau melakukan kerja paksa. Para penduduk dengan pemikirannya yang primitif mau saja untuk diperintah oleh rajanya atau pemimpinnya karena pemikiran penduduk pada saat itu bahwa memang mereka haruslah tunduk pada pemimpinnya. Budaya feodal semakin di junjung, semakin di agung-agungkan, yang berkuasa seenaknya saja melakukan kelicikan demi untuk mencari kepuasan dan keuntungan bagi kepentingan dirinya sendiri tanpa memikirkan kerugian orang lain. Penduduk dengan pemikirannya yang primitif pada saat itu, kita analogikan saja dengan masyarakat Indonesia sekarang yang masih jauh dari kemakmuran, akibat dari orang-orang yang kenyang akan kekuasaan. Dan hal itu pun berdampak pada maraknya kejahatan-kejahatan lain yang berujung pada money laundry. Jika kita lihat dari sejarah, kultur feodal yang di miliki bangsa Indonesia lebih menunjukan kepada kejahatan korupsi oleh para pejabat-pejabat yang memiliki kekuasaan. Dari situlah terjawab mengapa kejahatan money laundry di Indonesia lebih di dominasi oleh tindak pidana korupsi. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan korupsi yang berdampak pada adanya praktik money laundry ini. Salah satu upaya pemerintah sekarang adalah dengan membentuk lembaga independen yang khusus menangani masalah pencucian uang melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga ini dirasa sangat membantu untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan diharapkan dapat menurunkan tingkat kejahatan money laundry. Dengan adanya PPATK, setiap transaksi keuangan yang berlangsung khususnya jika transaksi diatas 500 juta dan terdapat adanya indikasi mencurigakan dalam transaksi tersebut, maka akan dilacak dan dianalisis agar langsung dapat di temukan dari sumber manakah transaksi tersebut berasal. Jika transaksi tersebut berasal dari praktek-praktek ilegal, maka secara langsung dapat pula terdeteksi tindak kejahatan tersebut.  Contoh konkrit kinerja PPATK ini dapat kita lihat dari kasus impor daging sapi yang membawa nama Luthfi Hasan Ishak dan Ahmad Fathonah, dari sinilah terbongkar kasus skandal suap yang dilakukan oleh mereka.
Pada dasarnya upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah memang sangat bagus, namun  jika kita tinjau dari sejarah kultur bangsa kita yang sudah di jelaskan diatas, sebagus apapun usaha pemerintah untuk memberantas kejahatan money laundry ini menurut saya belum dapat dipastikan secara mutlak bahwa hal itu dapat mengatasi masalah tersebut. Karena yang namanya moral Bangsa sangat berkaitan erat dengan kultur masyarakatnya yang mayoritas telah diwarisi kultur feodal bagi para pemimpinnya dan pemikiran yang primitif bagi para masyarakat kalangan bawahnya. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa, sebagai calon pemimpin bangsa, harus turut andil dalam mengatasi money laundry ini dengan berusaha meninggalkan kultur lama dan mulailah dengan membiasakan bersikap peduli sesama dan peduli terhadap lingkungan sekitar khususnya masyarakat kalangan bawah. Belajar bersyukur atas apa yang sudah kita dapatkan sehingga kita tidak akan selalu dihantui rasa tidak puas. Pada intinya, money laundry di Indonesia yang mayoritas terjadi akibat tindak pidana korupsi dapat kita lawan tidak hanya dengan sebatas mendukung dibentuknya lembaga independen seperti PPATK saja,  tetapi kita sendiri harus bergegas meningkatkan kualitas diri dengan tidak membudayakan kultur feodalisme. Serta yang terpenting adalah selalu berpegang teguh pada agama agar kita senantiasa tidak melupakan rasa syukur atas apa yang sudah kita capai dan dapatkan. Dan di masa yang akan datang kita para calon pemimpin, calon penerus bangsa tidak akan mengenal lagi dan menghalalkan kelicikan yang berdampak adanya money laundy.



[1] Disampaikan dalam Kuliah Umum tentang Money Laundry pada Sabtu, 21 september 2013 di Gedung Justitia 3 Fakultas Hukum UNSOED.
[2] Warisan budaya masyarakat
[3] Soedarso Boesono, Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia, Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia. 2009.  Hlm. 17

Tidak ada komentar: