Rabu, 06 Desember 2017

Akibat Hukum Suatu Perjanjian Perkawinan yang Tidak Disahkan Oleh Pegawai Pencatat Perkawinan

Oleh : Eva Pratiwi Aditya

Semasa hidup,manusia mengalami peristiwa hukum yang sangat penting yaitu kelahiran,perkawinan,dan kematian. Manusia dalam hidupnya perlu melaksanakan perkawinan karena manusia sebagai makhluk hidup harus mengembangkan keturunannya.Pernikahan atau Perkawinan terjadi karena ada dorongan dari dalam diri setiap manusia untuk bersama dengan manusia lainnya. Merupakan suatu ikatan sakral sebagai penghubung antara seorang pria dan wanita dalam membentuk suatu keluarga atau membangun rumah tangga.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

UU No. 1 Tahun 1974, yang secara garis besarnya mengatur tentang: (1) dasar perkawinan; (2) syarat-syarat perkawinan; (3) pencegahan perkawinan; (4) batalnya perkawinan; (5) perjanjian perkawinan, (6) hak dan kewajiban suami isteri, (7) harta benda dalam perkawinan, (8) putusnya perkawinan serta akibatnya; (9) kedudukan anak; (10) hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, (11) perwalian, (12) pembuktian asal usul anak; (13) perkawinan di luar Indonesia; dan (14) perkawinan campuran.

Apabila membahas masalah harta dalam perkawinan, maka pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi harta bersama. Sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1Tahun1974 tentang perkawinan membahas mengenai harta perkawinan, yang berbunyi bahwa:
(1)Harta benda yang diperoleh selamaperkawinan menjadi harta bersama
(2)Harta bawaan dari masing-masing suamidan istri dan harta benda yang diperolehmasing-masing sebagai hadiah atau warisan,adalah di bawah penguasaan masing-masingsepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Jika seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan,misalnya suatu warisan maka adakalanya diadakan perjanjian perkawinan. Pada pasal 29 ayat 1 dengan jelas disebutkan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.Hal  tersebut juga diatur pada pasal 147 BW yang menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan haruslah dibuat dengan akte notaris dan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.Mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut sebagaiman halnya dengan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya,kepada kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas-luasnya dengan ketentuan  tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan pengertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian perkawinan termasuk tentang isi dari perjanjian perkawinan. Hanya pada Pasal 29 ayat (2) diterangkan tentang batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat perjanjian perkawinan yaitu yang berbunyi: Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.Tidak adanya pengertian yang jelas tentang perjanjian perkawinan maka di antara para ahli terdapat juga perbedaan dalam memberikan pengertian tentang perjanjian perkawinan. Berikut beberapa pengertian perjanjian perkawinan menurut beberapa ahli, salah satunya Salim HS memberikan pengertian bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami-istri sebelum atau pada saat perkawinan di langsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.

Pasal 149 Kitab Undang-undang Hukum Perdata secara tegas menyatakan bahwa setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak boleh diubah. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana di dalam pasal 29 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat dirubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. Asas tidak dapat diubahnya perjanjian kawin ini berkaitan dengan sistem harta benda perkawinan yang dipilih oleh suami istri pada saat berlangsungnya perkawinan yang menyadarkan pada pokoknya akan kekhawatiran, bahwa semasa perkawinan sang suami dapat memaksa istri untuk mengadakan perubahan yang tidak diinginkan oleh istrinya.

Pada dasarnya larangan untuk merubah perjanjian kawin ialah untuk melindungi kepentingan pihak ketiga yaitu mencegah timbulnya kerugian dari kemunginan terjadinya penyalahgunaan oleh suami dan istri, yang sengaja dilakukan untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab. Namun berdasarkan asas lex specialis derogat lex generalis maka yang digunakan menjadi dasar hukum untuk perubahan perjanjian perkawinan ialah Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Apabila suatu perjanjian tidak dikategorikan sebagai commercial contract, maka dapat dikatakan perjanjian tersebut tidak mempunyai akibat hukum dan karenanya para pihak yang membuatnya tidak terikat (not to be legally bound). Domestic contract lebih mengarah pada hubungan-hubungan pribadi (the subject matter) daripada hubungan hukum diantara para pihak yang membuatnya. Hal terpenting adalah perjanjian perkawinan tidak dapat dikategorikan sebagai kontrak komersial (commercial contract). Oleh karena itu, apabila dalam pelaksanaan perjanjian perkawinan terdapat pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan tidak dapat melakukan gugatan atas dasar wanprestasi.

Pasal 149 KUHPerdata mengatur dengan tegas bahwa “Setelah Perkawinan berlangsung, Perjanjian Perkawinan dengan cara bagaimanapun, tidak boleh diubah”. Bunyi pasal tersebut berarti menurut ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, pasangan suami-istri yang membuat Perjanjian Perkawinan tidak diijinkan atau dilarang untuk melakukan perubahan terhadap isi Perjanjian Perkawinan tersebut setelah perkawinan mereka berlangsung. Apabila para pihak dalam Perjanjian Perkawinan ingin melakukan perubahan atas isi Perjanjian Perkawinannya, maka segala perubahan yang dikehendaki harus dilakukan sebelum perkawinan berlangsung dan perubahan-perubahan tersebut harus dituangkan dalam bentuk akta dan tidak diperkenankan untuk menuangkan perubahan tersebut dalam bentuk lainnya.

Pengaturan mengenai larangan perubahan Perjanjian Perkawinan yang terdapat dalam Pasal 149 KUHPerdata berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa: “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga”. Hal ini berarti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih memberikan peluang bagi pasangan suami-istri sebagai para pihak dalam Perjanjian.

Perkawinan untuk melakukan perubahan terhadap isi dari Perjanjian Perkawinan yang mereka buat bahkan setelah berlangsungnya perkawinan. Perubahan yang dibuat oleh para pihak dapat dilakukan apabila sebelumnya telah diperjanjikan terlebih dahulu dan perubahan yang akan dibuat nantinya tidak akan merugikan pihak ketiga yang terkait dalam Perjanjian Perkawinan tersebut. Apabila perubahan yang dilakukan membawa kerugian bagi para pihak maupun pihak ketiga maka Perjanjian Perkawinan tersebut dapat dibatalkan atau bahkan dapat dinyatakan batal demi hukum.

Perjanjian perkawinan harus mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan sebagai salah satu syarat sahnya.Akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan adalah batal (nieteg van rechtwege), perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, sehingga berlakulah prinsip kedudukan harta benda dalam perkawinan (pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Dengan demikian berarti terjadilah “pemisahan harta” atau kebersamaan harta benda hanya terbatas pada harta bersama yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung yang bukan berasal dari hadiah/hibah atau warisan. Prinsip kedudukan harta perkawinan inilah yang sangat berbeda dengan kedudukan harta kekayaan menurut KUHPerdata.

Perjanjian Perkawinan atau perjanjian pranikah (prenuptial agreement) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang – Undang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut, berarti perjanjian itu harus diadakan sebelum dilangsungkannya perkawinan. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan apabila melanggar batas – batas hukum, agama dan kesusilaan (pasal 29 ayat (2)) serta dalam pasal 29 ayat (3) menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung.
                               
Sumber:
Kitab undang-undang hukum perdata (KUHPerdata )
UU no 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan
Prawirohamidjojo,Soetojo dan Wasis Safioedin.1973.Hukum Orang Dan Keluarga.Bandung:Penerbit Alumni.
SH,Salim.2002.Hukum Pertdata Tertulis (BW).Yogyakarta:Sinar Grafika.

Subekti.1983.Pokok-Pokok Hukum Perdata.Jakarta:PT Intermasa.

Tidak ada komentar: