Minggu, 09 Juni 2013

Degradasi Bahasa Panginyongan


         
     Oleh :
Luthfi Kalbuadi[1]

                                     
Sebuah adagium mengatakan bahwa bahasa adalah salah satu simbol peradaban manusia, selain menulis. Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan sekaligus alat komunikasi yang dapat mengakumulasikan sejumlah pengetahuan yang bermanfaat dari diri sendiri[2]. Sebenarnya tanpa bahasapun proses interaksi sosial secara verbal ini dapat berlangsung, seperti halnya  binatang. Tapi inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Seekor beruk bisa saja memberikan informasi kelompoknya bahwa ada segerombolan gorila datang menyerang, namun secara bahasa ia tidak dapat mengungkapkannya melalui jalan pikiran yang analitis mengenai gejala tersebut, ataupun bisa diumpamakan dengan  kalimat : tidak ada seekor anjingpun yang secara sadar  tukar menukar  tulang dengan temannya [3]. Karena itulah bahasa menjadi penting kedudukannya karena  dapat mempermudah manusia dalam berkomunikasi dan juga pembeda antara hewan dengan manusia. 
Di Banyumas, daerah yang menjadi fokus pembicaraan kita seterusnya ini terdapat sebuah bahasa asli yang digunakan masyarakat Banyumas untuk berinteraksi, yang kerap disebut sebagai bahasa atau dialek ngapak. Eksistensi bahasa Banyumasan alias dialek ngapak di Banyumas sediri sudah sekian lama ada dan telah diketahui masyarakat Indonesia, walaupun penggunaannya masih dianggap kalah populer dengan dialek medok milik daerah Pulau Jawa bagian wetan (timur). Bahasa ngapak sering di gunakan pelawak atau  pemain sinetron yang berperan sebagai tokoh penghibur yang mana sebenarnya hal ini berpotensi menurunkan wibawa dari bahasa ngapak. Tapi disisi lain kita tentu tidak boleh begitu saja menganggap bahwa ini merupakan sebuah penghinaan . Coba lihat film berjudul  Sang Penari arahan Ifa Isfansyah yang tidak lain adalah hasil visualisasi dari Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Thohari, novelis asal Jatilawang (Banyumas) yang didalamnya dihiasi bahasa ngapak dalam dialog yang digunakan antartokoh  . Hal ini  melainkan justru  dapat berperan sebagai sarana agar masyarakat Indonesia mengetahui bahasa ngapak sebagai salah satu aset budaya yang harus dilestarikan.
            Dilestarikan, artinya dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga dan harus dipertahankan . Sama halya dengan identitas orang asli banyumas dapat digambarkan melalui dialek ini, yang mana orang banyumas digambarkan sesuai karakteristik Bawor sebagai simbol banyumas yakni orang yang ceplas ceplos dan suka meminta (ini negatifnya) namun suka menolong sesamanya (ini positifnya). 
         Keadaan Banyumas sekarang tergolong pesat perkembangannya dari sekedar kota wisata menjadi kota pelajar. Ya, kota pelajar. Sebuah julukan yang sebelumnya hanya kita tahu dari daerah tetangga, Yogyakarta. Keberadaan Unsoed (Universitas Jenderal Soedirman )  sebagai salah satu perguruan tinggi yang berdiri sejak tahun 1960-an telah menarik minat belajar masyarakat lokal dan interlokal, khususnya yang berasal dari wilayah sekitar Banyumas dan Jawa bagian Barat (Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, Jakarta, dll). Banyumas, menurut mereka mempunyai daya tarik tersendiri[4]. Living cost yang terjangkau ,bahkan cenderung murah dan kondisi lalu lintas  yang jauh dari macet membuat kaum pendatang khususnya mahasiswa tergiur mencicipinya. Nah, adanya pertemuan antara mahasiswa asli Banyumas dan sekitarnya ini dengan mahasiswa asal Jawa bagian Barat tadi khususnya dari Jakarta mengakibatkan terjadinya akulturasi kebudayaan, yakni bercampurnya dua kebudayaan atau lebih yang saling mempengaruhi. Mulai dari gaya hidup, hingga yang paling kental terasa adalah bahasa.  Anak Jakarte  dengan gueh – eloh nya sebagai “bahasa ibu”, digunakan dalam percakapan sehari hari kepada sesama pendatang dari Jakarta maupun orang orang diluar itu, termasuk orang Banyumas sendiri. Wong Banyumas yang tidak terbiasa dengan dialek semacam itu akhirnya karena terbiasa juga, maka mayoritas mulai menirukan dialek Betawi tersebut. 
          Perbedaan latar belakang sosial budaya yang seperti ini menghasilkan sesuatu yang dinamakan distorsi komunikasi[5].  Pengalaman penulis selama kurang lebih hampir 3 tahun menjalani studi secara akademis maupun kultural melalui pengamatan yang kurang mendetail namun intens memperhatikan , membuktikan bahwa memang ada beberapa teman mahasiswa yang asli Banyumas atau sekitarnya yang lebih memilih menggunakan dialek betawi dalam berkomunikasi kepada teman temannya yang lain, sekalipun dengan sesama temannya yang juga sesama Banyumas itu. Latah? Mungkin iya. Telinga inipun kerap gatal dan risih bila menjumpai hal hal tersebut.  Sebuah hal yang memprihatinkan luar biasa bila orang Banyumas malu menggunakan bahasa nenek moyangnya sendiri. Bahasa yang seharusnya- paling tidak- dapat  dimengerti kaum pendatang sebagai bentuk penyesuaian dan adaptasi diri dan dapat diajarkan oleh putra asli daerah.
            Melihat fenomena ini, dialek ngapak yang juga sebagai salah satu jatidiri masyarakat banyumas menghadapi ancaman yang diejawantahkan dalam bentuk:
1.      Cultural lag, Adanya ketidakseimbangan perubahan antara budaya material dan inmaterial dan;
2.      Cultural shock (guncangan kebudayaan). Ada ketidaksesuaian antar unsur yang berbeda menghasilkan pola kehidupan yang tidak serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Budaya yang masuk ke masyarakat tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan.[6]

    Menurut pembagian diatas, teman teman penulis yang tadi dimaksud, menurut penulis menunjukkan indikasi adanya cultural shock atau guncangan kebudayaan terhadap kebudayaan yang baru dirasakan,didengar dan dilihatnya tersebut. Istilah jawanya nggumun atau heran. Rasa heran ini yang kemudian ditiru, dan karena secara tidak sadar proses itu  diulanginya secara terus  menerus menjadi suatu habitus atau kebiasaan. Inilah yang menyebabkan penurunan atau degradasi kebudayaan banyumas yang dapat menjadi bom waktu. Jika dikatakan sebagai proses adaptasi terhadap teman teman baru yang berasal dari luar Banyumas justru ini yang terbalik. Bukankah teman teman yang berasal dari luar Banyumas yang seharusnya menyesuaikan diri terhadap kultur banyumasan?. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa kaum pendatang harus hafal kosakata ngapak dan paham hal hal seputar Banyumas, tapi cukuplah hanya sekedar tahu saja dan dimaknai sebagai pengetahuan saja. Ketika ingin sama sama bergaul dan bersosialisasi, gunakan saja bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan agar orang Banyumas dan luar Banyumas dapat saling berkomunikasi dengan lancar. Bila sudah begitu, apa yang tadi disebut dengan istilah distorsi komunikasi  dapat diminimalisir. Generasi muda Banyumas  sudah seharusnya bangga mempunyai dan menggunakan bahasa ngapak, karena bila perilaku seperti yang dicontohkan tadi diatas terus menerus dilakukan, bukan tidak mungkin bahasa ngapak akan punah. Dan kelak, kepunahan ini akan menjadi dosa besar bagi para generasi penerus Banyumas.

Ayuh, aja isin isin nganggo basa ngapak. Ora ngapak, ora kepenak!



[1] Mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed Angkatan 2010. Bercita cita menjadi penari latar.
[2] Hariyono,P. ; 2000; Pemahaman Kontekstual Tentang Ilmu Budaya Dasar ;Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hlm  53
[3] Suriasumantri, S. ,Jujun; 2009; Filsafat Ilmu; Penerbit Pustaka Sinar Harapan,Jakarta. Hlm 40
[4] Hasil wawancara dengan sejumlah kawan penulis dari Jawa barat dan DKI.
[5] Suatu gejala penyimpangan dalam hal pengiriman dan penerimaan pesan secara verbal. A.W, Suranto; 2010; Komunikasi Sosial Budaya; Graha Ilmu, Yogyakarta. Hlm. 56
[6] Ibid, Hlm 82

Tidak ada komentar: