Oleh :
Panji Mulkillah Ahmad
Tindik yang melekat di hidungnya berkilau
di bawah sinar matahari, seraya suaranya menyerukan pendidikan berdengung
memanasi massa di jalanan. Nama lengkapnya ialah Camila Vallejo Dowling,
seorang mahasiswi jurusan Geografi Universitas Chile sekaligus Presiden dari
FECH (Federasi Mahasiswa Universitas Chile). Perempuan cantik ini ialah
pemimpin gerakan pendidikan di Chile.
Sudah sejak 2011, mahasiswa-mahasiswi Chile berjuang atas pendidikan. Kebijakan yang dibuat
oleh rezim yang memimpin mulai dari era Presiden Pinochet sampai Presiden
Pinera membuat gejolak yang luar biasa dalam masyarakat, yaitu privatisasi
pendidikan. Hampir separuh lembaga pendidikan di Chile adalah berbadan hukum privat/swasta,
sedangkan sisanya ialah lembaga pendidikan semi-swasta dan hanya segelintir
saja yang berbadan publik/negeri. Imbasnya ialah pengerukan laba besar-besaran
dari pelajar dan mahasiswa, yang dianggap sebagai konsumen atas komoditi jasa
layanan pendidikan. Hal ini dilakukan dengan berbagai macam cara seperti
pemangkasan anggaran pendidikan, pengurangan subsidi, sampai berbagai kemitraan
dengan perusahaan swasta yang bahkan sampai mempengaruhi kurikulum pendidikan. Dampaknya
ialah sebagaimana dilansir oleh Daily
Beast bahwa di Chile sebanyak 52% orang tidak mampu meneruskan sekolah.
Camila mengkhawatirkan kondisi seperti ini sehingga ia bertekad untuk mengubah
sistem pendidikan di Chile.
Camila berulang kali memimpin aksi massa. Namun aksi yang dilakukan
tidak seperti aksi-aksi pada umumnya. Aksi dilakukan dengan cara-cara yang unik
seperti flashmob, menggandeng
orangtua pelajar dan mahasiswa, bahkan turut mengajak guru dan dosen turut
serta untuk aksi. Camila percaya bahwa aksi kolektif sangatlah signifikan.
“Kita tidak akan mampu mengubah pendidikan kita yang sangat neoliberal tanpa
aksi kolektif”, pesannya sebagaimana dalam video yang diunggah via youtube.
Menteri Pendidikan Chile berulang kali mengadakan pertemuan dengan
massa aksi. Namun diplomasi-diplomasi cenderung gagal karena pemerintah Chile
cenderung menolak perubahan. Bahkan Presiden Pinera berujar dengan santainya,
“anda mungkin mengharapkan kesehatan dan pendidikan dapat segera gratis, namun
di akhir perjalanan anda sendiri akan menyadari bahwa segala sesuatu tidak ada
yang gratis”.
Selain aksi massa,
Camila juga melakukan jajak pendapat kepada setiap warga Chile diatas usia 14
tahun melalui jejaring online dan institusi-institusi publik. Jajak pendapat
itu memberi 3 pertanyaan kepada warga Chile : (1)
Apakah responden setuju dengan tuntutan pendidikan berkualitas, pendidikan
gratis di semua jenjang, dan didanai oleh negara? (2) Apakah responden setuju
dengan tuntutan manajemen pendidikan yang terdesentralisasi di pemerintah kota?
(3) Apakah responden setuju untuk menolak privatisasi sistem pendidikan publik?.
Hasilnya sebanyak 79 % warga
Chile menyatakan setuju pada ketiga pertanyaan tersebut. Hasil jajak pendapat
ini disebut juga plebisit, yang mana dijadikan dasar legitimasi untuk mengubah
ketentuan dalam Konstitusi Chile karena Konstitusi Chile ternyata membolehkan
jual-beli pendidikan.
Camila Vallejo hanyalah satu dari banyak orang yang berjuang untuk
pendidikan. Kita mengingat di Indonesia juga banyak pejuang pendidikan mulai
dari Kartini, Dewi Sartika, Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, KH Ahmad Dahlan,
Mangunwijaya, Anis Baswedan, sampai Darmaningtyas. Namun dari sekian pejuang
itu, sampai sekarang pendidikan masih belum dapat dirasakan secara merata ke
setiap lapisan masyarakat. Mungkinkah sosok seperti Camila Vallejo juga harus
ada di Indonesia?