Rabu, 29 September 2010

PRIVASI WARGA VS NEGARA

Oleh :
ANGGA AFRIANSHA.AR
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto
d/a Kampus Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto
Jl. HR Boenyamin, Grendeng, Purwokerto
email : Angga_mars@yahoo.com

Perampasan atas privasi warga, frasa ini nampaknya teramat tepat untuk menggambarkan fenomena beredar luasnya rekaman video porno yang diduga melibatkan Ariel dan Luna Maya serta Cut Tari belakangan ini. Alih-alih melindungi mereka sebagai korban, negara melalui aparatnya justeru terkesan hendak mengkriminalisasi ketiga pesohor yang terampas hak asasi atas kehidupan privatnya itu. Hak mereka sebagai warga negara yang seharusnya dilindungi teringkari tak saja oleh orang yang mengunggah video itu ke ranah publik namun juga oleh negara. Menarik dipertanyakan di sini  adalah tepatkah negara mengkriminalisasi warganya yang justeru menjadi korban?
Sesungguhnyalah instrumen komunikasi, maupun multimedia  diciptakan dengan tujuan untuk memudahkan kehidupan manusia. Telepon genggam dengan fungsi kamera dan perekam video didesain untuk menangkap momen-momen yang dianggap istimewa. Dalam konteks kasus video mirip para artis, rekaman terkait dimaksudkan sebagai kenangan guna kepentingan pribadi, tak sekali-kali dibuat untuk tujuan yang komersil sifatnya. Hukum, demikian Rousseau (Tanya, Simanjuntak, Hage, 2010:86),  merupakan tatanan publik, sementara keberadaan sejati manusia sebagai individu memiliki otonomi etis memiliki hak asasi, hak-hak dasar (fundamental rights) yang harus dilindungi negara. Dalam konstruksi teori perjanjian masyarakat (social contract) negara ada dibentuk masyarakat untuk melindungi masyarakat, sesuatu yang pada mulanya sebelum ada negara dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Dalam konteks rekaman video mirip Ariel, Luna, dan Cut Tari tersebut, ketiga pesohor tersebut teramat jelas menjadi korban. Privasi mereka sebagai individu dirusak oleh orang yang tak bertanggungjawab. Tak saja ketiganya, pelaku juga mempunyai kesalahan besar karena akibat perbuatannya, sesuatu hal pribadi tersebut menjadi terekspos dan diakses oleh begitu banyak orang yang belum tentu cukup dewasa untujk mengaksesnya. Efek negatif dari pemanggilan Ariel-Luna adalah terbentuknya stigma masyarakat bahwa mereka tidak bermoral, pantas dihukum, cacian, bahkan dimaki dan dampaknya lebih dari sekedar pidana yaitu citra buruk. Ibarat pepatah, habis jatuh tertimpa tangga. Ariel, Luna,dan Cut Tari menjadi korban untuk ketiga  kali: karena terampas haknya akan privasi oleh warga negara lain yang tak bertanggungjawab, karena kriminalisasi oleh negara, dan stigmatisasi negatif oleh masyarakat.
Setidaknya tiga hal yang patut dicermati dalam kasus video tersebut. Pertama, motif pembuatan video. UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU  tidak memberikan larangan atau bahkan mengkriminalkan orang yang membuat video porno sekedar untuk dikenang berdua sebagai memorabilia. Kedua, terkait siapa yang bertanggungjawab terhadap penyebaran video porno tersebut. Tanggung jawab dalam perspektif hukum berarti siap apabila terjadi sesuatu untuk dituntut, digugat atau dipersalahkan dan ini tugas lembaga kepolisian untuk menemukan siapa yang bertanggung jawab dalam penyebaran video panas belakangan ini. Ketiga, label yang muncul pada Ariel-Luna. Dua premis yang harus disikapi dari teori labeling yang dimunculkan Micholowsky (Nitibaskara, 2008:79) adalah; kejahatan merupakan kualitas dari reaksi masyarakat atas tingkah laku seseorang; Reaksi itu menyebabkan tindakan seseorang dicap sebagai penjahat. Reaksi masyarakat terhadap video Ariel, Luna, dan Cut Tari sebagian besar menempatkan korban dalam label orang jahat. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari negara dan pencitraan dari negara yang memanggil mereka untuk dimintai keterangan padahal belum tentu orang yang berada di dalam video itu adalah ketiga orang pesohor tersebut.
Ambigu, itulah yang dapat disimpulkan dalam perlindungan hak asasi warga di negara ini.  Di satu sisi negara secara formal mengakui hak-hak warga akan haknya atas privasi, namun secara simultan memberangus hak mereka dengan ekses tindakan yang dilakukan lembaga berikut aparat penegak hukumnya. Alih-alih dilindungi sebagai korban, dalam kasus video mirip Ariel, Luna, dan Cut Tari citra kriminal (dan bukannya korban) berikut label negatif yang ‘terpasang’ dan hak privasi yang terdeprivasilah yang hegemonik. Sangat boleh jadi, akan tiba masanya di negeri ini keadaan di mana penikmatan hak atas privasi bukannya mendapat perlindungan yang kukuh, melainkan diingkari oleh negara dan dianggap sebagai nista.

Tidak ada komentar: