Eby Julies. O
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto
d/a Kampus Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto
Jl. HR Boenyamin, Grendeng, Purwokerto
email : ebyjuliesonovia@gmail.com
Seseorang yang berfilsafat dapat diumpamakan orang yang berpijak di bumi sedang tengadah kebintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seseorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang di tatapnya. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan yang lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan pada dirinya. Seorang yang berpikir filsafati selain tengadah kebintang-bintang, juga membongkar tempat berpijak secara fundamental.(Suriasumantri, 2002 : 20)
Begitu pula sebuah organisasi. Layaknya ilmu bagi ilmuwan, seorang organisatoris harus mampu menelaah kembali keberadaannya di kesemestaan organisasi. Berpikir kembali menyoal tujuan semula, berani mengevaluasi diri sudah sejauh mana dapat bermanfaat dan apakah sudah melakukan pencapaian yang berarti. Diperlukan nyali yang tidak kecil untuk dapat lebih jujur dalam memandang diri, pencapaian diri terhadap tujuan. Kadang begitu terlena disibukkan dengan hal remeh-temeh kehidupan tanpa mengerti kenapa harus dilakukan. Kegiatan berpikir kembali semacam ini dianggap sesuatu yang menyulitkan dalam perjalanan. Seakan semua sudah semestinya terjadi. Kita terlalu takut untuk berpikir.
Berpikir apakah organisasi ini bermanfaat untuk kita. Berpikir apakah organisasi ini merupakan tempat yang cocok untuk kita berkembang. Berpikir seberapa besar kontribusi yang telah kita berikan. Berpikir kembali apa yang sebenarnya didapatkan dari organisasi untuk diri kita. Apakah hal-hal tersebut membawa kebahagiaan. Apakah kita sudah menjadi seorang organisatoris sesungguhnya? Sekali lagi saya katakan, kita terlalu takut untuk berpikir.
Alih-alih menjalankan roda organisasi, kita semakin lupa tujuan awal ketika berkomitmen. Terlalu disibukkan oleh program kerja. Bukan tidak mungkin akan terbentuk pola pikir bahwa berorganisasi adalah menjalankan program kerja. Saya yakin, sebagaimana pengalaman pribadi ketika berkomitmen memasuki organisasi ini adalah untuk menjadi organisatoris hebat yang antara lain, dapat berpikir sistematis, belajar berbicara didalam forum, pengkajian dan analisa masalah hukum dan sosial, belajar berdiskusi dan penelitian, manajemen waktu, profesionalisme tanggung jawab dan banyak lagi. Lalu bagaimanan dengan pelaksanaan dan pencapaian? Saya yakin sudah, namun optimalkah?
Pada tahap ini, saya berhenti sejenak mencari istilah yang tepat untuk menggambarkan perasaan saya. Akhirnya didapatkan kata Re-thinking yang saya artikan ‘berpikir kembali’. Saya terlalu enggan menyebutnya “kesalahan berpikir”.
Bukti-bukti lain kekeliruan berpikir disini dapat ditemukan ketika seseorang ditanya mengenai “Apa itu Organisasi?”, banyak orang akan menjawab “Organisasi adalah sebuah wadah untuk mencapai tujuan bersama”. Bahaya laten yang saya takutkan adalah seorang organisatoris tidak mengetahui apa yang sebenarnya disebut dan ada di sebuah organisasi, apakah hanya sekedar wadah untuk mencapai tujuan bersama?
Meminjam teori Stephen yang mendefinisikan organisasi bukan sekadar kumpulan orang dalam kelompok atau jamaah tertentu. Tetapi organisasi mempunyai dua atribut inti yakni sekumpulan orang dan sistem. Sistem adalah kesatuan nilai integral yang dianut dan dipatuhi untuk dijalani bersama agar mencapai tujuan bersama (bukan sekadar tujuan yang sama). Di lingkup LKHS, sistem kesatuan nilai integral tersebut bisa kita katakan sebagai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga( AD/ART) dan Garis Besar Haluan Kerja (GBHK) yang menjadi acuan sistem kerja dalam menjalankan roda organisasi. Sehingga dalam bekerjanya sebuah organisasi tetap mengacu pada jalur yang sistematis dan integral. Lalu bagaimana konsekuensinya apabila organisasi didefinisikan hanya “sebuah wadah untuk mencapai tujuan yang sama?”. Kita dapat menemukan banyak bentuk yang sesuai dengan definisi tersebut disekitar kita, pangkalan ojek, pangkalan becak, sekumpulan mahasiswa yang sedang belajar bersama ditaman atau didalam kelas, para pedagang di pasar yang menunggui dagangan mereka, apakah ini disebut organisasi? Kalau kita mengacu pada definisi singkat diatas jawabannya “ya, itu dapat disebut organisasi”, ada sekumpulan orang, ada tujuan bersama, entah itu belajar, berdagang atau jasa becaknya, namun apakah mereka saling ter-integrasi dan sistematis? Tentu saja berbeda dengan teori Stephen tentang organisasi diatas.
Bermula dari anggapan-anggapan tersebut, ada baiknya mari berpikir kembali menyoal kepahaman kita mengenai organisasi. Kembali pada komitmen awal untuk menjadi organisatoris hebat, dapat berpikir sistematis, belajar berbicara didalam forum, pengkajian dan analisa masalah hukum dan sosial, belajar berdiskusi dan penelitian, manajemen waktu dan profesionalisme tanggung jawab harus dengan sungguh-sungguh dihayati dan diasah.
Pola pikir yang selama ini ada yakni berorganisasi adalah menjalankan program kerja harus diubah. Dimulai dengan pembenahan pola pikir kita sehingga dalam memandang sesuatu dapat secara efektif, efisien dan tepat sasaran. Dengan menjalankan program kerja, kita dilatih tepat waktu di setiap rapat persiapan maupun hari pelaksanaan, dengan adanya rapat persiapan kita dapat berlatih berdialektika didalam forum, dengan adanya pembagian tugas masing-masing divisi kepanitiaan kita berlatih menyelesaikan tanggung jawab secara profesional, dengan adanya pembahasan konsep kegiatan kita berlatih berpikir sistematis, dengan membahas topik dan tema kita melatih analisa permasalahan hukum dan sosial, dan banyak lagi manfaat yang saling menyatu dan bisa didapatkan secara optimal kalau saja kita dapat menyadarinya. Masing-masing juga harus menyadari tentang tugas dan peranannya, dimulai dengan garis koordinasi, tanggung jawab masing-masing divisi, sampai pada kesadaran diri pribadi tentang peranan dan kontribusinya didalam organisasi. Masing-masing kita harus berani melihat kehadiran kita pada kesemestaan dunia dan memastikan kontribusi kita didalamnya. Dengan menyadari hal-hal tersebut diharapkan dapat membawa pada ‘’suka dan rela’’ berorganisasi, sehingga dalam perjalannya membawa kebahagiaan.
Pada akhirnya, hanya sedikit yang hendak saya katakan pada masing-masing elemen, LKHS adalah wadah ilmiah yang mempunyai tata nilai yang sistematis dan integral yang tercantum dalam AD/ART dan GBHK dan didalamnya kita dapatkan proses ilmiah kita dengan menjalankan roda organisasi sesuai hakikat LKHS yakni pengkajian ilmu hukum dan sosial, sehingga mampu menyebarkan budaya ilmiah didalam maupun diluar fakultas hukum Universitas Jenderal Soedirman.