Oleh : Ahmad Husni .U
Absortus
Provocatus?? Apa itu pastinya tidak asing lagi di telinga
pendegaran kalian semua. Apalagi jika di lihat dari kata “Absortus” tentunya sudah bisa di bayangkan apa sih Absortus Provocatus itu.
Absortus
Provocatus berasal dari bahasa latin yang berarti
keguguran karena kesengajaan. Dalam kamus latin Indonesia sendiri, abortus di
artikan sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran.
Pada dasarnya kata
abortus dalam bahasa latin artinya sama dengan kata aborsi dalam bahasa
indonesia yang merupakan terjemahan dari kata
abortion dalam bahasa inggris. Namun kata abortus atau aborsi itu di
atas masih mengandung arti yang sangat amat luas sekali. Hal ini dengan jelas
di tegsakan dalam Black’s Law Dictionary. Dimana kata abotion (Inggris) yang di
terjemahkan dalam bahasa indonesia menjadi aborsi mengandung dua arti
sekaligus:“tetapi juga karena di sengaja atau terjadi karena adanya campur
tangan (provokasi) manusia”. Oleh karena itu untuk membatasi makna yang terlalu
luas tersebut maka dalam buku karya suryono ekotama istilah abortus provoctus (dalam bahasa
latin) yang menyebut pengguguran
kandungan yang di sengaja oleh manusia.
Setiap
manusia tentu mempunyai hak masing-masing dalam hidup, salah satunya Hak Asasi
Manusia tentang hak-hak wanita secara khusus yang diatur dalam UU N0.39/1999. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.39/1999 yang
diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib di hormati, di junjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Namun dalam UU No.39/1999 ini
tidak di singgung sama sekali tentang soal perlindungan khusus terhadap fungsi
reproduksi bagi perempuan yang mengalami sexual harassement, khususnya perkosaan.
Sementara itu dalam penjelasan pasal 9 ayat (1) UU No.39/1999 di sebutkan:
“Setiap orang berhak atas hidup, mempertahankan kehidupan dan meningkatkan
taraf hidupnya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum
lahir atau orang yang terpidana mati Dalam hal atau keadaan yang luar biasa
yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan
pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam
hal atau kondisi tersebut masih dapat di ijinkan. Hanya dalam dual hal tersebut
itulakh hak untuk hidup di batasi”.
KUHP mengatur berbagai macam kejahatan
maupaun pelanggaran. Salah satunya kejahatan yang diatur dalam KUHP adalah
masalah Abortus Provocatus Ketentuan mengenai abortus provocatus dapat dijumpai
dalam BAB XIV Buku Kedua KUHP tentang kejahatan terhadap kesusialaan (khususnya
pasal 299), BAB XIX KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa (khususnya pasal
346-349). Sementara Undang-Undang kesehatan mengatur mengenai masalah aborsi
yang secara substansial berbeda dengan KUHP. Aborsi sendiri dalam undang-udang
kesehatan diatur dalam pasal 75 s/d 78
UU No.36 Tahun 2009 . Dalam kasus Abortus Provocatsu, minimal ada dua
orang yang terkena ancaman pidana, yakni si perempuan itu sendiri yang hamil
serta barang siapa yang senagaja membantu si peremmpuan tersebut menggugurkan
kandungannya. Dalam KUHP ini tidak diberikan penjelasan mengenai pengertian
kandungan itu sendiri dan memberikan arti yang jelas mengenai aborsi dan
membunuh (mematikan) kandungan. Dengan demikian kita mengetahui bahwa KUHP
hanya mengatur mengenai aborsi provocatus kriminalis, dimana semua jenis
aborsi dilarang dan tidak diperbolehkan oleh undang-undang apapun alasannya,
Pengaturan aborsi provocatus di dalam KUHP yang merupakan warisan zaman
belanda bertentangan dengan landasan dan politik hukum yaitu “melindungi
segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteran umum berdasarkan
pancasila dan UUD 1945 karena melarang aborsi provocatus tanpa
pengecualian”. Hal ini dirasa sangat memberatkan kalangan medis yang terpaksa
harus melakukan aborsi provocatus untuk menyelamatkan jiwa si ibu yang selama
ini merupakan pengecualian diluar perundang-undangan. Kebutuhan akan peraturan
perundang undangan baru tersebut dipenuhi dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang
kesehatan pengganti UU No 23 Tahun 1992. Pada perkembangannya peraturan
mengenai aborsi provocatus atau aborsi kriminalis dapat dijumpai
dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jika pada Pasal 299 dan
346-349 KUHP tidak ada diatur masalah aborsi provocatus medicalis. Apabila ditelaah lebih jauh, kedua
peraturan tersebut berbeda satu sama lain. KUHP mengenal larangan aborsi
provocatus tanpa kecuali, termasuk aborsi provocatus medicalis atau
aborsi provocatus therapeuticus. Tetapi Undangundang No 36 Tahun 2009
justru memperbolehkan terjadi aborsi provocatus medicalis dengan
spesifikasi therapeutics. Dalam konteks hukum pidana, terjadilah
perbedaan antara peraturan perundang-undangan yang lama (KUHP) dengan peraturan
perundang-undangan yang baru. Padahal peraturan perundang undangan disini
berlaku asas “lex posteriori derogat legi priori“. Asas ini beranggapan
bahwa jika diundangkan peraturan baru dengan tidak mencabut peraturan lama yang
mengatur materi yang sama dan keduannya saling bertentangan satu sama lain,
maka peraturan yang baru itu mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang
lama11.
Dengan demikian, Pasal 75 UU No 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang aborsi provocatus medicinalis tetap dapat berlaku di Indonesia meskipun sebenarnya aturan berbeda dengan rumusan aborsi provocatus criminalis menurut KUHP. Asas ini berfungsi untuk menjelaskan berlakunya pasal 75-78 ketika harus dikontfrontasikan dengan pasal-pasal KUHP yang mengatur masalah abortus provocatus. Melihat rumusan Pasal 75 UU No 36 Tahun 2009 tampaklah bahwa dengan jelas UU No 36 Tahun 2009 melarang aborsi kecuali untuk jenis aborsi provocatus therapeuticus (aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa si ibu dan atau janinnya). Dalam dunia kedokteran aborsi provocatus medicalis dapat dilakukan jika nyawa si ibu terancam bahaya maut dan juga dapat dilakukan jika anak yang akan lahir diperkirakan mengalami cacat berat dan diindikasikan tidak dapat hidup diluar kandungan, misalnya janin menderita kelainan ectopia kordalis (janin yang akan dilahirkan tanpa dinding dada sehingga terlihat jantungnya), rakiskisis (janin yang akan lahir dengan tulang punggung terbuka tanpa ditutupi kulit) maupun anensefalus (janin akan dilahirkan tanpa otak besar).
Dengan demikian, Pasal 75 UU No 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang aborsi provocatus medicinalis tetap dapat berlaku di Indonesia meskipun sebenarnya aturan berbeda dengan rumusan aborsi provocatus criminalis menurut KUHP. Asas ini berfungsi untuk menjelaskan berlakunya pasal 75-78 ketika harus dikontfrontasikan dengan pasal-pasal KUHP yang mengatur masalah abortus provocatus. Melihat rumusan Pasal 75 UU No 36 Tahun 2009 tampaklah bahwa dengan jelas UU No 36 Tahun 2009 melarang aborsi kecuali untuk jenis aborsi provocatus therapeuticus (aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa si ibu dan atau janinnya). Dalam dunia kedokteran aborsi provocatus medicalis dapat dilakukan jika nyawa si ibu terancam bahaya maut dan juga dapat dilakukan jika anak yang akan lahir diperkirakan mengalami cacat berat dan diindikasikan tidak dapat hidup diluar kandungan, misalnya janin menderita kelainan ectopia kordalis (janin yang akan dilahirkan tanpa dinding dada sehingga terlihat jantungnya), rakiskisis (janin yang akan lahir dengan tulang punggung terbuka tanpa ditutupi kulit) maupun anensefalus (janin akan dilahirkan tanpa otak besar).
Suatu hal yang merupakan kelebihan dari
pasal-pasal aborsi provocatus Undang-undang No 36 tahun 2009 adalah ketentuan
pidananya. Ancaman pidana yang diberikan terhadap pelaku aborsi provocatus
kriminalis jauh lebih berat dari pada ancaman pidana sejenis KUHP. Dalam
Pasal 194 Undang-undang No 36 Tahun 2009 pidana yang diancam adalah pidana
penjara paling lama 10 tahun. Dan pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000.000,- (satu milyar). Sedangkan dalam KUHP, Pidana yang diancam
paling lama hanya 4 tahun penjara atau denda paling banyak tiga ribu rupiah
(Pasal 299 KUHP), paling lama empat tahun penjara (Pasal 346 KUHP), Paling lama
dua belas tahun penjara (Pasal 347 KUHP), dan paling lama lima tahun enam bulan
penjara (Pasal 348 KUHP).
Ketentuan pidana mengenai aborsi
provocatus kriminalis dalam Undang undang No 36 Tahun 2009 dianggap Relevan
karena mengandung umum dan prevensi khusus untuk menekan angka kejahatan aborsi
kriminalis. Dengan merasakan ancaman pidana yang demikian beratnya itu, diharapkan
para pelaku aborsi criminalis menjadi jera dan tidak mengulangi
perbuatannya, dalam dunia hukum hal ini disebut sebagai prevensi khusus, yaitu
usaha pencegahannya agar pelaku aborsi provocatus kriminalis tidak lagi
mengulangi perbuatannya. Sedangkan prevensi umumnya berlaku bagi warga
masyarakat karena mempertimbangkan baik-baik sebelum melakukan aborsi dari pada
terkena sanksi pidana yang amat berat tersebut. Prevensi umum dan prevensi
khusus inilah yang diharapkan oleh para pembentuk Undang-undang dapat menekan
seminimal mungkin angka kejahatan aborsi provocatus di Indonesia.
Jadi dari uraian diatas dapat di tarik
kesimpulan bahwa engaturan Hukum tentang aborsi diatur dalam KUHP dan UU
Kesehatan No 36 Tahun 2009 Menurut Pengaturan Hukum, dalam hukum pidana
Indonesia (KUHP) abortus provocatus criminalis dilarang dan diancam
hukuman pidana tanpa memandang latar belakang dilakukannya dan orang yang melakukan
yaitu semua orang baik pelaku maupun penolong abortus. Ini diatur dalam Pasal
346, 347, 348, dan 349 KUHP. Sedangkan Undang undang No 36 Tahun 2009 Pasal 75,
76, 77 jo Pasal 194 tentang Kesehatan
memberikan pengecualian abortus dengan alasan
medis yang dikenal dengan abortus provocatus medicalis Mengenai legalisasi
terhadap korban perkosaan dan legalisasi aborsi di Indonesia masih menuai
berbagai pro dan kontra dikalangan masyarakat.
Dasar Hukum :
1.UU N0.39/1999 Hak Asasi Manusia
2.KUHP
3.UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
4.UUD 1945
Sumber:
Ekotama, suryono, Harum Pudjiarto dan
widiartama, Abortus Povocatus, bagi
korban perkosaan perspektif: Viktimologi dan hukum pidana. Universitas
Atmajaya, Yogyakarta, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar