Oleh : Yusuf Habibullah
Hak merupakan suatu hal yang baik dan dapat berguna bagi umat manusia sehingga hak merupakan sesuatu yang dapat dikatakan vital dalam kehidupan sehari-hari bagi umat manusia, Dimana sifat dari hak ini adalah dapat mengambil atau pun tidak diambil karena memang merupakan suatu pilihan bagi umat manusia, namun bukan berarti ketika terdapat pilihan tersebut hak ini malah ditahan, dirampas bahkan dikelabui oleh orang yang
berkuasa dimana seolah hak ini bukanlah hak yang seharusnya didapatkan.
Terdapat pula hak yang selalu melekat bagi manusia, yaitu Hak Asasi Manusia dimana dalam hal ini sudah sangat tak asing lagi khususnya pada sebagian mahasiswa fakultas hokum Unsoed, bahkan telah tercantum sebagai salah satu mata kuliah wajib yaitu “HUKUM dan HAM”,
maka cukuplah untuk sebagian mahasiswa ini dapat dikatakan fasih dalam menelaahnya. Di lain
sisi Indonesia
yang menganut faham rechstaat yang mengakui adanya HAM dapat dilihat pada UndangUndang Dasar 1945 pasal 28 yang
mendeskripsikan tentang
HAM.
Namun dengan keadaan yang terbaru
(walaupun cukup lawas) terdapat konflik yang melibatkan atas nama agama didalamnya, bukankah dalam ranah Hak Asasi Manusia pun terdapat unsure kebebasan beragama? Bukankah negara pun
mencamtunmkan secara konstitusional untuk kebebasan beragama? Lalu mengapa masih saja terjadi keributan soal agama?
Memang cukup rancu apabila kita membicarakan soal agama, mungkin hal ini yang menyebabkan seseorang takut sekali terhadap konflik apabila hal ini dibahas lebih dalam, namun apakah salah ketika sedikit menegaskan tentang kebebasan beragama. Hal ini tercantum pada unsur HAM yang termasuk pada hak personal yaitu tentang kebebasan memeluk suatu agama, bahkan konstitusional
Indonesia pun berkata sesuai padaUndang-Undang Dasar 1945 BAB IX
tentang agama pasal 29, dimana pada ayat (1) menyatakan bahwa“Negara bedasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dari ayat tersebut dinyatakan suatu penegasan bahwa Indonesia
merupakan Negara yang berlandaskan ketuhanan yang maha esa. Lalu pada ayat (2) dinyatakan “Negara
menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan”.
Penegasan kembali bahwa Negara Indonesia
menjamin warga negaranya untuk merdeka dalam memeluk agama sertam enjalankan peribadatan sesuai dengan agama dan kepercayaan.
Sesuai acuan pasal 29 ayat (2) yang
menyatakan kebebasan beragama namun terlihat suatu kontradiksi dengan adanya pengakuan secara tidak langsung terhadap 6 agama. Sehingga apabila yang
dimerdekakan dalam konteks beragama lalu mengapa hanya terlimitasi sebanyak 6 agama secara tidak langsung? Maka kemanakah letak pengakuan dan perlindungan Negara terhadap agama lain?
Konsep suatu
agama itu seharusnya dibutuhkan oleh seorang individu, bukan harus menyesuaikan terhadap negara, lantas mengapa masih hadir konsep limitative terhadap agama?
Terdapat limitatif agama yang
secara tidak langsung karena bersifat inkonstitusional yang melibatkan suatu proses
dikriminatif terhadap
agama agama lain dan seolah olah bangsa sendiri telah melupakan konstitusional yang
mecantumkan suatu kemerdekaan beragama. Beranjak kearah konsep suatu agama secara diksi dalam bahasa sansekerta terdapat dua suku kata yaitu A : tidak dan GAMA ; kekacauan dan dalam unsurnya adanya credo dan ritus,
diamana credo berarti tatacara keimanan dan ritus merupakan tatacara peribadatan, berarti konsep ini menyatakan agama memang dibutuhkan oleh individu warganegaranya dan seharusnya tidak terlalu mencocokan kepada kesesuaian negara. Konsep tersebut menyatakan suatu agama bukanlah merupakan suatu kesesatan bagi penganutnya, namun yang dikhawatirkan dengan adanya limitative dalam ranah agama ini terdapat konsep mayoritas dan minoritasyang mana akans angat rentan memicu terjadinya suatu pertikaian hingga menyebabkan perpecahan dalam suatu bangsa.
Lalu mengapa seolah Negara secara tidak langsung memarginalisasi warga negaranya dengan opsi 6 agama tersebut?
Serta bagaimana seandainya Negara tidak memarginalkan terkait hal tersebut?
Dengan adanya permarginalan yang
diharapkan, pemerintah setidaknya dapat mengatasi suatu multi
problematika yang disebabkan dengan adanya multicultural
dari setiap
agama sehingga tidak terjadi suatu kerisuhan, namun tak dapat disadari bahwasanya terdapat suatu kaum minoritas yang
merupakan dampak kurangnya pengakuan hokum atas kehadiran agama yang dianutnya. Seharusnya dalam hal ini pemerintah dapat mengakui dan melindungi kebebasan beragama yang merupakan hak privasi dari setiap warga negaranya karena pada konsep suatu negara yang demokratis ialah “dari rakyat untuk rakyat,” dan bukanlah negara yang terlalu mengekang rakyat layaknya pada prinsip pemerintah yang
otoriter sehingga tidak adanya kaum minoritas maupun mayoritas yang
tercipta.