Rabu, 01 November 2017

Penegakkan Hukum “Absortus Provocatus” Di Indonesia


Oleh : Ahmad Husni .U

Absortus Provocatus?? Apa itu pastinya tidak asing lagi di telinga pendegaran kalian semua. Apalagi jika di lihat dari kata “Absortus” tentunya sudah bisa di bayangkan apa sih Absortus Provocatus itu.

Absortus Provocatus berasal dari bahasa latin yang berarti keguguran karena kesengajaan. Dalam kamus latin Indonesia sendiri, abortus di artikan sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran. 

Pada dasarnya kata abortus dalam bahasa latin artinya sama dengan kata aborsi dalam bahasa indonesia yang merupakan terjemahan dari kata  abortion dalam bahasa inggris. Namun kata abortus atau aborsi itu di atas masih mengandung arti yang sangat amat luas sekali. Hal ini dengan jelas di tegsakan dalam Black’s Law Dictionary. Dimana kata abotion (Inggris) yang di terjemahkan dalam bahasa indonesia menjadi aborsi mengandung dua arti sekaligus:“tetapi juga karena di sengaja atau terjadi karena adanya campur tangan (provokasi) manusia”. Oleh karena itu untuk membatasi makna yang terlalu luas tersebut maka dalam buku karya suryono ekotama istilah abortus provoctus (dalam bahasa latin)  yang menyebut pengguguran kandungan yang di sengaja oleh manusia.

Setiap manusia tentu mempunyai hak masing-masing dalam hidup, salah satunya Hak Asasi Manusia tentang hak-hak wanita secara khusus yang diatur dalam UU N0.39/1999.  Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.39/1999 yang diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya  yang wajib di hormati, di junjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Namun dalam UU No.39/1999 ini tidak di singgung sama sekali tentang soal perlindungan khusus terhadap fungsi reproduksi bagi perempuan yang mengalami sexual harassement, khususnya perkosaan. Sementara itu dalam penjelasan pasal 9 ayat (1) UU No.39/1999 di sebutkan: “Setiap orang berhak atas hidup, mempertahankan kehidupan dan meningkatkan taraf hidupnya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati Dalam hal atau keadaan yang luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut masih dapat di ijinkan. Hanya dalam dual hal tersebut itulakh hak untuk hidup di batasi”.

KUHP mengatur berbagai macam kejahatan maupaun pelanggaran. Salah satunya kejahatan yang diatur dalam KUHP adalah masalah Abortus Provocatus Ketentuan mengenai abortus provocatus dapat dijumpai dalam BAB XIV Buku Kedua KUHP tentang kejahatan terhadap kesusialaan (khususnya pasal 299), BAB XIX KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa (khususnya pasal 346-349). Sementara Undang-Undang kesehatan mengatur mengenai masalah aborsi yang secara substansial berbeda dengan KUHP. Aborsi sendiri dalam undang-udang kesehatan diatur dalam pasal 75 s/d 78  UU No.36 Tahun 2009 . Dalam kasus Abortus Provocatsu, minimal ada dua orang yang terkena ancaman pidana, yakni si perempuan itu sendiri yang hamil serta barang siapa yang senagaja membantu si peremmpuan tersebut menggugurkan kandungannya. Dalam KUHP ini tidak diberikan penjelasan mengenai pengertian kandungan itu sendiri dan memberikan arti yang jelas mengenai aborsi dan membunuh (mematikan) kandungan. Dengan demikian kita mengetahui bahwa KUHP hanya mengatur mengenai aborsi provocatus kriminalis, dimana semua jenis aborsi dilarang dan tidak diperbolehkan oleh undang-undang apapun alasannya, Pengaturan aborsi provocatus di dalam KUHP yang merupakan warisan zaman belanda bertentangan dengan landasan dan politik hukum yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteran umum berdasarkan pancasila dan UUD 1945 karena melarang aborsi provocatus tanpa pengecualian”. Hal ini dirasa sangat memberatkan kalangan medis yang terpaksa harus melakukan aborsi provocatus untuk menyelamatkan jiwa si ibu yang selama ini merupakan pengecualian diluar perundang-undangan. Kebutuhan akan peraturan perundang undangan baru tersebut dipenuhi dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pengganti UU No 23 Tahun 1992. Pada perkembangannya peraturan mengenai aborsi provocatus atau aborsi kriminalis dapat dijumpai dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jika pada Pasal 299 dan 346-349 KUHP tidak ada diatur masalah aborsi provocatus medicalis. Apabila ditelaah lebih jauh, kedua peraturan tersebut berbeda satu sama lain. KUHP mengenal larangan aborsi provocatus tanpa kecuali, termasuk aborsi provocatus medicalis atau aborsi provocatus therapeuticus. Tetapi Undangundang No 36 Tahun 2009 justru memperbolehkan terjadi aborsi provocatus medicalis dengan spesifikasi therapeutics. Dalam konteks hukum pidana, terjadilah perbedaan antara peraturan perundang-undangan yang lama (KUHP) dengan peraturan perundang-undangan yang baru. Padahal peraturan perundang undangan disini berlaku asas “lex posteriori derogat legi priori“. Asas ini beranggapan bahwa jika diundangkan peraturan baru dengan tidak mencabut peraturan lama yang mengatur materi yang sama dan keduannya saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan yang baru itu mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama11. 

Dengan demikian, Pasal 75 UU No 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang aborsi provocatus medicinalis tetap dapat berlaku di Indonesia meskipun sebenarnya aturan berbeda dengan rumusan aborsi provocatus criminalis menurut KUHP. Asas ini berfungsi untuk menjelaskan berlakunya pasal 75-78 ketika harus dikontfrontasikan dengan pasal-pasal KUHP yang mengatur masalah abortus provocatus. Melihat rumusan Pasal 75 UU No 36 Tahun 2009 tampaklah bahwa dengan jelas UU No 36 Tahun 2009 melarang aborsi kecuali untuk jenis aborsi provocatus therapeuticus (aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa si ibu dan atau janinnya). Dalam dunia kedokteran aborsi provocatus medicalis dapat dilakukan jika nyawa si ibu terancam bahaya maut dan juga dapat dilakukan jika anak yang akan lahir diperkirakan mengalami cacat berat dan diindikasikan tidak dapat hidup diluar kandungan, misalnya janin menderita kelainan ectopia kordalis (janin yang akan dilahirkan tanpa dinding dada sehingga terlihat jantungnya), rakiskisis (janin yang akan lahir dengan tulang punggung terbuka tanpa ditutupi kulit) maupun anensefalus (janin akan dilahirkan tanpa otak besar).

Suatu hal yang merupakan kelebihan dari pasal-pasal aborsi provocatus Undang-undang No 36 tahun 2009 adalah ketentuan pidananya. Ancaman pidana yang diberikan terhadap pelaku aborsi provocatus kriminalis jauh lebih berat dari pada ancaman pidana sejenis KUHP. Dalam Pasal 194 Undang-undang No 36 Tahun 2009 pidana yang diancam adalah pidana penjara paling lama 10 tahun. Dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000.000,- (satu milyar). Sedangkan dalam KUHP, Pidana yang diancam paling lama hanya 4 tahun penjara atau denda paling banyak tiga ribu rupiah (Pasal 299 KUHP), paling lama empat tahun penjara (Pasal 346 KUHP), Paling lama dua belas tahun penjara (Pasal 347 KUHP), dan paling lama lima tahun enam bulan penjara (Pasal 348 KUHP).

Ketentuan pidana mengenai aborsi provocatus kriminalis dalam Undang undang No 36 Tahun 2009 dianggap Relevan karena mengandung umum dan prevensi khusus untuk menekan angka kejahatan aborsi kriminalis. Dengan merasakan ancaman pidana yang demikian beratnya itu, diharapkan para pelaku aborsi criminalis menjadi jera dan tidak mengulangi perbuatannya, dalam dunia hukum hal ini disebut sebagai prevensi khusus, yaitu usaha pencegahannya agar pelaku aborsi provocatus kriminalis tidak lagi mengulangi perbuatannya. Sedangkan prevensi umumnya berlaku bagi warga masyarakat karena mempertimbangkan baik-baik sebelum melakukan aborsi dari pada terkena sanksi pidana yang amat berat tersebut. Prevensi umum dan prevensi khusus inilah yang diharapkan oleh para pembentuk Undang-undang dapat menekan seminimal mungkin angka kejahatan aborsi provocatus di Indonesia.

Jadi dari uraian diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa engaturan Hukum tentang aborsi diatur dalam KUHP dan UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 Menurut Pengaturan Hukum, dalam hukum pidana Indonesia (KUHP) abortus provocatus criminalis dilarang dan diancam hukuman pidana tanpa memandang latar belakang dilakukannya dan orang yang melakukan yaitu semua orang baik pelaku maupun penolong abortus. Ini diatur dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Sedangkan Undang undang No 36 Tahun 2009 Pasal 75, 76, 77 jo Pasal 194 tentang Kesehatan
memberikan pengecualian abortus dengan alasan medis yang dikenal dengan abortus provocatus medicalis Mengenai legalisasi terhadap korban perkosaan dan legalisasi aborsi di Indonesia masih menuai berbagai pro dan kontra dikalangan masyarakat.

Dasar Hukum :
1.UU N0.39/1999 Hak Asasi Manusia
2.KUHP
3.UU No.36 Tahun 2009  Tentang Kesehatan
4.UUD 1945

Sumber:
Ekotama, suryono, Harum Pudjiarto dan widiartama, Abortus Povocatus, bagi korban perkosaan perspektif: Viktimologi dan hukum pidana. Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar