Oleh :
Luthfi Kalbuadi[1]
Sebuah
adagium mengatakan bahwa bahasa adalah salah satu simbol peradaban manusia,
selain menulis. Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan sekaligus alat
komunikasi yang dapat mengakumulasikan sejumlah pengetahuan yang bermanfaat
dari diri sendiri[2].
Sebenarnya tanpa bahasapun proses interaksi sosial secara verbal ini dapat
berlangsung, seperti halnya binatang.
Tapi inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Seekor beruk bisa saja
memberikan informasi kelompoknya bahwa ada segerombolan gorila datang menyerang, namun secara bahasa ia tidak dapat mengungkapkannya melalui jalan pikiran
yang analitis mengenai gejala tersebut, ataupun bisa diumpamakan dengan kalimat : tidak ada seekor anjingpun yang
secara sadar tukar menukar tulang dengan temannya [3].
Karena itulah bahasa menjadi penting kedudukannya karena dapat mempermudah manusia dalam berkomunikasi
dan juga pembeda antara hewan dengan manusia.
Di Banyumas, daerah yang menjadi
fokus pembicaraan kita seterusnya ini terdapat sebuah bahasa asli yang
digunakan masyarakat Banyumas untuk berinteraksi, yang kerap disebut sebagai
bahasa atau dialek ngapak. Eksistensi
bahasa Banyumasan alias dialek ngapak di Banyumas sediri sudah sekian lama ada
dan telah diketahui masyarakat Indonesia, walaupun penggunaannya masih dianggap
kalah populer dengan dialek medok milik daerah Pulau Jawa bagian wetan (timur). Bahasa ngapak sering di
gunakan pelawak atau pemain sinetron
yang berperan sebagai tokoh penghibur yang mana sebenarnya hal ini berpotensi
menurunkan wibawa dari bahasa ngapak. Tapi disisi lain kita tentu tidak boleh
begitu saja menganggap bahwa ini merupakan sebuah penghinaan . Coba lihat film
berjudul Sang Penari arahan Ifa Isfansyah yang tidak lain adalah hasil
visualisasi dari Trilogi Novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Thohari, novelis asal Jatilawang (Banyumas) yang
didalamnya dihiasi bahasa ngapak dalam dialog yang digunakan antartokoh . Hal ini melainkan justru dapat berperan sebagai sarana agar masyarakat
Indonesia mengetahui bahasa ngapak sebagai salah satu aset budaya yang harus
dilestarikan.
Dilestarikan,
artinya dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga dan harus dipertahankan .
Sama halya dengan identitas orang asli banyumas dapat digambarkan melalui dialek
ini, yang mana orang banyumas digambarkan sesuai karakteristik Bawor sebagai
simbol banyumas yakni orang yang ceplas ceplos dan suka meminta (ini
negatifnya) namun suka menolong sesamanya (ini positifnya).
Keadaan Banyumas
sekarang tergolong pesat perkembangannya dari sekedar kota wisata menjadi kota
pelajar. Ya, kota pelajar. Sebuah julukan yang sebelumnya hanya kita tahu dari
daerah tetangga, Yogyakarta. Keberadaan Unsoed (Universitas Jenderal Soedirman
) sebagai salah satu perguruan tinggi
yang berdiri sejak tahun 1960-an telah menarik minat belajar masyarakat lokal
dan interlokal, khususnya yang berasal dari wilayah sekitar Banyumas dan Jawa
bagian Barat (Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, Jakarta, dll). Banyumas, menurut
mereka mempunyai daya tarik tersendiri[4].
Living cost yang terjangkau ,bahkan cenderung murah dan kondisi lalu lintas yang jauh dari macet membuat kaum pendatang
khususnya mahasiswa tergiur mencicipinya. Nah, adanya pertemuan antara
mahasiswa asli Banyumas dan sekitarnya ini dengan mahasiswa asal Jawa bagian
Barat tadi khususnya dari Jakarta mengakibatkan terjadinya akulturasi
kebudayaan, yakni bercampurnya dua kebudayaan atau lebih yang saling
mempengaruhi. Mulai dari gaya hidup, hingga yang paling kental terasa adalah
bahasa. Anak Jakarte dengan gueh – eloh
nya sebagai “bahasa ibu”, digunakan dalam percakapan sehari hari kepada sesama
pendatang dari Jakarta maupun orang orang diluar itu, termasuk orang Banyumas
sendiri. Wong Banyumas yang tidak
terbiasa dengan dialek semacam itu akhirnya karena terbiasa juga, maka
mayoritas mulai menirukan dialek Betawi tersebut.
Perbedaan latar belakang
sosial budaya yang seperti ini menghasilkan sesuatu yang dinamakan distorsi komunikasi[5]. Pengalaman penulis selama kurang lebih hampir
3 tahun menjalani studi secara akademis maupun kultural melalui pengamatan yang
kurang mendetail namun intens memperhatikan , membuktikan bahwa memang ada
beberapa teman mahasiswa yang asli Banyumas atau sekitarnya yang lebih memilih
menggunakan dialek betawi dalam berkomunikasi kepada teman temannya yang lain,
sekalipun dengan sesama temannya yang juga sesama Banyumas itu. Latah? Mungkin
iya. Telinga inipun kerap gatal dan risih
bila menjumpai hal hal tersebut. Sebuah
hal yang memprihatinkan luar biasa bila orang Banyumas malu menggunakan bahasa
nenek moyangnya sendiri. Bahasa yang seharusnya- paling tidak- dapat dimengerti kaum pendatang sebagai bentuk
penyesuaian dan adaptasi diri dan dapat diajarkan oleh putra asli daerah.
Melihat
fenomena ini, dialek ngapak yang juga sebagai salah satu jatidiri masyarakat
banyumas menghadapi ancaman yang diejawantahkan dalam bentuk:
1.
Cultural lag, Adanya ketidakseimbangan
perubahan antara budaya material dan inmaterial dan;
2.
Cultural shock (guncangan kebudayaan). Ada
ketidaksesuaian antar unsur yang berbeda menghasilkan pola kehidupan yang tidak
serasi fungsinya bagi masyarakat yang bersangkutan. Budaya yang masuk ke
masyarakat tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan.[6]
Menurut pembagian
diatas, teman teman penulis yang tadi dimaksud, menurut penulis menunjukkan
indikasi adanya cultural shock atau
guncangan kebudayaan terhadap kebudayaan yang baru dirasakan,didengar dan
dilihatnya tersebut. Istilah jawanya nggumun
atau heran. Rasa heran ini yang kemudian ditiru, dan karena secara tidak sadar
proses itu diulanginya secara terus menerus menjadi suatu habitus atau kebiasaan. Inilah yang menyebabkan penurunan atau
degradasi kebudayaan banyumas yang dapat menjadi bom waktu. Jika dikatakan
sebagai proses adaptasi terhadap teman teman baru yang berasal dari luar
Banyumas justru ini yang terbalik. Bukankah teman teman yang berasal dari luar
Banyumas yang seharusnya menyesuaikan diri terhadap kultur banyumasan?.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa kaum pendatang harus hafal kosakata
ngapak dan paham hal hal seputar Banyumas, tapi cukuplah hanya sekedar tahu
saja dan dimaknai sebagai pengetahuan saja. Ketika ingin sama sama bergaul dan
bersosialisasi, gunakan saja bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan agar orang
Banyumas dan luar Banyumas dapat saling berkomunikasi dengan lancar. Bila sudah
begitu, apa yang tadi disebut dengan istilah distorsi komunikasi dapat diminimalisir. Generasi muda
Banyumas sudah seharusnya bangga
mempunyai dan menggunakan bahasa ngapak, karena bila perilaku seperti yang
dicontohkan tadi diatas terus menerus dilakukan, bukan tidak mungkin bahasa
ngapak akan punah. Dan kelak, kepunahan ini akan menjadi dosa besar bagi para generasi
penerus Banyumas.
Ayuh,
aja isin isin nganggo basa ngapak. Ora ngapak, ora kepenak!
[1] Mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed Angkatan 2010. Bercita cita
menjadi penari latar.
[2]
Hariyono,P. ; 2000; Pemahaman Kontekstual
Tentang Ilmu Budaya Dasar ;Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hlm 53
[3]
Suriasumantri, S. ,Jujun; 2009; Filsafat
Ilmu; Penerbit Pustaka Sinar Harapan,Jakarta. Hlm 40
[4] Hasil
wawancara dengan sejumlah kawan penulis dari Jawa barat dan DKI.
[5] Suatu
gejala penyimpangan dalam hal pengiriman dan penerimaan pesan secara verbal.
A.W, Suranto; 2010; Komunikasi Sosial
Budaya; Graha Ilmu, Yogyakarta. Hlm. 56
[6] Ibid, Hlm 82