Oleh : Eva Pratiwi Aditya
Semasa hidup,manusia mengalami peristiwa hukum yang sangat
penting yaitu kelahiran,perkawinan,dan kematian. Manusia dalam hidupnya perlu
melaksanakan perkawinan karena manusia sebagai makhluk hidup harus
mengembangkan keturunannya.Pernikahan atau Perkawinan terjadi karena ada
dorongan dari dalam diri setiap manusia untuk bersama dengan manusia lainnya.
Merupakan suatu ikatan sakral sebagai penghubung antara seorang pria dan wanita
dalam membentuk suatu keluarga atau membangun rumah tangga.
Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
UU No. 1
Tahun 1974, yang secara garis besarnya mengatur tentang: (1) dasar perkawinan;
(2) syarat-syarat perkawinan; (3) pencegahan perkawinan; (4) batalnya
perkawinan; (5) perjanjian perkawinan, (6) hak dan kewajiban suami isteri, (7)
harta benda dalam perkawinan, (8) putusnya perkawinan serta akibatnya; (9) kedudukan
anak; (10) hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, (11) perwalian, (12)
pembuktian asal usul anak; (13) perkawinan di luar Indonesia; dan (14)
perkawinan campuran.
Apabila
membahas masalah harta dalam perkawinan, maka pada dasarnya harta yang didapat
selama perkawinan menjadi harta bersama. Sebagaimana yang disebutkan pada Pasal
36 Undang-Undang Nomor 1Tahun1974 tentang perkawinan membahas mengenai harta
perkawinan, yang berbunyi bahwa:
(1)Harta
benda yang diperoleh selamaperkawinan menjadi harta bersama
(2)Harta
bawaan dari masing-masing suamidan istri dan harta benda yang
diperolehmasing-masing sebagai hadiah atau warisan,adalah di bawah penguasaan
masing-masingsepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Jika seorang
yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau mengharapkan akan
memperoleh kekayaan,misalnya suatu warisan maka adakalanya diadakan perjanjian
perkawinan. Pada pasal 29 ayat 1 dengan jelas disebutkan bahwa perjanjian
perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.Hal tersebut juga diatur pada pasal 147 BW yang
menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan haruslah dibuat dengan akte notaris dan
harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.Mengenai bentuk dan isi
perjanjian tersebut sebagaiman halnya dengan perjanjian-perjanjian lain pada
umumnya,kepada kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas-luasnya dengan
ketentuan tidak melanggar ketertiban
umum dan kesusilaan.
Menurut
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan
pengertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian perkawinan termasuk tentang
isi dari perjanjian perkawinan. Hanya pada Pasal 29 ayat (2) diterangkan
tentang batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat perjanjian perkawinan
yaitu yang berbunyi: Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana
melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.Tidak adanya pengertian yang
jelas tentang perjanjian perkawinan maka di antara para ahli terdapat juga
perbedaan dalam memberikan pengertian tentang perjanjian perkawinan. Berikut
beberapa pengertian perjanjian perkawinan menurut beberapa ahli, salah satunya Salim
HS memberikan pengertian bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang
dibuat oleh calon pasangan suami-istri sebelum atau pada saat perkawinan di
langsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.
Pasal 149
Kitab Undang-undang Hukum Perdata secara tegas menyatakan bahwa setelah
perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak
boleh diubah. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dimana di dalam pasal 29 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dinyatakan bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat dirubah
kecuali ada persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga.
Asas tidak dapat diubahnya perjanjian kawin ini berkaitan dengan sistem harta
benda perkawinan yang dipilih oleh suami istri pada saat berlangsungnya
perkawinan yang menyadarkan pada pokoknya akan kekhawatiran, bahwa semasa perkawinan
sang suami dapat memaksa istri untuk mengadakan perubahan yang tidak diinginkan
oleh istrinya.
Pada
dasarnya larangan untuk merubah perjanjian kawin ialah untuk melindungi
kepentingan pihak ketiga yaitu mencegah timbulnya kerugian dari kemunginan terjadinya
penyalahgunaan oleh suami dan istri, yang sengaja dilakukan untuk menghindarkan
diri dari tanggung jawab. Namun berdasarkan asas lex specialis derogat lex generalis maka yang digunakan menjadi
dasar hukum untuk perubahan perjanjian perkawinan ialah Pasal 29 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Apabila suatu perjanjian tidak dikategorikan
sebagai commercial contract, maka dapat dikatakan perjanjian tersebut tidak
mempunyai akibat hukum dan karenanya para pihak yang membuatnya tidak terikat
(not to be legally bound). Domestic contract lebih mengarah pada
hubungan-hubungan pribadi (the subject matter) daripada hubungan hukum diantara
para pihak yang membuatnya. Hal terpenting adalah perjanjian perkawinan tidak
dapat dikategorikan sebagai kontrak komersial (commercial contract). Oleh
karena itu, apabila dalam pelaksanaan perjanjian perkawinan terdapat
pelanggaran yang dilakukan salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan
tidak dapat melakukan gugatan atas dasar wanprestasi.
Pasal 149
KUHPerdata mengatur dengan tegas bahwa “Setelah Perkawinan berlangsung,
Perjanjian Perkawinan dengan cara bagaimanapun, tidak boleh diubah”. Bunyi
pasal tersebut berarti menurut ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata,
pasangan suami-istri yang membuat Perjanjian Perkawinan tidak diijinkan atau
dilarang untuk melakukan perubahan terhadap isi Perjanjian Perkawinan tersebut
setelah perkawinan mereka berlangsung. Apabila para pihak dalam Perjanjian
Perkawinan ingin melakukan perubahan atas isi Perjanjian Perkawinannya, maka
segala perubahan yang dikehendaki harus dilakukan sebelum perkawinan
berlangsung dan perubahan-perubahan tersebut harus dituangkan dalam bentuk akta
dan tidak diperkenankan untuk menuangkan perubahan tersebut dalam bentuk
lainnya.
Pengaturan
mengenai larangan perubahan Perjanjian Perkawinan yang terdapat dalam Pasal 149
KUHPerdata berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal tersebut
disebutkan bahwa: “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak
dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah
dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga”. Hal ini berarti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih memberikan peluang bagi pasangan
suami-istri sebagai para pihak dalam Perjanjian.
Perkawinan
untuk melakukan perubahan terhadap isi dari Perjanjian Perkawinan yang mereka
buat bahkan setelah berlangsungnya perkawinan. Perubahan yang dibuat oleh para
pihak dapat dilakukan apabila sebelumnya telah diperjanjikan terlebih dahulu
dan perubahan yang akan dibuat nantinya tidak akan merugikan pihak ketiga yang
terkait dalam Perjanjian Perkawinan tersebut. Apabila perubahan yang dilakukan
membawa kerugian bagi para pihak maupun pihak ketiga maka Perjanjian Perkawinan
tersebut dapat dibatalkan atau bahkan dapat dinyatakan batal demi hukum.
Perjanjian
perkawinan harus mendapat pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan sebagai
salah satu syarat sahnya.Akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak mendapat
pengesahan dari Pegawai Pencatat Perkawinan adalah batal (nieteg van
rechtwege), perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat
secara hukum, sehingga berlakulah prinsip kedudukan harta benda dalam
perkawinan (pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Dengan demikian berarti
terjadilah “pemisahan harta” atau kebersamaan harta benda hanya terbatas pada
harta bersama yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung yang
bukan berasal dari hadiah/hibah atau warisan. Prinsip kedudukan harta
perkawinan inilah yang sangat berbeda dengan kedudukan harta kekayaan menurut
KUHPerdata.
Perjanjian
Perkawinan atau perjanjian pranikah (prenuptial agreement) dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata maupun Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan merupakan suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama
perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh
Undang – Undang.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 29 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
Pencatatan Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut, berarti perjanjian itu harus diadakan
sebelum dilangsungkannya perkawinan. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan
apabila melanggar batas – batas hukum, agama dan kesusilaan (pasal 29 ayat (2))
serta dalam pasal 29 ayat (3) menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan tersebut
mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung.
Sumber:
Kitab
undang-undang hukum perdata (KUHPerdata )
UU no 1
Tahun 1974 Tentang perkawinan
Prawirohamidjojo,Soetojo
dan Wasis Safioedin.1973.Hukum Orang Dan
Keluarga.Bandung:Penerbit Alumni.
SH,Salim.2002.Hukum Pertdata Tertulis (BW).Yogyakarta:Sinar
Grafika.
Subekti.1983.Pokok-Pokok Hukum Perdata.Jakarta:PT
Intermasa.