"Oleh: Ramdani Laksono"
Tepatnya
tanggal 22 Desember seluruh anak di Indonesia ramai membicarakan mengenai hari
Ibu, serta berlomba-lomba untuk memberikan ucapan dan mengulik berbagai cara
untuk membahagiakan ibu mereka. Seorang ibu dibuat terenyuh hatinya oleh
seorang anak saat memperingati hari Ibu, misal melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah yang dilakukan seorang ibu rumah tangga sampai memberi karangan bunga, ada
lagi yang mengajak jalan-jalan ibunya, yang pada dasarnya upaya untuk
membahagiakan sang ibu. “Ibuku adalah pahlawanku”, begitulah salah satu quotes yang
ramai dijadikan sebagai quotes wajib dalam setiap memperingati hari Ibu.
Tentunya
tidak salah apabila kita melakukan upaya seperti yang disebutkan diatas tadi saat
euphoria memperingati hari Ibu. Namun, kita perlu tahu mengenai lahirnya
peringatan hari ibu, serta apa esensi dari hari ibu itu sendiri dan juga
pemaknaan apa yang tepat untuk memperingati hari ibu. Dengan menulusuri latar
belakang lahirnya hari ibu kita sebagai anak Indonesia akan dapat berprilaku
tepat dalam memperingati Hari Ibu serta dapat mengilhami makna-maknanya serta
menerapkan hal-hal yang menjadi tauladan dengan dipadukan teori-teori yang maju
untuk dapat memajukan taraf kebudayaan masyarakat untuk Indonesia yang
sejahtera.
Untuk mengetahui sejarah lahirnya Hari ibu,
marilah kita kembali ke masa lalu tepatnya pada tanggal 22 s/d 25 Desember 1928
bertempat di Yogyakarta, para pejuang wanita Indonesia dari Jawa dan Sumatera
pada saat itu berkumpul untuk mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I (yang
pertama). Gedung Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Yogyakarta
menjadi saksi sejarah berkumpulnya 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa
dan Sumatera yang kemudian melahirkan terbentuknya Kongres Perempuan yang kini
dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Ini merupakan gerakan
nasional kebangkitan perempuan untuk melawan penindasan akibat perbedaan jenis
kelamin. Mereka berkumpul, menyatakan pikirannya, dan menyebarkan gagasannya
ihwal berbagai persoalan yang dihadapi perempuan.[1]
Secara resmi tanggal 22 Desember 1959
Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan bahwa
tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga saat
ini. Lembaran-lembaran sejarah telah membuktikan bahwa lahirnya perayaan Hari
Ibu pada tanggal 22 Desember berawal dari gerakan-gerakan perempuan untuk ikut
serta berjuang melawan penjajah serta berjuang untuk pemenuhan hak-hak kaum
perempuan. Menurut Soekarno terdapat
tiga tahapan pergerakan perempuan yakni, 1. Pergerakan menyempurnakan
keperempuanan, usaha yang dilakukan untuk mencapai itu antara lain memasak,
menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak dsb, 2. Pergerakan feminisme, yang
berwujud memperjuangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki. Pergerakan feminis
itu sering juga disebut pergerakan emansipasi wanita dan aksinya bersifat
menentang kepada kaum laki-laki, 3. Pergerakan sosialisme, dalam hal ini
posisinya adalah kaum perempuan dan laki-laki bersama-sama berjuang bahu
membahu untuk mendatangkan masyarakat yang sosialistis yang sama-sama sejahtera
dan sama-sama merdeka.[2]
Catatan
sejarah membuktikan awal mula lahirnya hari Ibu berasal dari gerakan-gerakan
perempuan yang ada di Indonesia di masa silam. Gerakan perempuan serta lahirnya
organisasi-organisasi perempuan seperti Gerakan perempuan Poetri Mardika, Jong
Java Meisjeskring (Kelompok Pemudi Jawa Muda) tahun 1915, dan Aisyah (Pemudi Muhamadiyah)
tahun 1917. Lantas dari itu semua lahirlah organisasi-organisasi perempuan yang
bercorak agama seperti, Aisyah, NU, Wanita Tarbiyah (Islam). Corak perjuangan
dari berbagai organisasi perempuan yang lahir pada saat itu menginginkan adanya
kesamaan hak perempuan dan laki-laki, misal hak mendapatkan pendidikan serta
diijinkan untuk bekerja. Kemudian disisi lain juga berjuang untuk terlepas dari
penjajahan kolonialisme yang bercokol di tanah air Indonesia, walaupun disini
sifat perjuangannya masih bersifat borjuis atau hanya mementingkan kepentingan
dari klas bangsawan saja, pun juga masih bersifat kedaerahan atau tidak
berskala nasional.
Tahun
1928 dikatakan sebagai era dimulainya perjuangan perempuan berskala nasional
tapi masih berwatak borjuis, tepatnya saat diselenggarakannya Kongres Perempuan
Pertama di Dalem Djojodipuran, Yogyakarta. Kongres itu diprakarsai oleh tiga
tokoh perempuan yang progresif, yaitu Ibu Soekonto (Wanita Utomo), Nyi Hajar
Dewantara (Wanita Taman Siswa), dan Ibu Soejatim (Puteri Indonesia). Salah satu
gagasan yang disepakati adalah terbentuknya Federasi Perikatan Perempuan
Indonesia (PPI). Kemudian di tahun berikutnya berganti nama menjadi Perikatan
Perkumpulan Istri Indonesia. Dan akhirnya berubah menjadi Kongres Wanita Indonesia
(KOWANI) setahun setelah kemerdekaan Indonesia. Tujuan
dibentuknya organisasi perempuan pada hakikatnya adalah untuk melawan
kolonialisme yang menjangkit Indonesia yang memberikan pesakitan-pesakitan bagi
rakyat Indonesia dan juga berjuang untuk memenuh hak-hak dari kaum perempuan
baik politik, ekonomi, sosial, dll. Tentunya ini merupakan hal yang baik serta
akan berdampak secara masif apabila dilakukan dengan metode yang tepat pula.
Organisasi perempuan serta gerakan-gerakannya memegang peranan penting dalam
perjalanan menuju kemerdekaan Indonesia.
Setelah
Indonesia menyatakan memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, perjuangan perempuan tetap bergelora menuntut hak-haknya. Kemerdekaan itu
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada kaum perempuan untuk lebih
berkontribusi dalam mengisi kemerdekaan. Kaum perempuan yang berkesadaran maju
juga turut ambil bagian dalam proses mengembangkan ilmu pengetahuan serta
teknologi untuk mensejahterakan rakyat, membangun kebudayaan yang maju dengan
tujuan akhir agar masyarakat lebih sejahtera. Salah satu organisasi perempuan
yang lahir pada era setelah kemerdekaan Indonesia adalah Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani). Gerwani merupakan
salah satu underbow dari Partai
Komunis Indonesia (PKI). Organisasi ini juga sebagai salah satu organisasi
perempuan sangat masif dalam hal memperjuangkan hak-hak perempuan dalam
berbagai sektor. Disini mulai watak organisasi sudah menyeluruh bukan hanya
dalam ranah perempuan borjuis atau bangsawan, tapi juga mengajak perempuan dari
kaum proletar atau tertindas.
Perpecahan
politik yang mencapai puncaknya pada peristiwa G 30 S menjadi titik balik
keberadaan berbagai organisasi-organisasi perempuan yang bergerak pada waktu
itu. Pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, membawa implikasi politik
bagi gerakan perempuan dengan isu komunisme.Terlepas dari kisruh politik yang
terjadi pada masa transisi dari Orde Lama menuju Orde Baru menyangkut komunisme
yang berimplikasi terhadap gerakan-gerakan perempuan yang dimatikan dengan
alasan subversif atau mengancam kedaulatan serta keamanan negara kala itu, disini
menandakan awal dari terpuruknya gerakan perempuan di Indonesia. Berbagai
organisasi-organisasi yang ada kala itu khususnya gerakan-gerakan perempuan dimatikan
dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim yang bercorak otoriter
serta berbau militerisme.
Berawal
dari rezim orde baru pemaknaan dari Hari Ibu mulai bergeser yang pada awalnya
untuk mengenang serta menggelorakan kembali semangat kaum perempuan untuk
memperjuangkan hak-haknya seperti yang dilakukan oleh berbagai organisasi
perempuan menjadi pemaknaan secara euphoria serta simbolik semata. Kalau kita
melihat sejarah betapa heroiknya kaum perempuan (kaum Ibu) pada saat itu dalam
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, apakah sepadan dengan peringatan Hari Ibu
saat ini yang hanya ditunjukkan dengan peran perempuan dalam ranah domestik.
Misalnya dalam sebuah keluarga pada tanggal tersebut seorang ayah dan
anak-anaknya berganti melakukan tindakan domestik seperti masak, mencuci,
belanja, bersih-bersih, dan kemudian memberikan hadiah-hadiah untuk sang ibu.
Melihat realitas perayaan Hari Ibu era kekinian yang hanya dengan euphoria
serta tindakan-tindakan yang memandang sempit Hari Ibu, maka esensi sebenarnya
dari Hari Ibu telah gugur. Tentunya pergeseran ini tidak lahir begitu saja
namun melalui proses yang panjang serta terencana dari rezim Orde Baru karena
rezim Orde Baru mengganggap organisasi perempuan serta gerakan-gerakan yang
dilakukannya bersifat membahayakan rezim.
Depolitisasi
gerakan perempuan pada era ini mencapai titik didihnya. Gerakan perempuan
akhirnya tiarap. Propaganda sosok perempuan sebagai kaum lemah lembut dan
non-politis dilakukan di mana-mana. Sampai sinilah, politik hegemoni kekuasaan
bermain. Relasi gender di Indonesia kemudian ditata secara kasar. Perjuangan
gerakan perempuan yang menyuarakan persamaan dalam ranah politik serta
menyerukan simbol perempuan sebagai “Srikandi” dianggap sebagai sesuatu yang
melanggar kodrat perempuan. Perempuan kemudian dikembalikan pada wilayah
domestik rumah tangga, bahwasanya perempuan hanya mengurusi dapur, kasur, dan
sumur. Adanya aturan baik secara norma sosial maupun hukum, perempuan digiring
atau termarginalisasi pada ranah publik dan politik. Orde Baru menjadi masa
stagnasi bagi gerakan perempuan. Berbagai stigma dan prasangka disandangkan
pada perempuan yang melampaui kodrat mereka sebagai wanita. Berbagai gerakan
perempuan selalu dianggap sebagai hal yang subversif dan harus diberangus.
Titik
kulminasinya adalah matinya gerakan perempuan dalam proses perjuangan maupun
menyuarakan emansipasi.[3]
Berdasarkan cerita diatas yang terjadi pada rezim Orde Baru akhirnya menggeser
makna hari ibu yang pada awalnya untuk menggelorakan semangat dan perjuangan perempuan
dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Misi itulah yang tercermin menjadi
semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja
bersama. Perempuan seharusnya ikut andil dalam menyelesaikan problem-problem
yang menindas dan menghisap kaum perempuan karena penindasan dan penghisapan
yang terjadi pada perempuan saling berkaitan satu lain.
Untuk
dapat memahami masalah perempuan tentunya kita harus membedakan konsep gender
dengan konsep seks (jenis kelamin). Konsep seks atau jenis kelamin adalah
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu.[4]
Misalnya bahwa semua manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang
memiliki penis, memproduksi sperma, dan berjakun. Sedangkan perempuan memiliki
alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur,
memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara
biologis melekat pada manusia jenis laki-laki maupun perempuan. Artinya
alat-alat tersebut tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki kepada perempuan
maupun sebaliknya, atau dapat dikatakan melekat secara permanen dan dapat sebut
juga sebagai kodrat dari Tuhan.
Sedangkan
konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kamu laki-laki maupun
perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural.[5]
Semisal perempuan dikenal memiliki sifat lemah lembut, emosional, keibuan, suka
bersolek. Sementara laki-laki dikenal dengan sifatnya yang kuat, rasional,
pemberani. Ciri dari sifat-sifat tersebut dapat bertukar posisi. Artinya
terdapat laki-laki yang lemah lembut, suka bersolek, keibuan dan juga terdapat
perempuan yang kuat, rasional, pemberani. Perubahan atau pertukaran ciri dari
sifat-sifat diatas dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat
lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki,
yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat
lainnya maupun berbeda dari suatu kelas sosial ke ke kelas sosial lainnya,
itulah yang dikenal dengan konsep gender.[6]
Bahwasanya sifat-sifat tersebut bukan merupakan bawaan biologis atau melekat
secara permanen.
Perbedaan
gender sesungguhnya bukan merupakan masalah sepanjang tidak menimbulkan
ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender
telah menimbulkan ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum
perempuan. Berbagai masalah ketidakadilan ini dipengaruhi oleh konstruksi
sosial dan kultural. Dari segi sumbernya ketidakadilan ini berasal dari
kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, tradisi atau bahkan asumsi
ilmu pengetahuan.[7]
Khususnya masalah-masalah ketidakadilan bagi kaum perempuan era kekinian dapat
berupa marginalisasi, kekerasan, dan beban kerja. Sebagai contoh bahwasanya
terdapat sebuah anggapan kepada kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan
rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga yang berakibat bahwa
semua pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Semua pekerjaan
rumah seperti mengepel, mencuci pakaian, menyapu, mengurus anak harus
dikerjakan oleh perempuan terlebih apabila perempuan harus bekerja, maka ia
memikul beban kerja ganda. Mungkin catatan diatas dapat dijadikan renungan yang
bagi kaum perempuan, apakah itu memang terjadi? Namun, kaum laki-laki juga
tidak boleh menutup matanya terhadap realita yang terjadi di era kekinian
mengenai ketidakadilan gender yang terjadi.
Dirasa penting untuk menelisik kembali
pemaknaan Hari Ibu serta permasalahan-permasalahan kaum perempuan pada era
kekinian. Melihat dari kaca mata sejarah yang pada awalnya hari ibu dimaknai
sebagai penghormatan terhadap gerakan-gerakan perempuan melalui
organisasi-organisasinya yang dilahirkan dengan melakukan tindakan-tindakan
nyata untuk memperjuangkan hak-hak perempuan serta untuk memperjuangkan bangsa.
Namun, pada era ini pemaknaan serta perayaan hari Ibu hanya bersifat simbolik dan
euphoria tanpa menyentuh apa permasalahan pokok dan bangsa. Dengan mengingat
berbagai hal yang melatarbelakangi lahirnya Hari Ibu serta berbagai
permasalahan kaum perempuan pada era kekinian, akan jauh lebih baik dan bijak
kita merubah segala bentuk perayaan terhadap Hari Ibu yang hanya bersifat
euphoria dan simbolik. Karena memang pemaknaan yang ada pada hari ini terhadap
Hari Ibu terlepas dari esensi Hari Ibu yang sesungguhnya. Momentum Hari Ibu
haruslah dijadikan bahan refleksi bersama tentang permasalahan kaum perempuan
serta kembali menggelorakan semangat berorganisasi bagi kaum perempuan.
Pentingnya perempuan untuk belajar agar dapat menambah
pengetahuan agar mampu menganalisis permasalahan-permasalahan yang terjadi di
sektor perempuan dan berusaha memberikan solusi atas masalah yang menimpa
perempuan. Lalu tidak cukuplah kaum perempuan setelah pengetahuannya bertambah
tentang teori-teori yang maju serta modern dapat semudah itu mendapat pengakuan
hak-haknya yang selama ini dikerdilkan. Langkah kedua adalah dengan
berorganisasi, karena dengan beroranisasi perempuan memilki ruang-ruang untuk
mempraktekan pengetahuan-pengetahuan yang mereka dapat. Apakah pengetahuan itu
sudah baik atau masih belum tentulah dapat dilihat apabila mereka berpraktek
langsung dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan yang mereka dapat. Dalam
organisasi sudah barang tentu memiliki tujuan yang harus ditunaikan, dengan
dasar memiliki pengetahuan yang mempuni serta kawan-kawan yang memiliki tujuan
bersama dalam organisasi maka tentu tidaklah sulit untuk mencapai tujuan
tersebut. Konsisten, dialektis, dan objektif dalam melangkah sudah hal wajib
yang harus dikedepankan agar tujuan organisasi terwujud. Lalu, apakah sudah
cukup hanya dengan memiliki pengetahuan lalu berorganisasi? Nampaknya tidak,
agar hak-hak kaum perempuan terwujud haruslah diperjuangkan. Berjuang disini
dapat diartikan sebagai wujud pengabdian kita dari apa yang kita pelajari.
Berjuang adalah ruang lain untuk menguji ilmu yang telah kita dapatkan. Tentu
saja dalam berjuang kita tidak bergerak sendirian. Oleh sebab itu, sebelum
berjuang perlu kiranya kita untuk berorganisasi. Maka, pentinglah kaum
perempuan untuk belajar, berorganisasi, dan berjuang agar hak-hak kaum
perempuan dapat terwujud.
[1] http://www.tempo.co/read/news/2014/12/21/173630032/Hari-Ibu-Jatuh-22-Desember-Besok-Ini-Muasalnya
diakses pada tanggal 22 Desember 2014 pukul 19:00
[2] Ir.
Soekarno, 2013, Wanita Bergerak, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hlm. 26-27
[3] http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/2054-gerakan-perempuan-sejarah-yang-hilang.html
diakses pada tanggal 22 Desember 2014 pukul 19:00
[4] Dr.
Fakih Mansour, 2012, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hlm 8
[5] Ibid,
hlm 8
[6] Ibid,
hlm 9
[7] Ibid,
hlm 14