Oleh : Qantas Rifky
Asas ultra petitum partium atau yang lebih dikenal dengan nama asas ultra petita dalam hukum acara perdata diatur pada ketentuan pasal 178 ayat (2) HIR yang berbunyi “Hakim tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat.”Di dalam penjelasan lebih lanjut dijelaskan yaitu asas ini melarang hakim untuk menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau meluluskan yang lebih daripada yang digugat, seperti misalnya apabila seorang penggugat dimenangkan di dalam perkaranya untuk membayar kembali uang yang dipinjam oleh lawannya, akan tetapi ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat dihukum pula membayar bunganya, maka hakim tidak diperkenankan
diperkenankan menyebutkan dalam putusannya supaya yang kalah itu membayar bunga atas uang pinjaman itu.
Awal munculnya asas ini tidak lain berangkat dari ketentuan asas lain yaitu asas hakim pasif dimana dalam penentuan ruang lingkup dan pokok sengketa para pihaklah yang menetukan. Selain itu segala perakara yang timbul dalam peradilan acara perdata adalah inisiatif dari para pihak ini juga yang menjadikan hakim bersifat pasif.
Menurut Yahya Harahap, hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi posita maupun petitum gugatan , dianggap telah melampaui wewenang aturan ultra vires yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petita , maka putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan oleh hakim dengan itikad baik maupun sesuai dengan kepentingan umum.
Konsep dari asas ultra petita dalam hukum acara perdata adalah untuk melindungi kepentingan para pihak yang dikalahkan dalam proses peradilan, sebab apabila hakim memutus melebihi apa yang dituntut/dimohonkan tentu itu akan sangat merugikan bagi pihak yang kalah. apabila ditinjau dari tujuan hukum menurut gustav redbruch maka asas ini sangat membantu untuk terwujudnya keadilan dan kepastian hukum.
Meskipun Asas ultra petita yang memberikan batasan kepada hakim agar tidak memutus secara sewenang-wenang dan sesuai apa yang yang dimohonkan oleh pihak yang mengajukan tututan. Namun, disisi lain terdapat salah satu asas yang ada di dalam hukum acara perdata yang menurut penulis asas ini memberikan suatu kesempatan kepada hakim untuk memberikan putusan melebihi apa yang dimohonkan atau dengan kata lain ultra petita. Asas yang dimaksud adalah asas Ex Aequo Et bono , seperti dijelaskan diatas asas ini sebenarnya adalah suatu frase yang digunakan dalam petitum suatu gugatan yang berbunyi “kalau majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya”. Dimana klausula seperti itu memberi suatu asumsi bahwa hakim dapat mengabulkan suatu petitum melebihi apa yang di minta dengan alasan demi keadilan.
Asas Ex Aequo Et Bono ini awalnya muncul pada negara – negara anglo saxon yang mneggunakan sistem hukum common law dimana keadilan lah yang lebih diutamakan dan kepastian lebih dikesampingkan. Dalam literatur berbahasa Inggris, ex aequo et bono sering diartikan sebagai “according to the right and good”, atau “from equity and conscience”. Sesuatu yang diputuskan menurut ex aequo et bono adalah sesuatu yang diputuskan “by principles of what is fair and just”. Dari pengertian tersebut terlihat makna yang sangat subyektif sebab klausula ex aequo et bono tersebut sangat condong kepada pribadi dalam diri seseorang atau lebih berbau moral darpada hukum.
Dari kedua penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa secara implisit terdapat pertentangan mengenai konsep dari kedua asas tersebut dimana asas yang satu ada untuk melindungi kepentingan para pihak atau lebih tepatnya pihak yang dikalahkan dan juga untuk kepastian hukum .disisi lain asas yang satunya lebih mengutamakan kpeentingan masyarakat umum dan juga keadilan yang bersifat relatif dimana setiap orang memliki persepsi berbeda mengenai tolak ukur keadilan.
Dalam praktiknya di peradilan, asas ex aequo et bono digunakan agar lebih besar kemungkinan suatu gugatan dikabulkan oleh pengadilan, dimana tuntutan pokok (petitum primair) disertai dengan tuntutan pengganti (petitum subsidair). Isi dari tuntutan itu berbunyi: “ex aequo et bono” atau “mohon putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan”. Tujuannya agar jika tuntutan primair ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebasan dari hakim serta keadilan, dalam putusan yang dijatuhkan oleh hakim.
Lalu bagaimana dengan adanya pertentangan dari kedua asas ini?apa konsekuensinya? Menutrut penulis dengan adanya pertentangan tersebut maka sebagai konsekuensinya tujuan hukum yang kita kenal tidak dapat diwujudkan secara ideal atau ada salah satu tujuan yang harus dikorbankan. Secara teoritis indonesia merupakan negara hukum dan menganut sisyem civil law yang lebih mengutamakan kepastian, untuk itu semestinya hakim selalu memerhatikan asas ultra petita agar terwujud kepastian hukum dan kepentingan para pihak dapat terlindungi.
Jadi apakah dengan diakomodirnya asas “Ex aequo et Bono” tersebut mereduksi nilai-nilai dari ultra petita tersebut ataukah menjadi penyeimbang dalam suatu konsekuensi dianutnya Negara hukum bagi indonesia?
ayo diskusi di kolom komentar, apasih pendapat temen-temen tentang hal ini?
#salamilmiah