Oleh : Arrizal Fathurohman
Kelapa sawit atau dalam bahasa ilmiahnya adalah Elaeis guimensis berdasarkan penelitian
dapat dipergunakan sebagai energy terbarukan yang dikenal dengan nama biofuel,
selain itu hasil dari sawit lainnya dapat berupa margarin, minyak goreng,
berbagai produk mulai dari shampoo dan kuteks yang membutuhkan sawit sebagai
bahan baku, maka dari itu tak heran sawit menjadi salah satu komoditi ekspor terbesar Indonesia.Sawit
sebagai salah satu komoditi terbesar ekspor Indonesia dalam perjalanannya
terdapat banyak masalah, terutama mengenai konflik agraria, berdasarkan data
yang dihimpun oleh KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) konflik agrariapada sektor
perkebunan pada 2015 seluas 302.536 hektar, menurut Irwan Nurdin seketaris
Jendral KPA konflik perkebunan terbanyak terjadi di Riau akibat permasalahan
persawitan.
Mengulas sejarah konflik sawit yang
seakan tak pernah terselesaikan, ada baiknya kita mengetahui mengenai
perkembangan sawit dari zaman ke zaman. Kelapa sawit didatangkan pada tahun
1869 oleh maskapai dagang Belanda atau VOC, dengan membawa empat bibit kelapa
sawit ke Hindia yang lalu ditanami di Kebun
Raya Bogor, menjelang akhir abad 19 VOC mengubah paradigma bisnis mereka ke
sektor perkebunan yang lalu dituangkan dalam agrarisch wet pada tahun 1870, tahun 1911 di sungai Liput, Aceh,
dan Pulu Radja, Asahan seorang pengusaha Belgia bernama Hallet mendirikan
perusahaan Sungai Liput Cuultur Maatschappij ini merupakan awal mula industry
sawit di Indonesia. Bisnis kelapa sawit sempat mati pada masa penjajahan Jepang
dikarenakan lebih memilih untuk focus pada tanaman pangan seperti padi dan
ganyong, sehingga pada masa itu banyak lahan perkebunan sawit yang menjadi tak
terurus dan tak jarang kembali menjadi
hutan
Setelah Indonesia merdeka, perjalanan kelapa sawit
masih dalam suasana kelam, kebun-kebun yang tak terurus tersebut menjadi lahan
rebutan para lascar pada waktu itu, pada agresi militer Belanda I tahun 1947
kebun-kebun tersebut kembali diambil alih oleh Belanda dan menyerahkannya pada
perusahaan-perusahaan asing yang menjadi pemilik kebun tersebut sebelum Perang
Dunia II, tahun 1957 terjadi nasionalisasi perusahaan besar-besaran di
Indonesia, tak terkecuali perusahaan sawit ini.Selanjutnya kurun waktu 1970-an
pemerintah orde baru mulai merehabilitasi lahan-lahan kelapa sawit, tetapi
menjadi sebuah kontradiksi ketika kondisi pada waktu itu sawit bukanlah komoditi yang diminati perusahan-perusahaan
karena pengaruh bonanza yang sedang dinikmati Indonesia, untuk mengatasi hal
tersebut pemerintah orde baru menjalankan suatu program yang dikenal dengan PIR
(Perkebunan Inti Rakyat), suatu program yang pada pelaksanannya bekerja sama
dengan Bank Dunia melalui program Nucleus
Smallholder (NES), prinsip PIR ini memakai sistem kemitraan antara
perkebunan besar dan petani rakyat, merasa kurang dengan program ini pemerintah
lalu membuat program tambahan dengan sebutan PIR-Trans yaitu program
transmigrasi bagi ratusan ribu orang dari Jawa, Bali, Nusa Tenggara,
diberangkatkan menuju hutan-hutan di Sumatera-Kalimantan-Sulawesi untuk membuka
lahan sawit di daerah-daerah tersebut dengan jatah masing-masing keluarga sebesar
2 hektare. Program ini terbilang sukses meningkatkan gairah akan persawitan
terbukti seluas 566.346 ha (kebun inti 167.702ha, kebun plasma 398.644 ha)
telah dibuka di 11 provinsi.
Dari program inilah konflik-konflik dimulai, letupan
konflik antara transmigran dengan warga local atau sesama warga local mulai
bermunculan. Perampasanterhadap hak ulayat adat dilakukan oleh pemerintah,
sedangkan para transmigran ini tidak tahu menahu mengenai asal usul tanah yang
mereka duduki sehingga timbulah konflik diantara warga lokal dan pendatang,
konflik di Mesuji Lampung pada kurun tahun 2010-2011 dapat dijadikan contoh
sebagai imbas program pemerintah tersebut. Selain itu konflik antara pengusaha
dan warga local juga tak dapat dihindarkan, perusahaan-perusahaan sawit besar
kadangkala melakukan penindasan kepada warga local, bermula dari kerjasama
kemitraan dengan pola petani menyediakan lahan dan pemodal besar menanami sawit
seringkali menimbulkan konflik agraria karena pembagian keuntungan diantara
keduanya sungguh-sungguh menghisap warga local , belum lagi perampasan hak-hak
masyarakat adat oleh perusahaan-perusahaan besar, dalam kondisi seperti ini
pemerintah yang seharusnya dihaapkan hadir untuk membela rakyatnya malah seakan
angkat tangan dan kadangkala tak peduli dengan permasalahan ini.
Konflik-konflik yang terjadi , bila kita melihat
waktu terjadinya, di Indonesia pada waktu itusudah menerapkan UUPA . Oleh
karena itu pelanggaran-pelanggaran seperti itu dan yang masih terjadi hingga
detik ini sebenarnya terdapat beberapa hal yangbertentangan dengan ketentuan
dan politik hukum dalam UU tersebut. Pertama,
mengenai asas larangan pemerasan orang oleh orang lain yang dimuat dalam
pasal 11 UUPA yang mengatur mengenai
perlindungan ekonomi lemah (golongan rakyat), peristiwa yang menimpa Ali Badi
pada tahun 2008 Warga Desa Runtu,Kabupaten Kota Waringin Barat, Kalimantan
Barat yang dimuat dalam catatan tempo institute dan Sawit Watch melaporkan
bahwa perusahaan berinisial SSS dengan dibantu oleh pemerintah desa setempat
meratakan lahan pertaniannya bersama dengan kelompok tani beliau yang berjumlah
49 orang, saat beliau menemui pemerintah setempat untuk mendapatkan pembelaan,
tetapi yang didapat justru pernyataan bahwa tanah tersebut masuk Hak Guna
Operasi PT SSS.Kedua, mengenai
peampasan hak-hak ulayat adat, seperti halnya ketika warga masyarakat adat
setempat dilaporkan kepada polisi hutan atau pihak berwenang lainnya dengan
tuduhan mencuri hasil kebun, padahal menurut pasal 1 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepada Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dimaksud hak ulayat
pada intinya adalah kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat adat disuatu
wilayah tertentu untuk mengelola dan mengambil manfaat dari sumber daya alam di
wilayah tersebut, ditambah lagi pembohongan oleh perusahaan mengenai HGU (Hak
Guna Usaha) yang seringkali diperpanjang dengan tidak melihat aturan baku dari
UUPA, seperti halnya masyarakat Sanggau, Kalimantan Barat yang diakal-akali
oleh perusahaan mengenai peminjaman tanah selama 25 tahun, lalu dibuat
sertifikasi HGU (Hak Guna Usaha) berjangka 35 tahun lalu diperpanjang lagi
selama 60 tahun sehingga menjadi 95 tahun, dan yang paling parah tanah yang
bersertifikasi HGU terebut dijual ke perusahaan lain, sehingga tanah tersebut
jatuh ketangan orang asing yang warga setempat tak tahu menahu mengenai hal
tersebut, pada 1985 mereka menyerahkan 718 hektare untuk program PIR-trans,
lalu lahan yang kembali hanya 243 ha pun dan itupun masih kredit.
Itulah dua masalah masalah yang masih membelenggu
masyarakat Indonesia dan membuat UUPA masih belum berjalan dengan efektif
hingga saat ini, sehingga permasalahan agraria seakan tak pernah ada habisnya.
UUPA sebagai sebuah cita-cita dan politik hukum dalam pembaharuan agraria
seakan hanya sebatas pemanis untuk melagengkan eksploitasi atas nama
pembangunan, peraturan pendukung yang merupakan amanat dari UUPA hingga saat
ini masih banyak yang menjadi pekerjaan yang tak terselesaikan, belum lagi
ketidak sinkronan antara cita-cita dan politik hukum UUPA
dengan peraturan-peraturan baru yang akhir-akhir ini dibuat yang justru
melagengkan penghisapan atas tanah. Semoga tulisan ini dapat menjadi rekleksi
atas kontradiksi yang terjadi selama ini atas nama pembangunan.