Oleh : Wahyudi Prawiro Utomo
Mahkamah Konstitusi (MK)
merupakan suatu Lembaga Negara dalam lingkup kekuasaan kehakiman guna
menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana yang tertera pada Pasal 24 Ayat (1)
dan Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945).
Keberadaan MK sebagai salah satu buah reformasi yang menginginkan lebih
tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia agar tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Hal tersebut diwujudkan dengan kewenangan MK untuk menguji undang-undang
terhadap UUD 1945, yang sering kali disebut dengan judicial review. .
Perlunya penerapan judicial review untuk mewujudkan
supremasi hukum sebagai suatu sistem yang hierarkis. Hal itu dilatarbelakangi
oleh kenyataan masa lalu, ketika banyak terdapat penyimpangan konstitusi oleh
undang-undang. Bahkan, tak sedikit penyelenggara pemerintahan yang dilakukan
berdasarkan Keputusan Presiden namun kesesuaiannya terhadap peraturan yang
lebih tinggi dipertanyakan. Hal itu juga merupakan konsekuensi dari dianutnya
prinsip Negara hokum dan supremasi konstitusi dalam Pasal 1 Ayat (2) dan Ayat
(3) yang juga merupakan hasil Perubahan Ketiga UUD 1945.
Secara normatif, wewenang MK
dalam melaksanakan judicial review
terbatas pada pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD).
Semangat MK dalam melaksanakan judicial
review adalah untuk menjaga agar undang-undang yang berlaku pada masyarakat
tidak mencederai hak konstitusional warga Negara Indonesia yang telah diberikan
oleh UUD 1945. Selain dari undang-undang yang sekiranya dapat mencedarai hak
konstitusional warga Negara, MK tidak berwenang untuk menguji. Berarti produk
hukum kecuali undang-undang tidak bisa dilakukan judicial review oleh MK.
Produk hukum seperti
undang-undang merupakan salah satu dari bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh
pejabat Negara. Bentuknya dapat berupa TAP MPR/MPRS yang masih berlaku, undang-undang, peraturan
perundang-undangan dibawah undag-undang, dan surat keputusan pejabat tata usaha
negara. Apabila bentuk kebijakan yang telah disebutkan tersebut bertentangan
dengan UUD 1945 maka bukan menjadi kewenangan MK untuk mengujinya.
Tidak hanya produk hukum yang
dikeluarkan oleh kekuasaan eksekutif dan kekuasan legislative saja yang
memiliki potensi menciderai hak konstitusional warga negara Indonesia. Bahkan
putusan hakim sebagai kekuasaan yudikatif juga memiliki potensi serupa. Oleh
karena itu segala tindakan pemegang kekuasaan memiliki potensi menimbulkan
dampak bagi terciderainya hak konstitusional warga Negara Indonesia.
Dilihat dari permasalahan
tersebut, MK sebagai satu-satunya lembaga Negara hanya diberikan wewenang untuk
menjaga agar undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945 agar tidak
menciderai hak konstitusional warga negara. Sedangkan apabila produk hukum
selain undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 tidak dapat diuji apakah
memang bertentang dengan UUD 1945 atau tidak.
Hal ini terjadi karena konsep
perlindungan hak konstitusional warga negara sebatas dengan judicial review oleh MK dan Mahakamh
Agung (MA). Sedangkan di MA sendiri hanya menguji peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Hal ini menunjukan bahwa
MA tidak melakukan pengujian dengan alat uji UUD 1945. Satu-satunya lembaga
egara yang diberikan wewenang untuk menguji produk hukum dengan alat uji
konstitusi hanyalah MK. Di Indonesia tidak diterapkan sistem constitutional complaint, yaitu suatu
sistem untuk menguji apakah ada pertentangan dari suatu
produk hukum dari eksekutif, legislative dan/atau yudikatif dengan konstitusi.
Dapat diartikan bahwa constitusional complain merupakan judicial review dalam arti yang luas, karena wewenang pengujiannya
mencakup seluruh produk hukum di suatu negara.
Pembahasan
Wewenang MK sebagai penguji
undang-undang terhadap UUD 1945 tidak dapat lepas dari aspek sejarah yang
terkait dengan sikap politik pembuat undang-undang. Mengingat hukum merupakan produk poltik
sehingga oleh karenanya bisa saja undang-undang berisi hal-hal yang
bertentangan atau konstitusi. Kemudian juga terdapat
kekeliruan pada saat era orde baru, yaitu masuknya Keputusan Presiden dalam
tata urutan perundang-undangan. Namun hal itu telah diluruskan dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Pasal 7 Ayat (1) undang-undang tersebut menjelaskan tata
hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
1.
UUD 1945;
2.
TAP MPR;
3.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.
Peraturan Pemerintah;
5.
Peraturan Presiden;
6.
Peraturan Daerah
Provinsi; dan
7.
Perturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Salah satu wewenang MK adalah
menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Sedangkan MA berwenang untuk menguji
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
Kedua ketentuan ini menimbulkan sebuah konsekuensi terkait kedudukan TAP MPR
dalam hierarki peraturan perundang-undangan tersebut.
MK secara normatif hanya dapat
menguji undang-undang terhadap UUD. MA secara normatif hanya berwenang untuk
menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap
undang-undang. Oleh kaerna itu TAP MPR sebagai peraturan perundang-undangan
yang bukan berada dibawah undang-undang, tidak bisa dilakukan judicial review oleh MA. Serta MK juga
tidak berwenang untuk melakukan judicial
review apabila dilihat dengan kaca mata normatif.
Hal ini yang menjadi salah satu
kelemahan status quo dari norma hukum
yang berlaku mengenai judicial review
untuk menguji produk hukum terhadap
konstitusi. Namun bukan hanya permasalahan perihal pengujian TAP MPR,
tetapi juga pengujian peraturan perundang-undangan oleh MA.
MA sebagai lemabaga peradilan
setingkat dengan MK, hanya menguji peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan
daerah provinsi dan perturan daerah kabupaten/kota terhadap undang undang. Hal
ini menunjukan bahwa keberlakuan peraturan-peraturan tersebut dapat dicabut
apabila bertentangan dengan undang-undang, sedangkan apabila orang yang
mengajukan permohanan tersebut terciderai hak konstitusinya, maka MA tidak
dapat melakukan pengujian.
Tentunya
tidak akan menutup kemungkinan bahwa peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang tersebut secara keberlakuan tidak bertentangan dengan undang-undang
namun langsung menciderai hak konstitusional warga negara. Maka akan lebih baik
jika ada suatu lembaga yang dapat menguji hal tersebut. Padahal apabila MK
membatalkan seluruh isi dari suatu undang-undang maka peraturan-peraturan
pelaksana dibawahnya secara mutatis
mutandis tidak berlaku lagi.
Semangat dari judicial review adalah agar hak
konstitusional warga Negara dapat terjaga dengan baik. Hak konstitusional (constitutional rights) adalah hak-hak yang dijamin didalam dan oleh
UUD 1945. Konstitusi menentukan apa yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan negara,
yaitu melindungi hak-hak rakyat, baik sebagai warga negara maupun sebagai
manusia. Tanpa adanya hak-hak tersebut, rakyat akan kehilangan kedaulatan
sehingga kedudukan warga negara tidak meiliki arti sama sekali. Oleh karena
itu, ketentuan jaminan perlindungan hak asasi sebagai manusia dan hak
konstitusional sebagai warga negara adalah salah satu materi muatan konstitusi.
Kewenangan
Mahkamah Konstitusi yang terbatas pada pengujian undang-undang terhadap UUD
1945 terasa belum cukup, sebab masih banyak keputusan penguasa (public authorities) termasuk peraturan
pelaksana undang-undang, kebijakan maupun putusan pengadilan yang semestinya
merupakan obyek pengujian di Mahkamah Konstitusi juga. Hal tersebut dapat
berupa keluhan konstitusional (constitutional
complaint) di mana setiap orang dapat mengajukan komplain terhadap dugaan
atas kerugian hak konstitusional mereka akibat adanya putusan, kebijakan maupun
peraturan per-undang-undangan yang bertentangan dengan Konstitusi.
Sebagai
perbandingan, terdapat negara-negara lain yang telah menerapkan keluhan
konstitusional (constitutional complain), salah satunya adalah Jerman. Dimana Jerman
telah mengadopsi constitutional complain dalam Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgerichtsgesetz). Penerapan
constitutional complain dalam
konstitusi jerman meliputi setiap keputusan penguasa (seperti hukum tertulis,
tindakan administratif, dan putusan pengadilan) yang menciderai hak-hak dasar
warga negara. Serta ada pemisahan antara konsep constitutional review dengan konsep constitutional complaint.
MK sebagai
satu-satunya lembaga negara yang dapat menguji produk hukum dengan alat uji UUD
1945, tentu menjadi sorotan agar bisa menjadi penguji segala produk hukum
terhadap UUD1945, dengan kata lain berwenang menerima permohonan constitutional complaint. Tentunya
ini suatu langkah yang progresif bagi sistem hukum di Indonesia. Karena terjadi
perubahan mendasar bagi kewengangan MK yang pada awalnya judicial review, menjadi lebih luas dengan kewenangan constitutional complaint.
Perkembangan hukum seperti itu adalah sebuah
keniscayaan. Sejalan dengan ciri-ciri hukum progresif yang berasumsi bahwa
hukum bukan merupakan institusi mutlak dan final, tetapi selalu dalam proses
menjadi (law as a procees law in the
making) yang bertujuan mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia
dengan semangat pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas, dan teori yang
selama ini mendominasi dan dirasakan menghambat hukum dalam menyelesaikan
persoalan.
Tentunya apabila dikemudian hari MK memiliki
wewenang tersebut, maka karakter hukum Indonesia lebih bersifat populistik/
responsif. Produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang
mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam
proses pembuatannya akan lebih memberikan peranan besar dan partisipasi penuh
kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat dengan adanya
mekanisme constitutional complaint.
Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau
individu masyarakat.
Dengan adanya wewenang constitutional complaint seluas-luasnya
oleh MK maka produk hukum eksekutif, legislatif dan yudikatif yang sebelumnya
tidak dapat diuji dengan alat uji UUD 1945 seperti TAP MPR dan peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang akan dapat diajukan judicial
review terhadap UUD 1945. Hal ini berarti juga terjadi perubahan terhadap
wewenang MA untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
terhadap undang-undang. Kewenang tersebut dapat dihapuskan, kemudian seluruh
wewenang judicial review berada
dibawah kewenangan MK.
Kemudian produk hukum eksekutif yaitu tindakan
formil yang bersifat individu berupa keputusan tata usaha negara dan tindakan
materiil berupa tindakan bukan keputusan tata usaha negara juga dapat diajukan constitutional complaint
kepada MK. Namun dengan syarat sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat
dilakukan karena putusan pengadilan tata usaha negara telah mengikat (inkraht). Selain itu prinsip freies ermessen atau diskresi menjadi
penting sebagai panduan bagi pemerintah untuk mengambil suatu tindakan juga
dapat berpotensi menimbulkan pelanggaran hak konstitusional warga negara. Serta
bentuk kebijakan-kebijakan lainnya dari kekuasaan eksekutif yang sekiranya akan
berlaku dan belum diatur menganai pengujiannya terhadap UUD 1945 dapat
dilakukan constitutional complaint oleh
MK.
Konsekuensi yuridis apabila dianutnya constitutional complaint seluas-luasnya
oleh MK maka putusan hakim pengadilan juga dapat diajukan constitutional complaint. Mulai dari pengadilan tingkat
satu, tingkat banding hingga tingkat kasasi serta upaya hukum luar biasa
peninjauan kembali dapat diajukan permohanan constitutional
complaint ke
MK. Pada tahap ini dapat diprediksikan akan timbul problematika baru.
Dilihat dari kedudukan lembaganya, MK dan MA
merupakan pemegang kekuasaan kehakiman berdasarkan UUD 1945. Apabila MK
memiliki kewenangan constitutional complaint, maka segala putusan dari MA
dapat di uji apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Secara eksplisit
ini menunjukan MK memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam sistem peradilan
di Indonesia. Karena berhak menguji setiap putusan hakim dalam lingkungan MA
dan badan-badan peradilan dibawahnya. Sebuah konsekuensi yang logis apabila
hanya suatu lembaga yang lebih tinggi dari lembaga tersebut yang dapat menguji
produk hukum dari lembaga yang hendak dijui. Hal ini akan menimbulkan suatu
kepastian hukum yang berlarut-larut tidak akan tercapai.
Mengingat putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 yang
memutus bahwa upaya hukum luar biasa peninjauan kembali bisa lebih dari sekali
telah banyak menimbulkan perdebatan. Walaupun secara prinsip memang upaya hukum
luar biasa peninjauan kemabali hanya sekali adalah bertentangan dengan UUD
1945, namun dikaca mata hukum acara pidana hal tersebut menghambat kepastian
hukum.
Selain itu, hukum berfungsi untuk melindungi
kepentingan setiap orang dari ganguan-ganguan diluarnya. Terkait dengan hal
ini, dalam penegakan hukum perdata bertujuan untuk melindungi agar hak si
debitur terpenuhi oleh kreditur serta agar kewajiban kreditur dapat berjalan
dengan baik. Namun dengan adanya constitutional
complaint maka kepastian untuk melindungi kepentingan debitur dan kreditur
akan terganggu. Walaupun hal tersebut tidak akan menghentikan eksekusi, namun
status dari putusan yang mendasari eksekusi tersebut dapat saja di batalkan
karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Pola seperti ini juga akan terjadi
dalam sengketa keputusan tata usaha negara atau tindakan eksekutif lainnya yang
diputus melalui peradilan tata usaha negara.
Kesimpulan
Hukum memang selalu berkembang mengikuti
perkembangan masyarakatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dibutuhkan suatu
terobosan hukum untuk menyelesaikan problem-problem yang belum diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Meningat bahwa Indonesia memegang asas legalitas,
sehingga memang dibutuhkan suatu pengaturan yang jelas. Namun bukan berarti
hukum yang berlaku hanya yang tertulis saja, karena eksistensi hukum tidak
tertulis juga masih diakui.
Terkait dengan hal tersebut constitutional complaint sebagai
jalan keluar agar hak konstitusional warga negara terjaga dengan baik harus
diatur secara tertulis. Hal ini menurut hemat penulis karena MK sebagai lembaga
negara utama mendapatkan sumber wewenangnya dari UUD 1945. Dengan kata lain
sumber kewenangannya harus bersifat atributif atau diberikan wewenangnya oleh
pembuat/pengamandemen UUD 1945, mengingat bahwa tugas constitutional complaint merupakan
tugas mulia yang berat demi menjaga keutuhan penenrapan konstitusi. Serta
menjamin kepastian hukum agar MK dapat menjalankan constitutional
complaint tanpa
timbulnya perdebatan dalam masyarakat mengenai kewenangan MK.
Namun constitutional
complaint yang menjadi tugas MK menurut hemat penulis
tidak termasuk produk hukum dari kekuasaan legislaif. Sebagaimana telah penulis
uraikan bahwa dengan adanya pengujian terhadap putusan hakim MA dan peradilan
dibawahnya akan menimbulkan problematika yang berujung pada ketidakpastian
hukum. Oleh karena pengaturan mengenai constitutional
complaint oleh
MK harus dibuat secara jelas dalam Amandemen UUD 1945. Dimana kewenanganya
hanya meliputi seluruh produk hukum legislatif dan eksekutif berupa seluruh
peraturan perundang-undangan dan segala tindakan dari pejabat tata usaha negara
yang tidak bersifat konkrit, individual dan final. Sedangkan produk hukum dari
MA dan badan-badan peradilan dibawahnya tidak dapat di ajukan constitutional complaint.
Alasannya bahwa keputusan hakim yang telah
mengikat merupakan hukum bagi para pihak dan supremasi hukum harus ditegakan.
Kedua, dilihat dari kedudukan MK dan MA merupakan badan peradilan yang memegang
kekusaan kehakiman dan tiap lembaga memiliki tugas dan fungsi masing-masing
tidak ada lembaga kehakiman yang lebih tinggi dari lembaga kehikaman lainnya,
serta hal ini akan labih memberikan kepastian hukum dan kemanfatan yang lebih
baik. Ketiga, bahwa dalam memutus perkara hakim MA dan badan-badan peradilan
dibawahnya terikat sumpah jabatan agar memenuhi kewajiban sebagai hakim
berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Tentu hal ini menunjukan bahwa setiap hakim
dalam memtus suatu perkara, secara tidak langsung juga ikut menegakkan
nilai-nilai dalam konstitusi dan ikut berperan menegakan hukum dan keadilan di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar