Oleh : Raden Achmad Zulfikar Fauzi
Pada bulan Februari 2015 Hakim Sarpin Rizaldi membacakan
putusan atas permohonan praperadilan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan Dalam
putusannya, Sarpin Rizaldi menyatakan mengabulkan sebagian permohonan
praperadilan Budi Gunawan. Dalam pertimbangannya, Sarpin menafsirkan penetapan
tersangka sebagai salah satu upaya paksa yang masuk dalam lingkup praperadilan.
Hakim Sarpin dalam pertimbangan putusannya karena undang-undang tidak mengatur
secara jelas apa yang dimaksud upaya paksa, maka hakim berhak menafsirkan apa
saja yang dikategorikan sebagai upaya paksa. Ia menilai penetapan tersangka
merupakan salah satu upaya paksa karena tindakan itu dilakukan dalam ranah pro
justisia.
Putusan tersebut pun menjadi sorotan bagi banyak pihak
terutama dalam bidang akademisi hukum dan sedikit banyak menimbulkan tanda
tanya besar bagi hukum acara di negeri ini. Karena dalam putusan hakim tersebut
secara objektif sebagai terobosan dan/atau penemuan hukum terkait putusan
praperadilan Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketika
itu terdapat pro kontra didalam ranah akademisi hukum mengenai putusan
tersebut dikarenakan Berdasarkan Pasal 1 angka 10 jo.Pasal 77 KUHAP, tugas
praperadilan di Indonesia terbatas. Praperadilan hanya dapat dilakukan terhadap
upaya-upaya paksa yang memang telah diatur secara limitatif di dalam KUHAP,
yaitu terhadap penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan, dan ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan. Sedangkan dalam
hal penetapan tersangka hanya secara limitatif yang disebutkan dalam KUHAP.
Seiring berjalannya waktu berselang 2 bulan muncullah
putusan MK terkait Praperadilan. Putusan pada Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014
tersebut menegaskan ketentuan praperadilan yang tertuang dalam Pasal 77 huruf a
KUHAP bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Menurut Mahkamah, KUHAP tidak memiliki check and
balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena
tidak adanya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti. “Hukum
Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara
utuh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat
bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya,” ujar Hakim
Konstitusi Anwar Usman membacakan Pertimbangan Hukum.
Hakikat keberadaan pranata praperadilan, lanjut Mahkamah,
adalah bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan
hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Namun
dalam perjalanannya, lembaga praperadilan tidak mampu menjawab permasalahan
yang ada dalam proses pra-ajudikasi. “Fungsi pengawasan pranata praperadilan
hanya bersifat post facto dan pengujiannya hanya bersifat formal yang
mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi
pengadilan,” imbuhnya.
Pengajuan praperadilan dalam hal penetapan tersangka
dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal
77 huruf a KUHAP. Padahal, penetapan tersangka adalah bagian dari proses
penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari
penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. “Mahkamah
berpendapat, dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata
praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana
memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan
kedudukan yang sama di hadapan hukum,” tegas Anwar.
Terhadap putusan tersebut, tiga orang hakim, yakni Hakim
Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Aswanto, dan Muhammad Alim menyatakan pendapat
berbeda (dissenting opinion). Menurut Palguna, Mahkamah seharusnya menolak
permohonan Pemohon terkait dengan tidak masuknya penetapan tersangka dalam
lingkup praperadilan lantaran hal tersebut tidak bertentangan dengan
Konstitusi. Berpegang pada International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR), Palguna menilai tidak memasukkan penetapan tersangka ke
dalam ruang lingkup praperadilan bukan merupakan perbuatan yang dapat
dipersalahkan menurut hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk menuntut
adanya tanggung jawab negara (state responsibility).
Adapun Hakim Konstitusi Muhammad Alim menilai, jika dalam
kasus konkret penyidik ternyata menyalahgunakan kewenangannya, misalnya secara
subjektif menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa mengumpulkan bukti, hal
tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah. Pasalnya, hal semacam itu merupakan
penerapan hukum. Penilaian atas penerapan hukum adalah kewenangan institusi
lain, bukan kewenangan Mahkamah. Sedangkan Hakim Konstitusi Aswanto dalam putusan tersebut
tidak dimasukannya penetapan tersangka dalam ruang lingkup praperadilan
merupakan wewenang pembentuk undang-undang untuk merevisinya. Tidak
dimasukannya ketentuan tersebut tidak serta merta menjadikan Pasal 77 huruf a
bertentangan dengan Konstitusi.
Sifat Putusan MK
Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir.
Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi
hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu
benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum.
Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu
keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan
condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon
untuk melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan yang menghukum tergugat
membayar sejumlah uang ganti rugi.
Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitutief.
Putusan MK berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan
keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. perkara pengujian undang-undang,
putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang
menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD
1945. Pada saat yang bersamaan, putusan tersebut meniadakan keadaan hukum
berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru. Pasal 58
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang MK menegaskan bahwa
Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada
putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD
1945.
Demikian pula dalam putusan MK diatas meniadaan keadaan hukum
dan menciptakan keadaan hukum baru. Menurut Maruarar Siahaan, putusan MK yang
mungkin memiliki sifat condemnatoir adalah dalam perkara sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara, yaitu memberi hukuman kepada pihak termohon
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pasal 64 ayat (3) UU MK
menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan untuk perkara sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara, MK menyatakan dengan tegas bahwa
termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan.
Putusan MK diatas Dapat penulis simpulkan perluasan objek
praperadilan memberikan sedikit banyak pencerahan terhadap penulis terkait
perluasan objek praperadilan. Akan tetapi MK dalam hal ini hanya bertindak
sebagai negative legislator MK berfungsi sebagai legislator sebagaimana
Parlemen (DPR). Bedanya, Parlemen sebagai positive legislator (pembuat norma),
sedangkan MK sebagai negative legislator (penghapus norma) sehingga perlu
adanya revisi terkait adanya KUHAP sehingga tidak adanya kesimpang-siuran
terkait perluasan objek praperadilan maka dari itu DPR perlu merevisi KUHAP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar