KONFLIK AGRARIA, KAPAN USAI?
Oleh :
Ditengah karut-marutnya kondisi bangsa
saat ini, kita dikejutkan dengan peristiwa yang sungguh miris. Salim Kancil,
seorang petani kecil di Kabupaten Lumajang meninggal dibantai oleh sekelompok
orang. Ia meninggal ditengah perjuangannya menyuarakan penolakan terhadap
penambangan pasir besi ilegal di desa Selok Awar-Awar yang mencemari lingkungan,
termasuk lahan dari para petani. Ia dibunuh oleh orang-orang yang pro terhadap
penambangan tersebut. Ia dibunuh bak binatang, dipukul dengan batu, senjata
tajam, disetrum, hingga digorok lehernya menggunakan gergaji. Hingga hari ini
polisi telah menetapkan tersangka sebanyak 37 orang, termasuk di dalamnya juga
ada aparat yang terlibat. Peristiwa
yang dialami Salim Kancil hanya sebagian kecil dan ia hanya salah satu korban
dari peristiwa besar yang telah berlangsung lama dan tak kunjung usai, yakni
Konflik Agraria.
Selain kasus Salim Kancil sebenarnya masih banyak kasus-kasus lain berkaitan
dengan konflik agraria sebelum ini, seperti kekerasan terhadap ibu-ibu petani
di Rembang, Kasus Mesuji, Bima hingga Dharmakradenan, Ajibarang dan masih
banyak lagi konflik yang terjadi. Laporan kekerasan dan konflik agraria yang
dikeluarkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2013 menyebut, terdapat 369
kasus konflik agraria di Indonesia.
Berbagai macam konflik agraria timbul
sebagai akibat dari adanya ketimpangan penguasaan dan peruntukan, serta tumpang
tindihnya berbagai regulasi terkait dengan sumber daya agraria. Padahal Pasal
33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 mengamanatkan bahwa sumberdaya alam yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun yang terjadi sebaliknya, negara
sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan kemakmuran kepada rakyatnya justru mengkhianati amanat
konstitusi.
Negara melakukan perampasan tanah-tanah
rakyat yang dilakukan dengan cara-cara represif dan digunakan bagi kepentingan
pemilik kapital.
Perkembangan
konflik agraria di Indonesia
Konflik agraria di Indonesia sebenarnya
telah berlangsung lama bahkan sejak masa kolonialisme dan dalam perkembangannya
semakin meluas ke seluruh penjuru tanah air. Pada masa kolonial konflik agraria
bersumber dari penerapan Agrarische Wet
pada tahun 1870 yang sangat merugikan bagi rakyat Indonesia. Namun setelah masa
kemerdekaan Agrarische Wet dihapus
dan diganti dengan UUPA pada tahun 1960. Bahkan rezim Soekarno telah
mencanangkan program land reform atau
reforma agraria melalui bagi rakyat Indonesia. Dalam perkembangannya program land reform belum berhasil dijalankan
secara sempurna dan rezim Soekarno keburu digulingkan. Penggantinya,
Pemerintahan Orde Baru justru melaksanakan kebijakan yang berkebalikan dengan
apa yang dicanangkan oleh rezim Soekarno. Gagasan reforma agraria sama sekali
tidak dilaksanakan di era Orde Baru. Kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru di
bidang agraria secara manipulatif telah menyalahgunakan aturan hukum yang
tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945, yang turunannya termuat dalam Pasal 1 UUPA,
yaitu mengenai hak menguasai oleh negara. Dalam bagian penjelasan sangat jelas
dinyatakan bahwa hak menguasai bukanlah hak memiliki melainkan hanya wewenang
untuk mengatur. Oleh pemerintah orde baru kewenangan mengatur itu bukannya
dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat akan tetapi untuk
“sejauh-jauhnya memfasilitasi modal asing”.
Disamping itu rezim Orde Baru juga
memaknai secara keliru fungsi sosial atas tanah. Tanah-tanah rakyat dirampas
dengan dalih akan digunakan untuk pembangunan kepentingan umum, namun yang
terjadi justru untuk dijadikan pusat industri, jalan tol bandara dan fasilitas
lain yang justru lebih condong kepada kepentingan pemilik modal. Setelah rezim
Orde Baru runtuh pada tahun 1998, gagasan land
reform kembali disuarakan, yang akhirnya melahirkan TAP MPR Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Di era
reformasi konflik agraria belum juga mereda dan justru terus meningkat setiap
tahunnya. Selama SBY memimpin (2004-2013) terjadi sebanyak 987 kasus, 21 petani
tewas, 30 orang tertembak 130 orang dianiaya dan 239 orang ditahan oleh aparat
keamanan. Ini data yang berhasil dihimpun oleh KPA. Tentu masih ada kemungkinan
masih banyak kasus yang belum dilaporkan.
Petani-petani di Indonesia harus rela
tanah-tanahnya di rampas oleh negara demi kepentingan pemilik modal. Dan para
petani yang hanya memegang cangkul harus menghadapi senjata laras panjang,
inilah bentuk represifitas negara terhadap rakyatnya. Tidak hanya itu saja
upaya untuk mencekik petani-petani miskin dilakukan dengan berbagai regulasi
yang sama sekali tidak pro-rakyat seperti UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya
Air, UU No. 4/2009 tentang Minerba, UU No.25/ 2007 tentang Penanaman Modal, UU
No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan
berbagai regulasi lainnya.
Bukti bahwa saat ini konflik agraria
terus meningkat setiap tahunnya ada pada grafik dibawah ini :
Dari grafik diatas kita tentu melihat
bahwa konflik agraria dari tahun ke tahun terus meningkat dan hari ini
berpotensi untuk terus meningkat. Apalagi dengan orientasi kebijakan rezim Jokowi
yang terus mengembangkan pembangunan infrastruktur. Potensi pembebasan lahan
untuk pembangunan infrastruktur kemungkinan akan meningkat yang tentunya akan
terus memperpanjang konflik agraria di Indonesia. Aliansi Gerakan Reforma
Agraria (AGRA) mencatat, selama pemerintahan Jokowi-JK setidaknya 89 orang
petani ditangkap dan 52 orang diantaranya dikriminalisasikan, 29 orang
mengalami kekerasan dan 3 orang meninggal. Ini
sebelum kasus Salim Kancil terjadi dan tidak termasuk kasus Kampung Pulo.
Kapan
Usai?
Jawaban untuk pertanyaan diatas jelas
sudah kita temukan, Reforma Agraria jawabannya. Konflik agraria akan usai jika
telah dilaksanakan reforma agraria yang sejati. Namun untuk menyelesaikan
konflik-konflik agraria dan melaksanakan reforma agraria di Indonesia agaknya
merupakan sesuatu yang maha sulit. Kompleks, multidimensi serta lintas sektoral
merupakan potret konflik agraria di Indonesia.
Upaya untuk mewujudkan reforma agraria
pernah dilakukan di rezim SBY. Pada tanggal 31 Januari 2007 Presiden SBY
berencana memulai pelaksanaan reformasi agraria dengan prinsip tanah untuk
keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sebelumnya pada 28 September 2006 SBY
memanggil Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional RI untuk menetapkan 18,5 juta hektar hutan produksi konversi
dialokasikan bagi program reformasi agraria untuk mengatasi kemiskinan dan
pengangguran.
Namun hal ini tidak trealisasi secara maksimal. Dari 4,8 juta hektar tanah
terlantar yang terindikasi oleh BPN RI baru 37.223 hektar yang ditetapkan
sebagai tanah terlantar dan parahnya lagi, tanah terlantar yang ditetapkan ini
belum sempat diredistribusikan kepada masyarakat. Petani pun kecewa.
Rezim Jokowi-JK pun tak ketinggalan. Jokowi
berencana membagikan 9 juta hektar lahan pertanian untuk dibagikan kepada
masyarakat. Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengatakan Jokowi
menginstruksikan reformasi agraria melalui redistribusi lahan pertanian
tersebut mengingat penguasaan lahan Indonesia hanya sekitar 0,8 hektar lahan
per orang.
Nampaknya ini hanya sekedar wacana karena yang terjadi justru sebaliknya,
perampasan tanah-tanah rakyat terus dilakukan oleh rezim Jokowi-JK, kasus
Kampung Pulo merupakan contoh konkret.
Berkaca dari hal tersebut kita tentu dapat
menarik kesimpulan bahwa di setiap rezim pemerintahan selalu diwacanakan mengenai
reforma agraria, namun tidak pernah diimplementasikan sehingga konflik-konflik
agraria tetap membara hingga kini. Kita juga kemudian dapat berkesimpulan bahwa
negara sejatinya tidak menginginkan terwujudnya reforma agraria. Oleh karena
itu sudah saatnya petani-petani di Indonesia harus dikonsolidasi untuk
melakukan gerakan-gerakan massa, dan melakukan tuntutan-tuntutan kepada negara
sehingga reforma agraria yang sejati akan terwujud, cepat atau lambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar