Jumat, 16 Oktober 2015

KONFLIK AGRARIA, KAPAN USAI?


KONFLIK AGRARIA, KAPAN USAI?
Oleh :



Ditengah karut-marutnya kondisi bangsa saat ini, kita dikejutkan dengan peristiwa yang sungguh miris. Salim Kancil, seorang petani kecil di Kabupaten Lumajang meninggal dibantai oleh sekelompok orang. Ia meninggal ditengah perjuangannya menyuarakan penolakan terhadap penambangan pasir besi ilegal di desa Selok Awar-Awar yang mencemari lingkungan, termasuk lahan dari para petani. Ia dibunuh oleh orang-orang yang pro terhadap penambangan tersebut. Ia dibunuh bak binatang, dipukul dengan batu, senjata tajam, disetrum, hingga digorok lehernya menggunakan gergaji. Hingga hari ini polisi telah menetapkan tersangka sebanyak 37 orang, termasuk di dalamnya juga ada aparat yang terlibat. Peristiwa yang dialami Salim Kancil hanya sebagian kecil dan ia hanya salah satu korban dari peristiwa besar yang telah berlangsung lama dan tak kunjung usai, yakni Konflik Agraria.
Selain kasus Salim Kancil sebenarnya  masih banyak kasus-kasus lain berkaitan dengan konflik agraria sebelum ini, seperti kekerasan terhadap ibu-ibu petani di Rembang, Kasus Mesuji, Bima hingga Dharmakradenan, Ajibarang dan masih banyak lagi konflik yang terjadi. Laporan kekerasan dan konflik agraria yang dikeluarkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2013 menyebut, terdapat 369 kasus konflik agraria di Indonesia.
Berbagai macam konflik agraria timbul sebagai akibat dari adanya ketimpangan penguasaan dan peruntukan, serta tumpang tindihnya berbagai regulasi terkait dengan sumber daya agraria. Padahal Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 mengamanatkan bahwa sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun yang terjadi sebaliknya, negara sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan kemakmuran  kepada rakyatnya justru mengkhianati amanat konstitusi.
Negara melakukan perampasan tanah-tanah rakyat yang dilakukan dengan cara-cara represif dan digunakan bagi kepentingan pemilik kapital.


Perkembangan konflik agraria di Indonesia

Konflik agraria di Indonesia sebenarnya telah berlangsung lama bahkan sejak masa kolonialisme dan dalam perkembangannya semakin meluas ke seluruh penjuru tanah air. Pada masa kolonial konflik agraria bersumber dari penerapan Agrarische Wet pada tahun 1870 yang sangat merugikan bagi rakyat Indonesia. Namun setelah masa kemerdekaan Agrarische Wet dihapus dan diganti dengan UUPA pada tahun 1960. Bahkan rezim Soekarno telah mencanangkan program land reform atau reforma agraria melalui bagi rakyat Indonesia. Dalam perkembangannya program land reform belum berhasil dijalankan secara sempurna dan rezim Soekarno keburu digulingkan. Penggantinya, Pemerintahan Orde Baru justru melaksanakan kebijakan yang berkebalikan dengan apa yang dicanangkan oleh rezim Soekarno. Gagasan reforma agraria sama sekali tidak dilaksanakan di era Orde Baru. Kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru di bidang agraria secara manipulatif telah menyalahgunakan aturan hukum yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945, yang turunannya termuat dalam Pasal 1 UUPA, yaitu mengenai hak menguasai oleh negara. Dalam bagian penjelasan sangat jelas dinyatakan bahwa hak menguasai bukanlah hak memiliki melainkan hanya wewenang untuk mengatur. Oleh pemerintah orde baru kewenangan mengatur itu bukannya dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat akan tetapi untuk “sejauh-jauhnya memfasilitasi modal asing”.
Disamping itu rezim Orde Baru juga memaknai secara keliru fungsi sosial atas tanah. Tanah-tanah rakyat dirampas dengan dalih akan digunakan untuk pembangunan kepentingan umum, namun yang terjadi justru untuk dijadikan pusat industri, jalan tol bandara dan fasilitas lain yang justru lebih condong kepada kepentingan pemilik modal. Setelah rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998, gagasan land reform kembali disuarakan, yang akhirnya melahirkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Di era reformasi konflik agraria belum juga mereda dan justru terus meningkat setiap tahunnya. Selama SBY memimpin (2004-2013) terjadi sebanyak 987 kasus, 21 petani tewas, 30 orang tertembak 130 orang dianiaya dan 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Ini data yang berhasil dihimpun oleh KPA. Tentu masih ada kemungkinan masih banyak kasus yang belum dilaporkan.
Petani-petani di Indonesia harus rela tanah-tanahnya di rampas oleh negara demi kepentingan pemilik modal. Dan para petani yang hanya memegang cangkul harus menghadapi senjata laras panjang, inilah bentuk represifitas negara terhadap rakyatnya. Tidak hanya itu saja upaya untuk mencekik petani-petani miskin dilakukan dengan berbagai regulasi yang sama sekali tidak pro-rakyat seperti UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 4/2009 tentang Minerba, UU No.25/ 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan berbagai regulasi lainnya.
Bukti bahwa saat ini konflik agraria terus meningkat setiap tahunnya ada pada grafik dibawah ini :


Dari grafik diatas kita tentu melihat bahwa konflik agraria dari tahun ke tahun terus meningkat dan hari ini berpotensi untuk terus meningkat. Apalagi dengan orientasi kebijakan rezim Jokowi yang terus mengembangkan pembangunan infrastruktur. Potensi pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur kemungkinan akan meningkat yang tentunya akan terus memperpanjang konflik agraria di Indonesia. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mencatat, selama pemerintahan Jokowi-JK setidaknya 89 orang petani ditangkap dan 52 orang diantaranya dikriminalisasikan, 29 orang mengalami kekerasan dan 3 orang meninggal. Ini sebelum kasus Salim Kancil terjadi dan tidak termasuk kasus Kampung Pulo.

Kapan Usai?

Jawaban untuk pertanyaan diatas jelas sudah kita temukan, Reforma Agraria jawabannya. Konflik agraria akan usai jika telah dilaksanakan reforma agraria yang sejati. Namun untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria dan melaksanakan reforma agraria di Indonesia agaknya merupakan sesuatu yang maha sulit. Kompleks, multidimensi serta lintas sektoral merupakan potret konflik agraria di Indonesia.
Upaya untuk mewujudkan reforma agraria pernah dilakukan di rezim SBY. Pada tanggal 31 Januari 2007 Presiden SBY berencana memulai pelaksanaan reformasi agraria dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sebelumnya pada 28 September 2006 SBY memanggil Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI untuk menetapkan 18,5 juta hektar hutan produksi konversi dialokasikan bagi program reformasi agraria untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Namun hal ini tidak trealisasi secara maksimal. Dari 4,8 juta hektar tanah terlantar yang terindikasi oleh BPN RI baru 37.223 hektar yang ditetapkan sebagai tanah terlantar dan parahnya lagi, tanah terlantar yang ditetapkan ini belum sempat diredistribusikan kepada masyarakat. Petani pun kecewa.
Rezim Jokowi-JK pun tak ketinggalan. Jokowi berencana membagikan 9 juta hektar lahan pertanian untuk dibagikan kepada masyarakat. Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengatakan Jokowi menginstruksikan reformasi agraria melalui redistribusi lahan pertanian tersebut mengingat penguasaan lahan Indonesia hanya sekitar 0,8 hektar lahan per orang. Nampaknya ini hanya sekedar wacana karena yang terjadi justru sebaliknya, perampasan tanah-tanah rakyat terus dilakukan oleh rezim Jokowi-JK, kasus Kampung Pulo merupakan contoh konkret.
Berkaca dari hal tersebut kita tentu dapat menarik kesimpulan bahwa di setiap rezim pemerintahan selalu diwacanakan mengenai reforma agraria, namun tidak pernah diimplementasikan sehingga konflik-konflik agraria tetap membara hingga kini. Kita juga kemudian dapat berkesimpulan bahwa negara sejatinya tidak menginginkan terwujudnya reforma agraria. Oleh karena itu sudah saatnya petani-petani di Indonesia harus dikonsolidasi untuk melakukan gerakan-gerakan massa, dan melakukan tuntutan-tuntutan kepada negara sehingga reforma agraria yang sejati akan terwujud, cepat atau lambat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar