Oleh : Suyogi Imam Fauzi
Staff Difisi Penelitian periode 2014/2015
Izinkanlah
saya untuk sharing apa yang telah
saya baca dan pelajari. Manusia itu menaati hukum karena memiliki kesadaran
moralitas didalam dirinya sendiri. “Apa itu kesadaran moralitas?“ Kali ini saya
ingin sharing tentang “Kesadaran
Moral“ yang diusung oleh Lawrence Kohlberg. Beliau membagi kesadaran moral
dalam 3 tahap . Tahap pertama adalah tahap moralitas pra-konvensional, tahap
kedua adalah tahap moralitas konvensional dan yang terakhir adalah tahap
moralitas purna konvensional. Tiap-tiap tahap tersebut memiliki masing-masing 2
jenjang untuk melanjutkan kejenjang berikutnya. Penasaran apa saja itu
kesadaran moralitas menurut Lawrence Kohlberg? Lets check it out...
1. Moralitas Pra-Konvensional
A.
Jenjang
Pertama
Moralitas
yang mengandalkan kalkulasi untung-rugi dan hukuman. Hal ini sering disebut
dengan moralitas kekanak-kanakan (BOCAH).
Ketaatannya pada aturan (konvensi) bukan dengan rela dan sadar bahwa hukum yang
dimaksud, benar dan baik adanya, tetapi karena takut terkena sanksi. Contoh:
si James
tau mencuri kue itu tidak boleh, namun dengan alasan karena takut dipukuli dan
ditelanjangi ama emak (sanksi) bukan karena mencuri itu suatu perbuatan pidana
dalam unsure kejahatan.
Itu
persoalan mekanis terhadap anak kecil, lain lagi terhadap orang dewasa. Orang
dewasa sudah pandai sedikit. Contohnya si Mahmud mengendarai motor dengan
sangat pelan-pelan karena didepanya ada
polisi sedang berpatroli, lalu kemudia ketika Mahmud telah melewati polisi tersebut
langsung si Mahmud menancapkan gasnya penus seperti di Film Fast and Furious.
Inilah jenjang pertama yang berorientasi kepada “HUKUMAN“.
B.
Jenjang
Kedua
Pada jenjang ini, tindakan moral
seseorang memang masih kekanak-kanakan. Tapi sudah lebih rasional. Tidak
terlalu mekanis dan membabi-buta. Orang sudah mulai menghitung-hitung dan
memilih-milih. Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang ini adalah
bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan
sedapat-dapatnya. Tindakan moral seorang adalah “alat” atau “instrument” untuk
mencapai tujuan diatas. Saya melakukan sesuatu untuk mendapat sesuatu. “You scratch my back and I Scratch your”, Kata
orang Amerika, “Anda menggaruk punggung ku, dan saya menggaruk punggu mu“.
Sudah ada rasa keadilan disini tapi keadilan yang berdasarkan perhitungan.
Kholberg mengatakan, nilai moral yang
berlaku pada jenjang ini bersifat instrumental artinya, sebagai alat untuk mencapai
kenikmatan sebanyak banyak dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Rasa
takut dihukum masih merupakan faktor, tapi bukan tanpa perhitungan. Contoh :
James, tahu dosennya melakukan suatu
tindakan plagiat / pelanggaran hak cipta. Apakah james akan mengadukan dosennya
itu kepada kepihak berwajib. ataupun kepada Pembantu Dekan 1, sangatlah
ditentukan oleh kalkulasi untung ruginya. Mana yang menguntukan bagi dirinya,
melaporkan pada polisi atau “SALAM DAMAI“ dengan dosennya (mungkin nilai bs
dapet A). Jenjang ini masih pra konvensional. Sebab pertimbangan pokok bukanlah
apa yang benar dan apa yang baik secara kolektif, tetap apa yang menguntungkan
bagi diri subyektifnya.
2. Moralitas Konvensional.
A.
Jenjang
Ketiga
Sesuatu apa yang benar dan baik itu
ditentukan oleh orang lain. “Saya tidak menetapkannya, Saya hanya tinggal
mematuhinya, dan saya tidak melakukan hal itu bukan karena takut dihukum,
tetapi lebih karena keluarga, pacar, gebetan, atau bos saya melarang untuk
melakukan itu“.
Moralitas pada jenjang ini telah
merupakan perkembangan yang luar biasa dibandingkan jenjang-jenjang sebelumnya.
Tapi karena sifatnya terbatas, maka moralitas seperti ini kadang berhadapan
dengan masalah. Masalah terbesarnya ialah, bila terjadi perbenturan atas
pertentangan loyalitas. Harapan-harapan yang ada pada setiap kelompok bukan
saja berbeda-beda, tapi boleh jadi malah saling bertentangan satu sama lainnya.
“Loyalitas saya sebagai anggota
keluarga yang menuntut saya untuk bersikap dan bertindak jujur dimana saja,
tapi dimana saya di lingkungan pekerjaan saya, hal itu tidak mungkin. Saya justru akan tersingkir/dimusuhi oleh
kejujuran saya itu. Mana yang harus saya pilih ?“
Dalam hal hubungan inilah, kholberg
melihat bahwa jenjang berikutnya merupakan perkembangan yang signifikan.
B.
Jenjang
Keempat
Lanjutan dari permasalahan jenjang
ketika, bila terjadi konfilik loyalitas seperti disebut diatas apa yang kita
jadikan dasar untuk memilih dan mengambil suatu keputusan atas permasalahan itu?
Jawaban yang sederhana ialah, kita
harus merujuk pada suatu prinsip/hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum obyektif
yang tidak berlaku untuk satu-satu kelompok saja, tapi hukum yang mempunyai
keabsahan yang lebih luas. Hukum yang lebih mendimensi universal inilah
orientasi dari moralitas pada jenjang keempat. Pada jenjang ini seorang sudah
berhasil menembus tembok-tembok kelompok yang sempit, untuk mengengok dan
berpegang pada yang lebih luas lagi.
Manakah yang harus dipilih, korupsi
atau tidak? Masalahnya bukan memilih pada mana yang lebih memberi jaminan
identitas dan sekuiritas, akan tetaou apa HUKUMANNYA?
Kata
kunci dalam jenjang keempat ini adalah “Kewajiban” (Duty). Kita melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, bukan
hanya agar kita diterima oleh orang lain, tapi oleh karena kita sadar bahwa itu
adalah kewajiban kita menurut hukum yang berlaku umum yang harus ditaati bukan
karena memberi jaminan identitas. Dengan melaksanakan kewajiban untuk, dapat
saja kita akan tersingkit dari kelompok kita. Tetapi itu tidak lagi menjadi
ganjalan yang utama. Persoalan kita, bukan lagi soal akan disukai atau tidak
disukai oleh orang lain, tetapi apakah kita menaati hukum yang berlaku atau
tidak.
Menurut
Kholberg, jenjang keempat diatas, belum merupakan puncak perkembangan moral
manusia. Memang, dibandingkan dengam moralitas pra-konvensional yang berpusat
pada diri sendiri, moralitas konvensional mempunyai cakrawala jauh lebih luas.
Bahkan jenjang keempat, cakrawala tidak lagi terbatas pada kelompoikm yang
parochial, melainkan lebih universial. Tetapi, tetap belum universal dalam arti
sesungguhnya. Loyalitas saya pada hukum atau undang-undang, tentu jauh lebih
luas dibandingkan dengan loyalitas saya kepada ketentuan-ketentuan keluarga.
Namun, betapun luasnya “Negara“ tetap merupakan satu kelompok, belum universal.
Belum mencakup seluruh umat manusia. Ketetapan-ketetapan yang ada, bagaimanapun
hanya berlaku dalam batas-batas kelompok tertentu.
3.
Moralitas
Purna Konvensional
A.
Jenjang
Kelima
Jika
pada jenjang keempat, hukum yang berlaku wajib ditaati. Hukum itu sendiri,
tidak dipertanyakan. Mempertanyakan, malah mungkin dianggap salah. Pada jenjang
kelima, orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada, sebenarnya tidak lain dari
kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan antar manusia yang melahirkan hukum. Oleh
karena itu, kesepakatan antar manusia pulalah yang dapat mengubahnya. Tidak ada
hukum yang serta-merta dianggap sacral, yang tidak dapat diubah. Bila hukum
tidak lagi memenuhi fungsinya, ia harus diubah.
Ada
sikap kritis dalam jenjang kelima ini. Orang senantiasa memperjuangkan keutaman
dalam isi hukum ketimbang bersikap formal-legalistik (sebagaimana jenjang
keempat).
B.
Jenjang
keenam
Menurut
Kholberg, pada jenjang inilah perkembangan pemikiran moral seseorang mencapai
puncaknya, yaitu moralitas yang pantang mengkhianati suara hati nurani dan
keyakinan tentang yang benar dan yang baik. Orang-orang tidak takut menentang arus.
Berani dalam kesendirian. “RELA MENERIMA MATI DARIPADA MENIPU DIRI”.
Semua
itu bukan untuk kepuasan dan kepentingan
diri pribadi, melainkan kepentingan bersama. Visi dan misinya jelas,
yaitu demi tegaknya harkat dan martabah seluruh umat manusia. Untuk semua itu,
orang-orang seperti Mahatma Gandhi melakukan tindakan-tindakan yang sering kali
tidak tercerna oleh akal sehat orang-orang biasa. Moralitas mereka, bukan
irasional tetapi melampaui akal atau bisa disebut Moralitas yang transrasional.
Itu adalah kerangka pemikiran Kholberg,
dapat kita manfaatkan untuk melakukan suatu kajian terhadap perilaku hukum dari
berbagai kelompok-kelompok sosial atau sebagai refreleksi terhadap diri kita
sendiri untuk menempa diri agar menjadi suatu insan yang lebih baik lagi.
Dengan begitu kita berkesapakan melakukan pemetaan pola perilaku hukum dari
sisi moralitas. Abakig dengan itu, kita juga memanfaatkan kerangka-kerangka
analisi lain yang bermanfaat untuk pengembangan kajian terhadap hukum sebagai fenomena
manusia dan sosial.
Tulisan ini diinspirasi oleh buku :
Teori Hukum ( Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi ) karangan Dr. Bernard L. Tanya, DKK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar