(Diambil dari : http://www.google.com)
Oleh : Luthfi Kalbuadi[1]
Berbicara
mengenai keberlanjutan hidup, manusia sangat ditentukan oleh apa yang ia
butuhkan : sandang, pangan, papan. Selanjutnya bisa kita sebut dengan kebutuhan
primer yang pada dasarnya adalah kebutuhan yang diutamakan, tidak bisa tidak. Dalam
hal ini, ketiga komponen yang telah disebutkan merupakan bagian penting yang tidak
akan pernah lepas sebagai tolok ukur standar hidup yang berkecukupan. Setelah
kebutuhan primer tadi, ada kebutuhan sekunder dan tersier sebagai kebutuhan
manusia yang pemenuhannya bersifat komplementer atau pelengkap (kebutuhan
sekunder dan tersier biasanya, dipenuhi setelah kebutuhan primer. Dalam rangka
mengefektifkan dan mengefisienkan apa yang manusia butuhkan, hendaknya ketiga
kebutuhan tadi dapat dijadikan prioritas supaya apa yang diharapkan yakni
kehidupan yang berkecukupan tercapai. Namun yang menarik, ada salah satu
prinsip ilmu ekonomi yang berkata bahwa manusia tidak akan pernah puas dalam
memenuhi kebutuhannya hingga dalam titik tertentu ia akan menemui titik
kejenuhan. Begitupun dengan masyarakat Indonesia yang telah dimabukkan oleh
pola hidup yang konsumtif. Didasarkan pada keinginan, bukan kebutuhan. Sebagai
contoh, orang membeli telepon genggam karena fitur yang ada pada benda tersebut
lebih menggiurkan dengan mengesampingkan fungsi telepon genggam secara
substansial. Tak hanya itu, kadang kadang pula saat telepon genggam sudah
dimiliki, orang akan cenderung membeli telepon genggam lain dengan alasan yang
tidak jelas. Urung rusak ,wis tuku maning.
Begitulah kira kira ungkapan dalam bahasa Banyumasan ketika penulis mengetahui
salah seorang saudara yang membeli smartphone sementara ia masih memiliki
handphone keluaran terbaru yang masih gress
(baca: baru). Logikanya adalah, bila handphone yang kita pakai masih dapat
berfungsi sebagaimana mestinya, maka tentunya dapat kita pakai hingga tidak
dapat dipakai lagi baru kemudian kita bisa menggantinya dengan yang baru.
Masih banyak contoh
lain yang dapat kita temui dalam kehidupan sehari hari. Terus berulang hingga
tiada ujungnya sampai menjadi sesuatu yang dianggap lumrah karena globalisasi
hingga akhirnya, membudaya. Budaya, menurut KBBI Offline, memiliki makna
pikiran, akal budi-adat istiadat-sesuatu mengenai kebudayaan yang berkembang (beradab,
maju), - sesuatu yang menjadi kebiasaan. Menurut Ridho Al- Hamdi , budaya ialah
suatu kebiasaan berupa praktik-praktik dalam keseharian dan sudah menjadi
kebiasaan[2].
Bisa dikatakan, budaya itu ialah kesemua hal yang dilakukan terus menerus
sehingga lambat laun memperoleh anggapan dan diberi cap lumrah oleh masyarakat.
Sedangkan terminologi pop sendiri merujuk pada kata populer atau disukai banyak
orang[3] .
Jadi, kesimpulan yang kita dapat dari kedua istilah diatas tadi yakni suatu hal
yang dilakukan secara kontinyu sebagai hal yang bersifat menyenangkan. Budaya
pop tidak secara otomatis masuk dalam negeri ini. Ada proses yang menyertainya.
Terutama, dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang gandrung oleh hal hal yang
berbau serba baru. Kondisi demikian sangat dipahami betul oleh pencari
keuntungan komersiil yang menyediakan apa yang sedang diinginkan masyarakat. Pelaku
ekonomi dengan cerdasnya memanfaatkan budaya masyarakat Indonesia yang latah.
Latah disini bukan dalam arti yang sebenarnya, namun latah dalam hal perilaku
konsumsi. Barangkali hal ini sesuai seperti yang telah diutarakan Drs. Sutamto
yang mengklasifikasikan sifat dan keinginan konsumen menjadi tiga, yakni
·
Konsumen
berdaya beli kuat
·
Konsumen
berdaya beli sedang
·
Konsumen
berdaya beli rendah
Masyarakat kita agaknya termasuk
tipikal konsumen berdaya beli kuat. Frekuensi pembeliannya atas suatu barang
cenderung tinggi dengan model yang mengarah kemewahan dan kualitas
(berorientasi pada merk) plus sering membeli barang dalam jumlah besar[4] .
Pas dengan karakteristik latah tadi, konsumtif.
Sebagai contoh, jika
kita menilik kebelakang sedikit, pada era 80-90-an, kita terbius dengan budaya
ke Amrik amrik-an. Restoran cepat
saji ala negara penjajah itu mblarah
mblarah (tersebar banyak-red) di seluruh Indonesia hingga banyak orang
berlomba lomba untuk makan disitu. Bahkan, secara tidak langsung tindakan
seperti ini dipercaya dapat menaikkan status sosial si konsumen. Memasuki era
2000-an, kita , terutama kaum remaja mulai dimasuki roh bernama boyband.
Westlife, A1, Backstreet Boys, dan lainnya. Hal yang sama masih ada sampai
sekarang hingga orang orang Korea dengan boyband dan girlbandnya sukses membuat
generasi muda Indonesia (anak anak juga) bertekuk mata, kuping dan mulut. Tidak hanya barang yang sifatnya komplementer,
tapi juga gaya hidup yang demikian, telah merasuk dalam sendi sendi keagamaan.
Agama telah menjadi (atau dijadikan) komoditi. Saat ini hingga tulisan ini
dibuat, demam kerudung gaul telah menjadi virus yang merusak remaja putri kita.
Merusak mungkin bukan bahasa yang halus, namun apa daya itu sesuai dengan
akibat yang disebabkan gaya berbusana
yang dikatakan gaul tapi tetap syar’i tersebut. Toko toko kerudung sampai video
video di internet banyak menawarkan kerudung aneka macam dan cara modifikasi
kerudung. Padahal, fashion dan kerudung tidak dapat dijadikan satu kesatuan. Fashion is fashion, hijab is hijab. And
hijab is not fashion[5].
Ini malah membuat fungsi kerudung bukan pada aslinya yakni menutup aurat. Yang
perlu di garisbawahi adalah aurat wanita itu dari wajah dan telapak tangan.
Orang yang memutuskan memakai kerudung tentunya harus berfikir secara matang
karena ini bukan sesuatu yang main main.
Bukan sesuatu yang
dilarang, mengidolakan, menyukai,bahkan
memuja hal hal diatas tadi. Namun, semua itu ada batasnya. Segala
sesuatu yang berlebihan tentu tidak dapat dibenarkan. Seperti yang dikatakan
seorang psikolog[6]
ketika menyikapi fanatisme terhadap fenomena boyband Korea bahwa ketika proses pengidolaan itu sudah
dijadikan bagian hidup seseorang, maka dapat berimbas buruk bagi keadaan
batiniah seseorang itu. Waktu ibadah, belajar dan perintah orangtua kerap
diabaikan. Dengan bahasa sehari hari kita kerap menamai kondisi yang demikian
dengan sebutan alay/lebay/autis. Pada akhirnya, kebiasaan kebiasaan seperti ini
mesti dikurangi, karena menurut penulis ini tidak bisa dihilangkan karena sukar
menebas budaya yang telah menjangkiti masyarakat kita. Namun, tidak ada
kompromi, bila kita telah mempunyai kewajiban hukum dan moral seperti halnya
pengurus suatu UKM atau menjadi karyawan di sebuah instansi manapun, kebiasaan
kebiasaan buruk tersebut harus ditinggalkan karena berpeluang menghambat
kinerja kita sehingga bila sedikit saja kita terlambat, maka dapat berdampak
secara sistemik secara kelembagaan. Sebuah hal yang tidak kita inginkan
tentunya. Dengan demikian, kita sudah bisa menilai dan memilih posisi kita atau
sejauh manakah kita berdiri dengan budaya pop, sebagai kawan ataukah sebagai
lawan?
Bahan Bacaan
Ridho ‘’Bukan’’ Rhoma. Berhala Itu Bernama Budaya Pop. Cetakan
Pertama. Yogyakarta. Leutika. 2009
Drs. Sutamto. Teknik Menjual Barang. Cetakan Kedua.
Jakarta. Balai Aksara.1977
Web
[1] Mahasiswa
FH Unsoed Angkatan 2010 sekaligus Volunteer di LKHS, Penulis pernah menjabat sebagai Ketua Umum Lembaga Kajian Hukum dan Sosial Fakultas Hukum Unsoed Periode 2011-2012. Koordinator Dewan Pertimbangan Lembaga Kajian Hukum dan Sosial 2012-2013,
[2] Ridho ‘’Bukan’’ Rhoma. Berhala Itu Bernama Budaya Pop, Cetakan
Pertama. Yogyakarta. Leutika. 2009. Hal.2
[4] Drs. Sutamto. Teknik Menjual
Barang, Cetakan Kedua. Jakarta. Balai Aksara. 1977. Hal. 26
[6] Psikolog itu bernama Rose Mini
a.k.a Mbak Romi ,dalam sebuah acara bertajuk “Warna” di Trans7, (lupa bulan dan
tanggal) tahun 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar