Minggu, 06 Oktober 2013

KITA DAN BUDAYA POP : KAWAN ATAU LAWAN?


(Diambil dari : http://www.google.com)

Oleh : Luthfi Kalbuadi[1]

            Berbicara mengenai keberlanjutan hidup, manusia sangat ditentukan oleh apa yang ia butuhkan : sandang, pangan, papan. Selanjutnya bisa kita sebut dengan kebutuhan primer yang pada dasarnya adalah kebutuhan yang diutamakan, tidak bisa tidak. Dalam hal ini, ketiga komponen yang telah disebutkan merupakan bagian penting yang tidak akan pernah lepas sebagai tolok ukur standar hidup yang berkecukupan. Setelah kebutuhan primer tadi, ada kebutuhan sekunder dan tersier sebagai kebutuhan manusia yang pemenuhannya bersifat komplementer atau pelengkap (kebutuhan sekunder dan tersier biasanya, dipenuhi setelah kebutuhan primer. Dalam rangka mengefektifkan dan mengefisienkan apa yang manusia butuhkan, hendaknya ketiga kebutuhan tadi dapat dijadikan prioritas supaya apa yang diharapkan yakni kehidupan yang berkecukupan tercapai. Namun yang menarik, ada salah satu prinsip ilmu ekonomi yang berkata bahwa manusia tidak akan pernah puas dalam memenuhi kebutuhannya hingga dalam titik tertentu ia akan menemui titik kejenuhan. Begitupun dengan masyarakat Indonesia yang telah dimabukkan oleh pola hidup yang konsumtif. Didasarkan pada keinginan, bukan kebutuhan. Sebagai contoh, orang membeli telepon genggam karena fitur yang ada pada benda tersebut lebih menggiurkan dengan mengesampingkan fungsi telepon genggam secara substansial. Tak hanya itu, kadang kadang pula saat telepon genggam sudah dimiliki, orang akan cenderung membeli telepon genggam lain dengan alasan yang tidak jelas. Urung rusak ,wis tuku maning. Begitulah kira kira ungkapan dalam bahasa Banyumasan ketika penulis mengetahui salah seorang saudara yang membeli smartphone sementara ia masih memiliki handphone keluaran terbaru yang masih gress (baca: baru). Logikanya adalah, bila handphone yang kita pakai masih dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka tentunya dapat kita pakai hingga tidak dapat dipakai lagi baru kemudian kita bisa menggantinya dengan yang baru.

Masih banyak contoh lain yang dapat kita temui dalam kehidupan sehari hari. Terus berulang hingga tiada ujungnya sampai menjadi sesuatu yang dianggap lumrah karena globalisasi hingga akhirnya, membudaya. Budaya, menurut KBBI Offline, memiliki makna pikiran, akal budi-adat istiadat-sesuatu mengenai kebudayaan yang berkembang (beradab, maju), - sesuatu yang menjadi kebiasaan. Menurut Ridho Al- Hamdi , budaya ialah suatu kebiasaan berupa praktik-praktik dalam keseharian dan sudah menjadi kebiasaan[2]. Bisa dikatakan, budaya itu ialah kesemua hal yang dilakukan terus menerus sehingga lambat laun memperoleh anggapan dan diberi cap lumrah oleh masyarakat. Sedangkan terminologi pop sendiri merujuk pada kata populer atau disukai banyak orang[3] . Jadi, kesimpulan yang kita dapat dari kedua istilah diatas tadi yakni suatu hal yang dilakukan secara kontinyu sebagai hal yang bersifat menyenangkan. Budaya pop tidak secara otomatis masuk dalam negeri ini. Ada proses yang menyertainya. Terutama, dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang gandrung oleh hal hal yang berbau serba baru. Kondisi demikian sangat dipahami betul oleh pencari keuntungan komersiil yang menyediakan apa yang sedang diinginkan masyarakat. Pelaku ekonomi dengan cerdasnya memanfaatkan budaya masyarakat Indonesia yang latah. Latah disini bukan dalam arti yang sebenarnya, namun latah dalam hal perilaku konsumsi. Barangkali hal ini sesuai seperti yang telah diutarakan Drs. Sutamto yang mengklasifikasikan sifat dan keinginan konsumen menjadi tiga, yakni
·         Konsumen berdaya beli kuat
·         Konsumen berdaya beli sedang
·         Konsumen berdaya beli rendah
Masyarakat kita agaknya termasuk tipikal konsumen berdaya beli kuat. Frekuensi pembeliannya atas suatu barang cenderung tinggi dengan model yang mengarah kemewahan dan kualitas (berorientasi pada merk) plus sering membeli barang dalam jumlah besar[4] . Pas dengan karakteristik latah tadi, konsumtif.

Sebagai contoh, jika kita menilik kebelakang sedikit, pada era 80-90-an, kita terbius dengan budaya ke Amrik amrik-an. Restoran cepat saji ala negara penjajah itu mblarah mblarah (tersebar banyak-red) di seluruh Indonesia hingga banyak orang berlomba lomba untuk makan disitu. Bahkan, secara tidak langsung tindakan seperti ini dipercaya dapat menaikkan status sosial si konsumen. Memasuki era 2000-an, kita , terutama kaum remaja mulai dimasuki roh bernama boyband. Westlife, A1, Backstreet Boys, dan lainnya. Hal yang sama masih ada sampai sekarang hingga orang orang Korea dengan boyband dan girlbandnya sukses membuat generasi muda Indonesia (anak anak juga) bertekuk mata, kuping dan mulut.  Tidak hanya barang yang sifatnya komplementer, tapi juga gaya hidup yang demikian, telah merasuk dalam sendi sendi keagamaan. Agama telah menjadi (atau dijadikan) komoditi. Saat ini hingga tulisan ini dibuat, demam kerudung gaul telah menjadi virus yang merusak remaja putri kita. Merusak mungkin bukan bahasa yang halus, namun apa daya itu sesuai dengan akibat yang disebabkan  gaya berbusana yang dikatakan gaul tapi tetap syar’i tersebut. Toko toko kerudung sampai video video di internet banyak menawarkan kerudung aneka macam dan cara modifikasi kerudung. Padahal, fashion dan kerudung tidak dapat dijadikan satu kesatuan. Fashion is fashion, hijab is hijab. And hijab is not fashion[5]. Ini malah membuat fungsi kerudung bukan pada aslinya yakni menutup aurat. Yang perlu di garisbawahi adalah aurat wanita itu dari wajah dan telapak tangan. Orang yang memutuskan memakai kerudung tentunya harus berfikir secara matang karena ini bukan sesuatu yang main main.

Bukan sesuatu yang dilarang, mengidolakan, menyukai,bahkan  memuja hal hal diatas tadi. Namun, semua itu ada batasnya. Segala sesuatu yang berlebihan tentu tidak dapat dibenarkan. Seperti yang dikatakan seorang psikolog[6] ketika menyikapi fanatisme terhadap fenomena boyband Korea  bahwa ketika proses pengidolaan itu sudah dijadikan bagian hidup seseorang, maka dapat berimbas buruk bagi keadaan batiniah seseorang itu. Waktu ibadah, belajar dan perintah orangtua kerap diabaikan. Dengan bahasa sehari hari kita kerap menamai kondisi yang demikian dengan sebutan alay/lebay/autis. Pada akhirnya, kebiasaan kebiasaan seperti ini mesti dikurangi, karena menurut penulis ini tidak bisa dihilangkan karena sukar menebas budaya yang telah menjangkiti masyarakat kita. Namun, tidak ada kompromi, bila kita telah mempunyai kewajiban hukum dan moral seperti halnya pengurus suatu UKM atau menjadi karyawan di sebuah instansi manapun, kebiasaan kebiasaan buruk tersebut harus ditinggalkan karena berpeluang menghambat kinerja kita sehingga bila sedikit saja kita terlambat, maka dapat berdampak secara sistemik secara kelembagaan. Sebuah hal yang tidak kita inginkan tentunya. Dengan demikian, kita sudah bisa menilai dan memilih posisi kita atau sejauh manakah kita berdiri dengan budaya pop, sebagai kawan ataukah sebagai lawan?



Bahan Bacaan
Ridho ‘’Bukan’’ Rhoma. Berhala Itu Bernama Budaya Pop. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Leutika. 2009
Drs. Sutamto. Teknik Menjual Barang. Cetakan Kedua. Jakarta. Balai Aksara.1977
Web





[1] Mahasiswa FH Unsoed Angkatan 2010 sekaligus Volunteer di LKHS, Penulis pernah menjabat sebagai Ketua Umum Lembaga Kajian Hukum dan Sosial Fakultas Hukum Unsoed Periode 2011-2012. Koordinator Dewan Pertimbangan Lembaga Kajian Hukum dan Sosial 2012-2013, 
[2] Ridho ‘’Bukan’’ Rhoma. Berhala Itu Bernama Budaya Pop, Cetakan Pertama. Yogyakarta. Leutika. 2009. Hal.2
[3] Ibid, Hal.2
[4] Drs. Sutamto. Teknik Menjual Barang, Cetakan Kedua. Jakarta. Balai Aksara. 1977. Hal. 26
[6] Psikolog itu bernama Rose Mini a.k.a Mbak Romi ,dalam sebuah acara bertajuk “Warna” di Trans7, (lupa bulan dan tanggal)  tahun 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar