Minggu, 24 September 2017

MENGENAL INTERVENSI DALAM ACARA PERDATA

Oleh : Aditya Edo Primantoro


​Intervensi  adalah campur tangan atau ikut serta pihak ke-3 yang mempunyai kepentingan kedalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan (berproses) antara pihak penggugat dengan pihak tergugat. Jika ada pihak ketiga yang merasa memiliki kepentingan terhadap perkara tersebut, maka dia dapat melibatkan dirinya atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam perkara tersebut. Inilah yang biasa disebut dengan Intervensi. Dalam melakukan intervensi, pihak ketiga dapat melakukannya sebagai Penggugat Intervensi atau Tergugat Intervensi. Dasar Hukum Intervensisejatinya tidak diatur dalam HIR (Herzien Indonesis Reglement) dan RBg (Rechtsreglement Buitengewesten). Namun, pengaturannya dapat kita temui dalam RV (Reglement of de Rechtsvordering). Menurut Pasal 279 RV, dikatakan bahwa,
“Barangsiapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain dapat menuntut untuk mengabungkan diri atau campur tangan”.

Bentuk-BentukIntervensi dalam Acara Perdata meliputi :
1. Tussenkomt (Menengahi)
“Intervensi bentuk Tussenkomt Merupakan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara perdata sebagai pihak yang berkepentingan untuk membela kepentingannya sendiri “
Ciri-ciri tussenkomst:
- Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan secara sukarela dan berdiri sendiri
- Adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian, atau kehilangan haknya yang mungkin terancam.
- Melawan kepentingan kedua belah pihak yang berperkara. ​​​​
- Dengan memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara (Penggabungan tuntutan).
Contoh Konkretnya adalah “A sebagai seorang ahli waris menuntut B yang menguasai harta peninggalan agar menyerahkan harta peninggalan tersebut, kemudian datang C mengintervensi sengketa antara A dan B dengan tuntutan bahwa dialah yang berhak atas harta peninggalan tersebut berdasarkan testament”.

2. Voeging ( Menyertai )
“intervensi bentuk voeging yakni pihak ketiga mencampuri sengketa yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan bersikap memihak kepada salah satu pihak, biasanya pihak tergugat dan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukumnya sendiri dengan membela salah satu pihak yang bersengketa “.
Ciri-ciri voeging:
- Sebagai pihak yang berkepentingan secara sukarela dan berdiri sendiri
- berpihak kepada salah satu pihak dari penggugat atau tergugat.
- Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya sendiri dengan jalan membela salah satu yang bersengketa. ​​​​​​​
- Memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara.
Contoh konkretnya adalah :“ A menggugat B untuk pembayaran suatu utang. C mendengar perihal itu menjadi kaget dan mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah suatu utang, akan tetapi adalah modal untuk usaha dagang bersama antara A, B dan C.Oleh karena itu C mencampuri gugatan dan memihak atau menggabungkan diri kepada B.” 
Bentuk Vrijwaring merupakan bentuk dari Intervensi, namun bentuk intervensi dari Vrijwaring ini berbeda dengan Tussenkomt dan Voeging . Dikatakan berbeda Intervensi Vrijwaring adalah Intervensi yang tidak sukarela ( Dipaksa).

3. Vrijwaring (Penanggungan)
“ Intervensi Vrijwaring juga dianggap sebagai pihak ketiga, namun keterlibatannya bukan karena pihak ketiga itu yang berkepentingan, melainkan karena dianggap sebagai penanggung (garantie) oleh salah satu pihak, biasanya tergugat, sehingga dengan melibatkan pihak ketiga itu akan dibebaskan dari pihak yang menggugatnya akibat putusan tentang pokok perkara “.
Ciri-Ciri Vrijwaring​​​​​​
- Merupakan penggabungan tuntutan
- Salah satu pihak yang bersengketa menarik pihak ketiga didalam sengketa
- Keikut sertaan pihak ketiga timbul karena dipaksa dan bukan karena kehendaknya.

Menurut Sudikno Mertokusumo (1998: 74) , Vrijwaring terbagi atas dua yakni:
1. Vrijwaring Formil (Garantie Formelle) terjadi jika seseorang diwajibkan untuk menjamin orang lain menikmati suatu hak atau benda terhadap suatu yang bersifat kebendaan, seperti penjual yang harus menanggung pembeli dari gangguan pihak ketiga (pasal 1492 BW). Dalam kaitannya dengan Vrijwaring, jika ternyata pembeli ini (Mis A) kemudian digugat oleh C, karena B dulunya menjual barang C kepada A, maka B dapat ditarik sebagai Vrijwaring.

2. Vrijwaring Simple/ Sederhana, terjadi apabila sekiranya tergugat dikalahkan dalam sengketa yang sedang berlangsung, ia mempunyai hak untuk menagih kepada pihak ketiga: penanggung dengan melunasi hutang mempunyai hak untuk menagih kepada Debitur (Vide: Pasal 1839, dan Pasal 1840 BW). Artinya dalam tuntutan itu ada tuntutan penggugat lawan tergugat (tertanggung) dan tuntutan tergugat lawan pihak ketiga (penanggung).

Dari berbagai pemaparan di atas. Jelas,Tussenkomst, pihak ketiga itu menjadi pihak yang Mengintervensi ke pada para pihak tanpa ada keberpihakannya, dengan maksud untuk membela kepentingannya sendiri ,Voeging sebagai pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap para pihak dengan memihak kepada salah satu pihak. Dan jelas amat bebeda lagi dengan Vrijwaring, oleh karena pihak ketiga ditarik secara terpaksa (bukan kehendak pihak ketiga). Pihak ketiga dianggap sebagai Penanggung atas perkara yang dituntut oleh penggugat kepada tergugat.
Dasar Hukum :
1. RV: Reglement of de Rechtsvordering pasal 279/282
Refrensi
1. H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, Cet. V
2. Mertokusumo, Sudikno. 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia.Yogyakarta Liberty.

Rabu, 07 Juni 2017

PERTENTANGAN DUA ASAS DALAM HUKUM ACARA PERDATA


Oleh : Qantas Rifky


Asas ultra petitum partium atau yang lebih dikenal dengan nama asas ultra petita dalam hukum acara perdata diatur pada ketentuan pasal 178 ayat (2) HIR yang berbunyi “Hakim  tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat.”Di dalam penjelasan lebih lanjut dijelaskan yaitu asas ini melarang hakim untuk menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau meluluskan yang lebih daripada yang digugat, seperti misalnya apabila seorang penggugat dimenangkan di dalam perkaranya untuk membayar kembali uang yang dipinjam oleh lawannya,  akan tetapi ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat dihukum pula membayar bunganya, maka hakim tidak diperkenankan 
diperkenankan menyebutkan dalam putusannya supaya yang kalah itu membayar bunga atas uang pinjaman itu. 

Awal munculnya asas ini tidak lain berangkat dari ketentuan asas lain yaitu asas hakim pasif dimana dalam penentuan ruang lingkup dan pokok sengketa para pihaklah yang menetukan. Selain itu segala perakara yang timbul dalam peradilan acara perdata adalah inisiatif dari para pihak ini juga yang menjadikan hakim bersifat pasif.


Menurut Yahya Harahap, hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi posita maupun petitum gugatan , dianggap telah melampaui wewenang aturan ultra vires yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petita , maka putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan oleh hakim dengan itikad baik maupun sesuai dengan kepentingan umum.


Konsep dari asas ultra petita dalam hukum acara perdata adalah untuk melindungi kepentingan para pihak yang dikalahkan dalam proses peradilan, sebab apabila hakim memutus melebihi apa yang dituntut/dimohonkan tentu itu akan sangat merugikan bagi pihak yang kalah. apabila ditinjau dari tujuan hukum menurut gustav  redbruch maka asas ini sangat membantu untuk terwujudnya keadilan dan kepastian hukum. 



Meskipun Asas ultra petita yang memberikan batasan kepada hakim agar tidak memutus secara sewenang-wenang dan sesuai apa yang yang dimohonkan oleh pihak yang mengajukan tututan. Namun, disisi lain terdapat salah satu asas yang ada di dalam hukum acara perdata yang menurut penulis asas ini memberikan suatu kesempatan kepada hakim untuk memberikan putusan melebihi apa yang dimohonkan atau dengan kata lain ultra petita. Asas yang dimaksud adalah asas Ex Aequo Et bono , seperti dijelaskan diatas asas ini sebenarnya adalah suatu frase yang digunakan dalam petitum suatu gugatan yang berbunyi “kalau majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya”. Dimana klausula seperti itu memberi suatu asumsi bahwa hakim dapat mengabulkan suatu petitum melebihi apa yang di minta dengan alasan demi keadilan.


Asas Ex Aequo Et Bono ini awalnya muncul pada negara – negara anglo saxon yang mneggunakan sistem hukum common law dimana keadilan lah yang lebih diutamakan dan kepastian lebih dikesampingkan. Dalam literatur berbahasa Inggris, ex aequo et bono sering diartikan sebagai “according to the right and good”, atau “from equity and conscience”. Sesuatu yang diputuskan menurut ex aequo et bono adalah sesuatu yang diputuskan “by principles of what is fair and just”. Dari pengertian tersebut terlihat makna yang sangat subyektif sebab klausula ex aequo et bono tersebut sangat condong kepada pribadi dalam diri seseorang atau lebih berbau moral darpada hukum.


Dari kedua penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa secara implisit terdapat pertentangan mengenai konsep dari kedua asas tersebut dimana asas yang satu ada untuk melindungi kepentingan para pihak atau lebih tepatnya pihak yang dikalahkan dan juga untuk kepastian hukum .disisi lain asas yang satunya lebih mengutamakan kpeentingan masyarakat umum dan juga keadilan yang bersifat relatif dimana setiap orang memliki persepsi berbeda mengenai tolak ukur keadilan.

Dalam praktiknya di peradilan, asas ex aequo et bono digunakan agar lebih besar kemungkinan suatu gugatan dikabulkan oleh pengadilan, dimana tuntutan pokok (petitum primair) disertai dengan tuntutan pengganti (petitum subsidair). Isi dari tuntutan itu berbunyi: “ex aequo et bono” atau “mohon putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan”. Tujuannya agar jika tuntutan primair ditolak masih ada kemungkinan dikabulkannya gugatan yang didasarkan atas kebebasan dari hakim serta keadilan, dalam putusan yang dijatuhkan oleh hakim.

  

Lalu bagaimana dengan adanya pertentangan dari kedua asas ini?apa konsekuensinya? Menutrut penulis dengan adanya pertentangan tersebut maka sebagai konsekuensinya tujuan hukum yang kita kenal tidak dapat diwujudkan secara ideal atau ada salah satu tujuan yang harus dikorbankan. Secara teoritis indonesia merupakan negara hukum dan menganut sisyem civil law yang lebih mengutamakan kepastian, untuk itu semestinya hakim selalu memerhatikan asas ultra petita agar terwujud kepastian hukum dan kepentingan para pihak dapat terlindungi.


Jadi apakah dengan diakomodirnya asas “Ex aequo et Bono” tersebut mereduksi nilai-nilai dari ultra petita tersebut ataukah menjadi penyeimbang dalam suatu konsekuensi dianutnya Negara hukum bagi indonesia? 

ayo diskusi di kolom komentar, apasih pendapat temen-temen tentang hal ini?


#salamilmiah

STATUS UNSOED? MUNGKIN SAJA JOMBLO.


Oleh : Praja Pangestu



Dalam tulisan ini penulis mencoba sedikit menyatukan kepingan-kepingan ilmu yang dangkal ini menjadi sebuah kesimpulan yang juga sama dangkalnya, diharapkan kawan-kawan pembaca sekalian dapat mencoba melengkapi bila ada kekurangan dari ilmu saya yang dangkal ini, selamat membaca.



Universitas Jendral Soedirman, namanya begitu gagah dan hebat dengan melambangkan seorang pahlawan nan pemberani yaitu Soedirman. Karna rasa penasaran yang begitu saja muncul di otak ini tercetuslah rasa kepo-kepo mengenai kampus soedirman mengawali tulisan ini, bila merujuk dari Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Sistem Akuntansi Universitas Jendral Soedirman pada pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Unsoed ini ternyata menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Melihat pula Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi pada pasal 65 ternyata memang perguruan tinggi dalam penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi dapat menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Belum puas sampai disitu adapula sumber lain dari web pemerintah yaitu Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU, ternyata Unsoed dengan Nomor Penetapan KMK.502/KMK.05/2009 mempunyai status Badan Layanan Umum Penuh lho!


Ah makin bingung nih jadinya sama status kampus soedirman ku, sebenarnya BLU itu apa ya? Lalu Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum itu apa ya?

Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum;
Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melaksanakan kegiatannya didasarkan pada prinsip Efisiensi dan Produktivitas.
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.


Nah pada peraturan ini juga dijelaskan pada pasal 14 bahwa Badan Layanan Umum menerima pendapatan dari anggaran yang bersumber dari APBN/APBD, dan ternyata memang sebagian dana penyelenggaraan Badan Layanan Umum ini dari APBN/APBD juga ternyata. 

Setelah tahu sangat sedikit mengenai Badan Layanan Umum penulis mencoba menafsirkan secara sistematis terhadap peraturan Perundang-undangan lain, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam Pasal 1 angka 3 “Badan Publik adalah lembaga Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat dan/ atau luar negri”


Wah ternyata Unsoed yang termasuk Badan Layanan Umum dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang sebagian dana penyelenggaraannya dari APBN/APBD ini ternyata kalau menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 adalah Badan Publik Juga lho, lalu dapat kita simpulkan bahwa Unsoed juga termasuk Badan Publik. 


Lalu kalau Unsoed itu juga termasuk Badan Publik, apakah Unsoed juga wajib melakukan pengumuman secara berkala mengenai informasi yang berkaitan dengan Badan Publik, Informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait, informasi mengenai keuangan, informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan? Silahkan dijawab masing-masing :)



PS. Jika ada kesalahan dalam penarikan kesimpulan kritik dan saran sangat diterima, untuk informasi lebih lengkap dapat dilihat di bagian sumber, jawaban dengan tulisan sangat diharapkan.



Sumber : 

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum 

Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Sistem Akuntansi Universitas Jendral Soedirman

Web Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU www.blu.djpbn.kemenkeu.go.id




#salamilmiah