Oleh :
Casey Aprodita
Tahukah kalian
mengapa perkawinan dapat dibatalkan? Dengan mengkaitkan diadakannya pengawasan perkawinan
oleh pegawai Kementrian Agama, ditujukan tidak lain adalah agar tidak
terjadinya perkawinan yang dilarang atau melanggar peraturan-peraturan tentang
Perkawinan.
Pembatalan Perkawinan
adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akan nikah. Selain
itu pembatalan perkawinan juga tindakan putusan pengadilan yang menyatakan
bahwa perkawinan yang dilaksanakan tidak sah akibatnya perkawinan itu dianggap
tidak pernah ada. Maka akibatnya segala sesuatu yang dihasilkan dari perkawinan
itu menjadi batal dan semuanya dianggap tidak pernah terjadi pula
Perkawinan dapat
dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan.Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah persyaratan usia kedua
calon mempelai, persyaratan kerelaan kedua calon mempelai, persyaratan izin
orangtua kedua mempelai, persyaratan administrasi, dan sebagaimana yang telah
diuraikan sebelumnya berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat sahnya perkawinan
menurut Undang-Undang No.9 tahun 1975
Kemudian, alasan
lainnya tentang sah tidaknya perkawinan tersebut oleh pasangan suami isteri.
Alasan perkawinan
dapat dibatalkan apabila:
a.
Seorang suami
yang melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama;
b.
Perempuan yang
dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang sah;
c.
Perempuan yang
dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami pertama;
d.
Perkawinan yang
melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No.
1/1974;
e.
Perkawinan yang
dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak atau
perkawinan tidak dilangsungkan pegawai pencatatan yang berwenang;
f.
Perkawinan yang
dilaksanakan dengan paksaan;
g.
Adanya kekeliruan
(dwaling) ataupun salah sangka
terhadap suami atau istri;
h.
Tidak
dicatatkannya suatu perkawinan oleh pegawai pencatatan;
i.
Adanya kebohongan
yang ditutupi atau penipuan yang dilakukan salah satu suami atau istri.
Dalam ketentuannya,
pembatalan perkawinan dapat diajukan maksimal 6 bulan setelah menyadari
terjadinya salah sangka diantara suami dan istri. Lebih dari jangka waktu 6
bulan tersebut, maka hak tersebut gugur. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 27
Ayat (3) UU No. 1/1974.
Pasalnya pembatalan
perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama Islam untuk diputuskan suatu
perkawinan tersebut batal oleh Hakim. Ketentuan ini terdapat di Pasal 25 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan,
“Permohonan Pembatalan Perkawinan
diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan
atau ditempat tinggal kedua suami istri, suami atau isteri.”
Yang dapat mengajukan
pembatalan perkawinan anta sebagaimana disebut dalam Pasal 23 UU NO.1 /1974 sebagai berikut:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke
atas dari suami atau isteri;
2. Suami atau isteri;
3. Pejabat yang berwenang hanya selama
perkawinan belum diputuskan;
4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal
16 UU ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Maka dari itu, adanya
pembatalan perkawinan itu dikarenakan adanya keragu-raguan di kalangan
masyarakat tentang perkawinan dan tidak adanya ketentuan siapa yang dapat
memutuskan sah atau tidaknya perkawinan tersebut. Dalam ketentuannya pembatalan
perkawinan diajukan oleh suami atau istri maupun orang tua pasangan tersebut.
Pengajuan diajukan kepada Pengadilan Agama dan terdapat maksimal 6 bulan
setelah menyadari terjadinya salah sangka diantara pasangan suami istri.
Terdapat perbedaan antara perceraian dan pembatalan perkawinan, yaitu pihak
yang mengajukan, alasan-alasan perceraian maupun pembatalan perkawinan dan
akibat hukumnya.
Dasar hukum: UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Refrensi: Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. 1984. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta:
Sumur Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar