Oleh : Kangaroo
Penyidik menurut pasal 1
butir 1 KUHAP adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai
Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan. Pengertian dari penyidikan tercantum pada Pasal 1 angka 2
KUHAP Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.”
Penyidikan bertujuan untuk
mendapatkan kebenaran materil dari suatu perkara. Maka
dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan
pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan
selengkap mungkin. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum
dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat
diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau
keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting
diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materil selengkap-lengkapnya bagi
para penegak hukum tersebut.
Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan
dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap
penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik
mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materil
suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat
bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa
pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan,
penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan
bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya untuk
memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup
berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus
tersebut. Keterangan ahli yang dimaksud yaitu keterangan dari dokter yang dapat
membantu penyidik dalam memberikan bukti. Bukti tersebut berupa keterangan
medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban,
terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda kekerasan. Keterangan
dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat
hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum
et repertum.
Pelaksanaan KUHAP dalam Keputusan Menteri Kehakiman R.I.
No.M.01.PW.07.03 Tahun 1982, menjelaskan lebih rinci tentang nilai pembuktian
keduanya, yaitu keterangan yang dibuat oleh dokter sepesialis forensik bernilai
keterangan ahli, sedangkan dokter bukan ahli merupakan alat bukti petunjuk. Salah satu tugas
dari dokter kehakiman juga merupakan melakukan sebuah otopsi. Otopsi merupakan
pemeriksaan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab
yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri.
Otopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya
penyidikan suatu perkara. Tujuan dari otopsi adalah :
·
Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui
atau belum jelas,
·
Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian,
dan saat kematian,
· Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan
identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan,
·
Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta
dalam bentuk visum et repertum.
Otopsi sendiri merupakan suatu
kepentingan dari penyidikan diatur dalam pasal 134 KUHAP serta Instruksi Kapolri No. Pol: Ins/E/20/ IX/75 Butir 3 Dalam
hal seorang yang menderita luka tadi akhirnya meninggal dunia, maka harus
segera mengajukan surat susulan untuk meminta Visum et Repertum.Dengan Visum et
Repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali tidak dibenarkan
mengajukan permintaan Visumet et Repertum atas mayat berdasarkan pemeriksaan
luar saja.
Menurut Pakar Pidana dari Universitas
Padjajaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita setiap perkara pembunuhan yang mengakibatkan kematian korban,
mutlak dilakukan otopsi dari ahli kedokteran (patologi) forensik untuk
menentukan penyebab kematian korban.
Dalam teori penyidik mempunyai kewajiban
untuk melakukan otopsi kepada seorang korban yang kematiannya tidak wajar tetapi
dalam praktiknya ketika akan melakukan otopsi perlu adanya suatu persetujuan
dari keluarga Hal ini sejalan dengan
Pasal 134 ayat (1) KUHAP “Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk
keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.” Tetapi kurang pemahaman masyarakat
mengenai Otopsi menyebabkan otopsi tidak dilakukan dan hal tersebut berimplikasi
apabila keluarga tidak setuju maka otopsi akan terhambat ataupun tidak dapat
dilaksanakan. Contoh kasusnya yaitu pada kematian mirna salihin dan Hari
Darmawan pendiri matahari department store .
Padahal dalam pasal 134 KUHAP ayat (2) menyebutkan Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan
sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan
tersebut dan ayat (3) Apabila dalam
waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu
diberitahukan. Hal tersebut dipertegas pada Instruksi Kapolri No. Pol:
Ins/E/20/ IX/75 Butir 6 Bila ada keluarga
korban/mayat keberatan jika diadakan Visum etRepertum bedah mayat, maka adalah kewajiban petugas POLRI
Pemeriksa untuk secara persuasif memberikan penjelasan perlu dan pentingnya
otopsi untuk kepentingan penyidikan, kalau perlu bahkan ditegakkannya Pasal 222
KUHP. Pasal 222 KUHP Barangsiapa
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat
untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Kewajiban penyidik
adalah penyidik segera melaksanankan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
133 ayat (3) KUHAP Mayat yang dikirim
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan
diberi label yang memuat identitas mayat, dilakukan dan dengan diberi cap
jabatan yang dilekatkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat.
Kesimpulannya bahwa penerapan otopsi di Indonesia memang
kurang tegas sehingga penyidik harus lebih berani mengambil sikap apabila
terdapat kasus-kasus yang menyakut kematian yang tidak wajar, tetapi dalam
menjalankan suatu otopsi tetap didasarkan pada prosedur yang ada serta sesuai
Pasal 133 ayat (3).
Sumber :
1. KUHAP
2. KUHP