Selasa, 10 Oktober 2017

AKSI DAMAI SELAMATKAN SELAMET : Tindakan Represifitas dari Aparat Penegak Hukum




Oleh Div Penelitian LKHS

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat “  merupakan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28E,Berdasarkan kententuan dalam pasal 28E menyatakan Kebebasan berekspresi termasuk kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara dan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada hari Senin  (9/10/2017) Aliansi Selamatkan slamet melakukan aksi damai yang bertujuan menolak proyek Pembangkit Listrik Tenaga panas Bumi (PLTP) yang berada di Gunung Slamet,Sejatinya pemerintah telah memberikan izin kepada PT SAE (PT Sejahtera Alam Energy) untuk menggunakan hutan Gunung Slamet seluas 488.28 hektar sesuai dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) tahap eksplorasi nomor 20/1/IPPKH/PMA/2016, walaupun sampai sekarang PT SAE baru melakukan ekplorasi Hutang di Gunung Slamet tidak lebih dari 45 Hektar, ya seluas 44,999 hektar.

Pasalnya setelah melakukan dua kali aksi, sejauh ini demonstran menilai belum ada titik terang penghentian pembangunan PLTP. Padahal dampak negatif PLTP sudah sangat terasa mulai dari Sungai Prukut yang berkali-kali alami keruh, mengalir bercampur lumpur sampai turunnya hewan liar ke lahan-lahan warga sebab hutan lindung di Gunung Slamet telah dibabat.

Kronologis dari Aksi damai yang dilakukan Aliansi Selamatkan Slamet pada hari senin mulai dari pagi Titik kumpul berada di IAIN Purwokerto kemudian Longmarch ke kantor bupati banyumas,Masa Aksi Aliansi Selamet telah tiba di depan pendopo pemerintah daerah banyumas. Seluruh aparat Kepolisian Sudah Menunggu dengan barisan 150 orang.Bupati tidak kunjung datang menemui Massa Aksi dengan dalil Bupati keluar kota sehingga memberikan Mandat kepada perwakilannya untuk menemui Massa Aksi, Massa Aksi masih tetap semangat, melakukan orasi ilmiah bertahan dilokasi dengan membuat Tenda Perjuangan  sampai bertemu nya dengan Bupati Banyumas dan terpenuhi Tuntutannya  yaitu mencabut izin pltp Gunung Selamet.

Penangung Jawab aksi damai Aliansi Selamet pada hari senin adanya 3 Koordinator yang terdiri Kota,Desa dan Mahasiswa.Izin melakukan Aksi Damai Selamatkan Selamet sudah di lakukan oleh Aliansi Selamet berupa Izin surat pemberitahuan akan melakukan Aksi Damai kepada Polsek setempat,Pers, dan Kantor Bupati , Hingga pukul 18:00 WIB. Massa Aksi belum menemui bupati banyumas sehingga perwakilan Aliansi Selamet menemui Aparat Penegak hukum untuk melakukan negosiasi namun pihak Aparat penegak hukum menolak melakukan Negosiasi.

Pada Malam Hari Aliansi Selamet melakukan panggung budaya di depan Kantor Bupati Banyumas, disisi lain panggung, puluhan polisi,satpol pp dan brimob sedang bersiap untuk membubarkan panggung kebudayaan, Unit Pasukan pemegang senjata gas air mata dan K-9(anjing yg dilatih oleh kepolisian ) sudah bersiap mengusir massa Aksi, Tepat pukul 22:00 aparat Penegak hukum memberikan peringatan terakhir kepada Massa Aksi untuk membubarkan diri .

Seketika di gaungkan Peringatan terakhir seluruh aparat penegak hukum keluar dari kantor bupati banyumas membubarkan aksi damai secara paksa dan menghancurkan tenda perjuangan Aliansi Selamet. Pihak Aparat Penegak Hukum telah melanggar hak-hak kebebasan berpendapat dan melakukan tindakan Represifitas terhadap Massa Aksi.

Selain itu, ada beberapa perekam tindakan represif tersebut yang di intervensi dengan diperintahkan untuk menghapus dokumen rekaman video bahkan ada beberapa ponsel yang disita oleh Aparat Penegak Hukum.

Bentuk Represifitas yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan :
1.Pemukulan Terhadap massa
2.Penendangan
3.Perampasan Kamera
4.Penangkapan Massa Aksi

Barang-barang yang dirusak dan diambil diataranya :
1.Hp 2(satu)
2.Motor 2 (satu)
3.Mobil Komando Kaca Pecah
4.Tenda Dihancurkan
5.Mega Phone 1 (satu)
6.Kaca Mata

Sejumlah Massa Aksi ditarik dan dipukuli kemudian dilakukan penangkapan terhadap Massa Aksi berjumlah 24 orang yang hingga kini masih ditahan sampai adanya Jaminan pembebasan penahanan dan 32 orang lainnya dipukuli berdasarkan data dari tim Advokasi Aliansi Selamatkan Selamet.
“ya pada Aksi Damai Aliansi Selamet terdapat massa Aksi terkena dampak Represeifitas dari Aparat Penegak Hukum berupa Pemukulan,Penendangan dan Perampasan Kamera “ Ujar Farouq, kepala Redaksi Pro justitia yang sedang bertugas meliput membenarkan peristiwa tersebut

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”)

“Demonstrasi merupakan salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum. Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya di muka umum yang dijamin oleh UUD 1945. Demonstrasi dibolehkan oleh hukum sepanjang mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku  “


Jenis Demonstrasi  Yang  Dilarang
Meskipun demonstrasi diperbolehkan sebagai bentuk penyampaian pendapat di muka umum, namun ada beberapa jenis demo yang dilarang, beberapa di antaranya yaitu:

1.    Demo yang Menyatakan Permusuhan, Kebencian atau Penghinaan
Dilarang melakukan demo dengan cara:
a.menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia;
b.mengeluarkan perasaan atau perbuatan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
c.menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia;
d.lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana atau kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan;
e.menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan

2.    Demo di Lingkungan Istana Kepresidenan
Tak hanya di lingkungan istana Kepresidenan, aksi demo juga dilarang dilakukan di tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional.[9]

3.    Demo di Luar Waktu yang Ditentukan
Aksi demo hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu sebagai berikut
a. di tempat terbuka antara pukul 06.00 s.d. pukul 18.00 waktu setempat.
b.di tempat tertutup antara pukul 06.00 s.d. pukul 22.00 waktu setempat.

4.    Demo Tanpa Pemberitahuan Tertulis Kepada Polri
Demo wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok. Pemberitahuan tersebut disampaikan selambat-lambatnya 3x24 jam sebelum kegiatan dimulai dan telah diterima oleh Polri setempat.[11]

5.    Demo yang Melibatkan Benda-Benda yang Membahayakan
Peserta demo dilarang membawa benda-benda yang membahayakan.[12] Selain itu, juga dilarang mengangkut benda-benda yang dapat menimbulkan ledakan yang membahayakan jiwa dan/atau barang.

Negara menjamin memberikan perlindungan terhadap Massa Aksi dan mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum, sebagaimana diatur  Pasal 28D UUD 1945

"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”

Hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum memang dilindungi oleh konstitusi, yakni dalam Pasal 28E UUD 1945. Lebih jauh mengenai mekanisme pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU 9/1998).

Memang, dalam pelaksanaannya, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi) dapat menimbulkan kericuhan dan diperlukan adanya pengamanan. Untuk itu, pemerintah memberikan amanat kepada Polri dalam Pasal 13 ayat (3) UU 9/1998 yakni dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Terkait pelaksanaan demonstrasi sebagai perwujudan penyampaian pendapat di muka umum kemudian ditetapkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum (Perkapolri 9/2008) sebagai pedoman dalam rangka pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dan pedoman dalam rangka pemberian standar pelayanan, pengamanan kegiatan dan penanganan perkara (dalam penyampaian pendapat di muka umum, agar proses kemerdekaan penyampaian pendapat dapat berjalan dengan baik dan tertib (Pasal 2 Perkapolri 9/2008).

Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara (demonstrasi), aparatur pemerintah (dalam hal ini Polri) berkewajiban dan bertanggung jawab untuk (Pasal 13 Perkapolri 9/2008)
a.melindungi hak asasi manusia
b.menghargai asas legalitas
c.menghargai prinsip praduga tidak bersalah, dan
d.menyelenggarakan pengamanan.

Sehingga, dalam menangani perkara penyampaian pendapat di muka umum harus selalu diperhatikan tindakan petugas yang dapat membedakan antara pelaku yang anarkis dan peserta penyampaian pendapat di muka umum lainnya yang tidak terlibat pelanggaran hukum (Pasal 23 ayat [1] Perkapolri 9/2008)
a.terhadap peserta yang taat hukum harus tetap di berikan perlindungan hukum
b.terhadap pelaku pelanggar hukum harus dilakukan tindakan tegas dan proporsional
c.terhadap pelaku yang anarkis dilakukan tindakan tegas dan diupayakan menangkap pelaku dan berupaya menghentikan tindakan anarkis dimaksud.

Melihat kondisi di lapangan pada saat terjadi demonstrasi, memang kadangkala diperlukan adanya upaya paksa. Namun, ditentukan dalam Pasal 24 Perkapolri 9/2008 bahwa dalam menerapkan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, misalnya:
a.tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, misalnya mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul;
b.keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;
c.tidak patuh dan taat kepada perintah kepala satuan lapangan yang bertanggung jawab sesuai tingkatannya;
d.tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;
e.tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM;
f.melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan;

Di samping itu, ada peraturan lain yang terkait dengan pengamanan demonstrasi ini yaitu Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas). Aturan yang lazim disebut Protap itu tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif. Dalam kondisi apapun, Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Protap juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur. Bahkan hal rinci, seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang.

Pasal 7 ayat (1) Protap Dalmas
Hal-hal yang dilarang dilakukan satuan dalmas:
1.bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa
2.melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur
3.membawa peralatan di luar peralatan dalmas
4.membawa senjata tajam dan peluru tajam
5.keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perseorangan
6.mundur membelakangi massa pengunjuk rasa
7.mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual/perbuatan asusila, memaki-maki pengunjuk rasa
8.melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan

Di samping larangan, Protap juga memuat kewajiban. Yang ditempatkan paling atas adalah kewajiban menghormati HAM setiap pengunjuk rasa. Tidak hanya itu, satuan dalmas juga diwajibkan untuk melayani dan mengamankan pengunjuk rasa sesuai ketentuan, melindungi jiwa dan harta, tetap menjaga dan mempertahankan situasi hingga unjuk rasa selesai, dan patuh pada atasan.
Pada prinsipnya, aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi tidak memiliki kewenangan untuk memukul demonstran.

Mengenai tongkat yang dibawa oleh aparat, memang berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru Hara (“Perkapolri 8/2010”)¸aparat diperlengkapi antara lain dengan tameng sekat, tameng pelindung, tongkat lecut, tongkat sodok, kedok gas, gas air mata, dan pelontar granat gas air mata. Tongkat Lecut adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 2 (dua) cm dengan panjang 90 (sembilan puluh) cm yang dilengkapi dengan tali pengaman pada bagian belakang tongkat, aman digunakan untuk melecut/memukul bagian tubuh dengan ayunan satu tangan kecepatan sedang. Sedangkan tongkat sodok adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 3 (tiga) cm dengan panjang 200 (dua ratus) cm, aman digunakan untuk mendorong massa yang akan melawan petugas (lihat Pasal 1 angka 14 dan 15 Perkapolri 8/2010).

Mengulas sedikit Aksi Damai yang dilakukan Aliansi Selamet hingga pukul 18:00, kemudian perwakilan Aliansi Selamet ingin melakukan Negosiasi terhadap Aparat Penegak Hukum tetapi tidak mengindahkan nya. Sehingga Aliansi Selamet membuat suatu Panggung Kebudayaan yang disi oleh TEATRIKAL,puisi dan musik . sudah tidak adanya unsur Aksi/Demonstrasi pada malam hari namun adanya Panggung Kebudayaan.

Seharusnya(Das Sollen) Apart penegak Hukum berkewajiban dan bertanggung jawab melindungi hak asasi manusia,menyelenggarakan keaman dan perlindungan terhadap Massa Aksi,Senyatanya (Das sien) Aparat Penegak Hukum melakukan tindakan represifitas dengan beberapa bentuk seperti penendangan,pemukulan dan perampasan Kamera (Bukan Senjata tajam) menurut  (Pasal 13 Perkapolri 9/2008).

Massa Aksi yang melakukan Pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi (tidak boleh dianiaya, diseret, dilecehkan, dan sebagainya) Pada senin malam hari Apart Penegak Hukum melakukan tindakan represifitas sewenang2nya dengan memukul dan menyeret Massa Aksi
Jadi Pemukulan yang dilakukan oleh aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi adalah bentuk pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum dan tidak sepatutnya Aparat Penegak Hukum melakukan tindakan represifitas terhadap Massa Aksi .

Sumber
1.BEM UNSOED, Kronologis Aksi Damai Aliansi Selamet
2.Cah Unsoed , Kronologis Aksi Damai Aliansi Selamet
3.Faruq, Kepala Redaksi Pro Justitia
4.Tim Advokasi Aliansi Selamet
5.Sumber foto 1 , Postingan line Iqra
6.Sumber foto 2, Postingan Cah Unsoed

Dasar Hukum
1.Undang-Undang Dasar 1945;
2.Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
3.Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa;
4.Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum;
5.Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru Hara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar