Rabu, 07 Juni 2017

TAMPARAN KERAS DARI MEDSOS


Oleh  :  Praja Pangestu


Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah viral di media sosial yang sedikit membuat saya terpana yaitu Afi Nihaya Faradisa. Dari buah pemikirannya yang tajam dan kritis ia menuangkan kepada sebuah tulisan pada salah satu media sosial yang ia beri judul “Warisan”, sebuah tulisan yang sangat kritis mengenai keberagaman yang Indonesia miliki tapi saya sendiri bukan hanya terpana melihat tulisan dari anak yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas ini melainkan juga miris dan tertampar melihat bahwa yang menulis begitu tajam dan kritis ini adalah anak yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.


Bagaimana tidak, lingkungan saya adalah lingkungan mahasiswa, yang “katanya” pusat orang-orang yang mempunyai pemikiran kritis, yang “katanya” mempunyai budaya ilmiah, yang “katanya” Agent Of Change. Tapi dalam lingkungan saya sendiri, seperti sudah terkikis pemikiran-pemikiran kritis dan juga hilangnya budaya ilmiah seperti membaca literasi maupun menulis ilmiah. Mungkin budaya ilmiah ini sudah berganti makna yang mana dimaknai mahasiswa mungkin, baca literasi adalah  “karna besoknya quiz”  atau menulis ilmiah adalah “karna diberi tugas oleh dosen” kalau begitu mungkin namanya diganti saja dengan “budaya disuruh dosen”.


Padahal budaya ilmiah sangat penting untuk mahasiswa itu sendiri, seperti membaca literasi untuk menambah wawasan keilmuan kita dan tidak menjadikan wawasan ilmu kita terpatok dan terjebak pada wawasan di dalam ruang kelas yang  seperti kandang burung didalamnya berada seorang  dosen yang berkicau-kicau memberi materi mahasiswa hanya diam terpana mendengar kicauan indah dosen. Lalu menulis ilmiah, yang juga dapat mengasah kerangka berfikir kita, membangun potongan-potongan materi kicauan dosen menjadi sebuah kesimpulan dalam permasalahan, mengasah logika berfikir kita sehingga kita pun terbiasa untuk mengaplikasikan keilmuan kita dalam suatu permasalahan konkret yang ada pada masyarakat bukan hanya mengaplikasikan pada lembaran jawaban pada ujian saja itu juga besoknya lupa.


Saya sendiri pun merasa malu bila melihat tulisan dari saudara Afi, yang begitu kritis melihat suatu permasalahan yang ada dimasyarakat sedangkan saya ya mungkin hanya membudayakan “budaya disuruh dosen” tapi tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri sekali lagi tidak ada kata TERLAMBAT untuk memperbaiki diri, oleh karena itu mungkin tulisan dari saudara Afi jangan hanya dimaknai bahwa gadis hebat ini adalah orang yang kritis tapi juga kita harus memaknai bahwa ini adalah tamparan keras bagi diri kita yang kata nya “maha” siswa yang mempunyai pemikiran kritis dan budaya ilmiah. Jadi mari kita bangun kembali budaya ilmiah dan pemikiran kritis pada diri kita dan tulisan Afi bisa menjadi pemantik bagi diri kita untuk melanjutkan tulisan-tulisan kritis tentang permasalahan di masyarakat dikemudian hari.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar